Aku dan penerbit indi

Karir menulis…

Emmm... saya akui saya belum bisa dikategorikan seorang penulis. Sebab saya memulai menulis baru di tahun 2013 dan benar-benar menulis fiksi dalam bentuk cerpen di tahun 2014.

Saya termasuk orang yang mudah bosan dan bisa dibilang tidak terlalu fokus dalam menulis. Itu sebabnya saya tidak pernah menulis novel.

Saya sempat sering mengikuti beberapa lomba menulis. Hal tersebut semata saya lakukan hanya karena ingin melihat kualitas karya yang saya bikin jika dibandingkan dengan tulisan lain.
Pengalaman saya masih terlalu sedikit dan saya hanya seperti newbie yang masih terlalu hijau dalam menguasai teknik menulis.
Saya juga sangat menyadari jika tulisan saya banyak sekali kekurangan. Namun, entah kenapa beberapa tulisan saya justru menjadi juara utama. Saya rasa juri memiliki penilaian sendiri. Dan lomba tersebut diselenggarakan secara nasional.

Baik #Kamandrah ataupun #Renjana memang diterbitkan dari penulis indi yang keduanya merupakan hadiah dari memenangkan lomba.
Iya, tidak semua mengenal penerbit indi tapi untuk para penulis yang mengawali karir malang melintang di dunia lomba nulis seperti saya pasti akan mengenal kedua penerbit tersebut.
Kalah lomba? Sering! Bahkan sering sekali.

Namun, hal tersebut membuat saya selalu ingin tau apa yang membuat tulisan saya tidak terpilih bahkan untuk menjadi kontributor sekalipun.
Lain lagi cerita saat #Renjana terpilih menjadi salah satu novel (saya masukan kategori novel walaupun sebenarnya kumcer) favorit. Sedangkan cerpennya menjadi juara 1 dari ratusan cerpen lain. Lagi-lagi saya merasa minder sekaligus bangga. Sebab saya tau banyak tulisan lain yang jauh lebih pantas untuk dimenangkan.

Yah.., kembali lagi pada juri yang memang mempunyai penilain lain. Yang jelas saya menciptakan #Renjana dengan cara yang berbeda. Agar nampak tak seperti kumcer biasa.
Saya selalu terbuka dengan banyak masukan, jika saya anggap itu sesuai ya akan saya terapkan namun jika tidak ya saya hanya akan mendengar. Barangkali nantinya memang bagus untuk saya gunakan.

Ketika banyak yang bertanya “Kenapa tidak ada di Gramedia?”

Sayapun tersenyum dan meminta doa agar nantinya ada karya saya yang bisa diterbitkan oleh Gramedia :). Amiiin…
Untuk saat ini saya sangat bersyukur karya saya bisa mendapatkan fasilitas penerbitan gratis. Sangat-sangat berterimakasih karena orang sehijau saya sudah bisa berada pada level ini.

Terimakasih banyak untuk doa, dukungan serta sudah membeli karya-karya saya.
Terimakasih banyak.
Aufa.

Tentang isi


Sebelumnya, aku tidak pernah menulis cerita melulu tentang cinta dalam bentuk cerpen.
Namun, hari itu adalah hari yang berbeda. Aku ingin menulis tentang cinta tapi masih tak melulu hanya cinta.

Sebab linimasa twiter ataupun goresan blog seolah aku memiliki kemahiran untuk menuangkan cinta. Walaupun memang tidak begitu ahli dibidangnya.
Kemudian aku mencoba menulis 1 cerpen yang tak biasa, cerpen yang keluar dari zona nyamanku. Apalagi jika bukan bertema cinta.
 Cerpen pertama berjudul 17:43 hanya dari inspirasi melihat seorang Dokter yang menyebutkan jam meninggalnya pasien.
Aku sempat berfikir untuk menulis cinta namun memiliki banyak informasi lain dalam tulisan tersebut. Tidak melulu hanya sebatas kisah cinta biasa.

Kemudian aku menyimpan dan mengendapkannya cukup lama.
Selebihnya aku menulisa satu per satu tanpa ada maksud untuk bisa menerbitkan sebuah buku (lagi).

Aku tidak pernah terobsesi untuk selalu membukukan karyaku. Dan akupun tak pernah mendorong terlalu keras diriku untuk menulis. Jika aku ingin maka aku akan menulis. Namun, jika dalam kondisi isi kepala sedang tak baik, maka tak kurang dari 63 hari aku tidak akan menulis.
Sebab menulis adalah kesenangan, dan menulis adalah hobi yang tak harus ku jalani dengan begitu keras.
Aku menyelesaikan #Renjana dalam waktu lebih dari 1 tahun. Itupun harus ku kumpulkan satu demi satu ketika mendapatkan kabar jika aku memenangkan hadiah untuk penerbitan gratis.

Kesempatan untuk menerbitkan?, kenapa tidak 🙂

Tidak ada Yogol ataupun Rombok di #Renjana, yang ada hanyalah serpihan dari ku, sedikit bumbu masa lalu juga harapan untuk masa depan.

Akhirnya, aku menyatukan #Renjana dan sempat merubah banyak isi dari setiap cerpennya. Cerpen yang memiliki judul unik, dikemas dengan kemampuan isi kepala seorang pemula sepertiku juga setulus doa semoga menjadi karya yang bisa memperbaiki karya-karya selanjutnya.

#Renjana berisi 14 cerpen. Aku menulis cukup panjang disetiap cerpennya. Sebab dengan begitu aku mampu memasukan isi-isi kepala yang berbeda.

Ada banyak hal berbeda yang bukan kebiasaanku dalam menulis cerpen. Ada cerita yang ku sisipkan perihal rindu pada kekasih (kala itu) juga ada luka yang jelas ku bagi.

Lain kali aku akan menulis sinopsis setiap cerpennya.

Tentang Sampul


Sebelumnya, saya tulis ini dengan kondisi sampul buku yang masih belum final.
Kenapa merah jambu?

Kenapa sakura?

Kenapa fontnya itu?

Kenapa putih?

Kenapa kenapa dan kenapa…
Jawaban paling singkat hanya karna saya ingin buku ini terbit dalam keadaan seperti itu.

Ya, seperti itu.
Bukan hanya judul, tapi untuk urusan sampul memang kali ini saya sangat idealis. Saya tidak menerima masukan untuk mengkritisi hal besar dari rancangan sampul. Sebab kali ini saya ingin sebagian dari hati saya yang berperan.
Saya tidak pernah melihat sakura secara langsung sekalipun. Namun, sepintas saya memang menyukai bunga sakura. Terlihat lembut dan menenangkan.
Kerap untuk mengisi biodata narasi di buku, saya akan menulis

Mencintai aksara seperti embun pagi yang mencintai kelopak sakura.

Sampai seseorang berkomentar Tidakkah kau tau jika sakura hanya mekar dalam dua pekan. Selebihnya harus menunggu tahun berikutnya. Sesingkat itukah cintamu terhadap aksara?

Dan saya tersenyum. Bukan perihal singkat atau tidak. Hanya saja ketulusan untuk sakura selalu hadir dan bermekaran. Sakura tidak meminta hanya bertahan dalam dua pekan. Sebab itu semua di luar batas kemampuannya.
Sedangkan embun, ia lah yang bersedia mengorbankan raganya hanya untuk melihat sakura agar nampak indah. Membasuh kelopaknya dengan bulir kesegaran embun pagi.
Buku inipun saya kemas dengan cara yang berbeda. Mewakili raga dari semua cerita, adalah kepantasan untuk menggambarkan merah jambu dengan cinta-cinta yang tertulis.
Jika suatu ketika Sayang sekali saya tidak menyukai warna merah jambu,

Maka; beruntung sekali untuk segala hal yang masih menghormati perbedaan.
Suka atau tidak suka adalah hak setiap orang,

Dan saya tidak memiliki kemampuan untuk memuaskan setiap keinginan orang.

Tentang Judul

Saya bukan orang yang pandai memilih judul. Tulisan yang sudah selesai dan sampai pada tahap pembubuhan biodata, terkadang masih tidak ada judul.

Entah kenapa suatu hari saya membaca satu kata yang membuat saya berfikir “saya harus menggunakan judul ini untuk buku kedua”. Ya, fikiran itu hadir bahkan saat tidak ada satu cerpen yang sudah saya tulis.

Semua isi cerpen saya sesuaikan dengan judul kumcer yang sudah saya genggam.

Hari menjelang prose design kover. Dengan berat hati saya harus mengganti judul. Banyak pertimbangan (yang tidak bisa saya jelaskan detail). Pastinya saya meninggalkan judul yang pernah ingin saya sematkan dengan kesedihan.

Pertimbangan demi pertimbangan, masukan dari berbagai kalangan. Akhirnya saya menemukan judul baru yang membuat saya menetapkan sebagai judul kumcer. Renjana, terdengar sederhana.

Renjana, rasa kasih yang kuat (cinta ataupun hasrat). Seperti isi dari cerpen yang mengutamakan cinta perempuan.
Renjana, melambangkan kuatnya rasa cinta saya kepada karya-karya yang sudah saya tulis.

Aku tau, kamu tau.


Aku sayang kamu.

Aku sayang kamu.

Aku sayang kamu.

Ada bahasa, lisan yang tak pernah bisa ku sampaikan.

Ada sikap yang tak semua harus ku tunjukan.
Ku pendam, ku tahan dan juga ku biarkan begitu saja.

Bukan untuk tak peduli ataupun enggan mengakui.
Hanya saja, ada hal yang menjadi ketakutan untuk memulai hubungan baru.

Ketakutan atas ketidakmungkinan untuk memiliki, mungkin.

Serta kekawatiran untuk luka yang baru saja pulih.
Bukan pengecut, bukan pula tanpa daya untuk memperjuangkan perihal ketertarikan.

Sebab aku memilih batas aman. Di dalam benteng kokoh dan tinggi yang sengaja aku bangun.

Di dalam jeruji yang sengaja ku cipta agar nampak terkendali.
Aku tau, kamu tau.

Jadi cukup biarkan tertuang dalam sebuah tulisan.

Biarkan begini saja, pada jarak aman untukku juga untukmu.
Barangkali nanti akan datang hari dan memecahkan sendiri semua benteng serta menumbangkan jeruji.

Entah kamu, atau kamu yang lain.

Aku tak tau, akupun tak memiliki kuasa untuk menentukan masa depan hanya mampu merencanakan saja.

Tentangmu.
Aku sayang kamu.

Jika aku berhasil

Jika aku berhasil mencapai posisi yang aku harapkan,

Maka aku tau kepada siapa harus ku sampaikan rasa terimakasih.
Seseorang yang selalu mengingatkan untuk aku bekerja dengan ikhlas.

Seseorang yang pernah percaya jika aku mampu mencapai titik yang sebelumnya tidak pernah aku impikan.

Seseorang yang selalu mengajariku untuk bekerja berdasarkan kemampuan terbaik dari diriku.
Ia tak pernah menyukai jika aku bertindak membalas ketidak profesionalan seseorang. Ia pun selalu memintaku mengutamakan urusan pekerjaan.
Memang perjalanan untuk menggapai apa yang kita inginkan harus melewati jalan yang panjang dan berliku.

Memang untuk mendapatkan posisi itu harus dengan cara yang tak mudah.
Berusaha dan berdoa, begitu katanya.
Jika aku berhasil, aku tau harus kemana.

RIP #Serendipity


Pagi ini, subuh bahkan. Matahari belum merangkak. Sudah terjaga. Sedangkan semalam terlelappun ketika pagi hari mulai merambat.
Ada rasa sedih, sakit, kecewa melebihi patah hati.

Ada rasa tak berdaya untuk memperjuangkan ketika benar memiliki keterbatasan dari raihan tangan.

Tidak menyerah, bukan juga pasrah. Namun, batas kemampuan hanya sampai di sini.

#Serendipity adalah mimpi adalah kebahagiaan dan senyuman yang bahkan sudah harus dikubur bahkan sebelum terlahir.

#Serendipity sebuah renjana yang tak pernah usai. Sebuah cinta yang tak biasa.

Tiada daya selain melihatnya tertatih, perlahan lesap. Ini luka ini duka namun juga ini bahagia sebab masih memiliki #Serendipity untuk kemudian hari. Barangkali inilah Algedonic yang terlahir begitu saja.

Sampai jumpa #Serendipity. Sungguh tiada kata selain kesedihan yang tertinggal.

Semoga akan lahir #Serendipity lain yang jauh lebih indah dari keindahan itu sendiri.
Peluk hangatku,
Aufa.

Bukan karena itu

Yang menyakitkan bukan terluka karena mencintai orang yang tidak baik,

Tapi terluka karena diberi jaminan kenyamanan dan setelah merasa nyaman dihancurkan begitu saja.
Yang menyakitkan bukan kehilangan,

Tapi sakit karena kebohongan serta dianggap sebagai sampah yang begitu saja dibuang dan dipermainkan.
Yang menyakitkan bukan karena cinta yang hancur,

Tapi kehancuran yang sengaja tanpa sedikitpun rasa melihat kesetiaan.

Hujan deras dan kopi


Dia datang, membawa sebentuk hati yang baru. Dengan ucapan “hati ini pernah hancur, sakit. Tapi aku jatuh cinta denganmu adalah penyembuhan. Mau kah kau menjaga dan ku serahkan seluruhnya”

“Kesetiaanku jaminannya, menjauhkan dari segala hal yang bisa merusak kita adalah caraku”

Kemudian pintu itu terbuka.
Dia datang dengan permisi dan masuk dengan kebahagiaan. Dengan segala hal yang ia bawa menciptakan kenyamanan.
Bahkan kerap ia tak peduli dengan dirinya sendiri hanya untuk memberi kebahagiaan kepada cinta baru.

Ia datang seperti kebun bunga, wangi penuh warna dan tak pernah kosong.
Ketulusannya, kesabarannya juga keinginannya untuk tidak menyakiti adalah caranya memberi kasih sayang. Sebab ia tau bagaimana rasanya luka.
Ia dipenuhi dengan kesederhanaan juga pelukan yang tak ragu.

Ia bernegosiasi dengan semesta ketika kekasihnya menginginkan hujan, sebab tangannya terbatas untuk menciptakan hujan.

Ia memuja langit yang memberi senja hanya karena menyuguhkan jingga yang menyunggingkan senyum di bibir kekasihnya.

Ia tak menyukai kopi namun selalu ingin menjadi kopi yang menghadirkan ketenangan bagi kekasihnya. Kopi yang tak pernah munafik menutupi rasa pahit, kopi yang tak malu dengan hitamnya. Kopi yang seperti apa adanya.

Ia tak pandai bicara, ia tak mampu mengucapkan alibi ataupun logika. Ia hanya bisa meluapkan keresahan dan mampu lesap begitu saja, semudah oase menyirami dahaga.

Ia selalu belajar menanamkan rasa percaya untuk memberikan hatinya penuh. Sebab ia tak ingin meragu barang sedikit. Caranya menepis dengan mengutarakan dan tak menyimpannya hingga membusuk lama.

“Aku tak pernah memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dalam jangka waktu yang singkat. Sebab itu aku kerap menghindari hal yang melahirkan masalah.” Ucap kekasihnya.

Ia tersenyum, mendapat garansi hatinya terjaga untuk kesekian kali dari orang yang ia puja.

Ia selalu merawat dan memberikan yang terbaik untuk menjaga hati yang ada padanya. Hati kekasihnya.

Ia bukan seorang perindu yang baik, sebab rindu membuatnya menarik sang kekasih kedalam bunga tidur tanpa permisi.

Ia juga memiliki kepekaan yang jauh lebih sadis. Hal yang membuatnya untuk selalu bertanya dan mengisi kebenaran sebagai penetral paling ampuh.

Ia yang penuh harapan untuk memperbaiki bagian rusak, penuh ketulusan dan kepercayaan yang tak terkikis sedikitpun berusaha untuk mempertebal cinta mengobati rindu.

Seketika terjatuh, seketika dadanya begitu sesak. Sesuatu yang nyeri menghujam logikanya untuk bersenandung rintih. Jauh lebih dari sebelumnya.

Ada hujan deras, di sudut matanya.

“Demi kekasihku yang menyukai hujan dan kopi. Sebab aku tak ingin kisahku sepahit kopi serta hujan yang tak pernah berhenti di sudut mataku. Bahkan, ketika aku terbangun dari tidur malam menghadirkan pekat seperti kopi. Masih saja perih menyesakkan, menurunkan hujan lagi, sampai pagi ini”. Ucapnya penuh sesak.

Bukit Batas part II (tanpa rencana)


Akhirnya sampai di Pulau Pinus II. Udah saya jelasinkan kenapa namanya pulau pinus II. Semacam shelter area sebelum menuju Bukit Batas.


Pulau ini memang dipenuhi dengan pohon pinus. Pulau kecil yang ga cocok buat nyemak 😁. Karna kecil dan banyak pengunjung mau pacaran ke semak-semak gimana kalau setiap sudutnya keliatan semua.

Ada beberapa warung kecil yang menyediakan kopi, mie serta nasi bungkus. Oiya coba deh order mie bekuhup. Mie instan yang masaknya dengan membubuhkan air hangat ke bungkus yang dijepit make jepitan jemuran baju 😂. Terus yang beli bakal dikasih gunting sama sendok. Buat apa lagi kalo bukan nggunting bungkus bumbu.


Salah satu spot di Pulau Pinus II. Lumayan aga lama berenti di sini. Sembari membiarkan eL selfie-selfie dan paling awkward pink bawa ‘rantangan’ yang disantap bedua bareng pasangannya 😂. Seriusan gokil, baru kali ini ngajak naik bukit tapi ada yang bawa bekal nasi dari rumah plus air mineral 1,5 liter.
Hahaha… Saya sih mikirnya sesimple mungkin kalau naik bukit cukup bawa sebotol 600ml. Berat vroohh…


Ini dari pulau pinus II juga.

Ini jembatan yang akan kami lalui nuju ke Bukit Batas dari Pulau Pinus II

“Ini simpan” saya masukan bunga pinus ke tas eL

“Untuk apa?”

“Kenang-kenangan supaya kamu ingat aku yang pernah bawa ke pulau pinus” ihihik… Udah gitu eL… Rafael cuman ngangguk dan nurut.

Yah, di pulau ini kami berkenalan dengan sekelompok kawanan yang juga akan mendaki ke Bukit Batas. Sebagai orang lokal tentu saja saya banyak berinteraksi dengan mamang-mamang. Juga kepada acil-acil yang ada di sekitaran Bukit Batas.

Perjalanan mendaki kami tempuh dengan waktu 2 jam menanjak. Sayangnya karena faktor rute yang masih benar-benar alami banyak nyamuk. Dah semua gadget di dalam tas, tidak sempat mengabadikan momen sepanjang jalan yang berupa hutan.

Tidak mudah memang untuk mendapatkan objek alam yang indah. Mungkin jika aksesnya bagus pemandangan di Bukit Batas tidak akan sebagus saat ini. Banyak wisatawan akan berdampak banyak kerusakan alam, mungkin. 😊

“Capek?” Tanya saya

“Ga dong, masih semangat ko”

Sedikit kawatir banyak senengnya. Bagaimana tidak karena saya tau Rafael nonstop bekerja siang malam dan dia hanya dua jam tertidur sebelum saya ajak ke Bukit Batas.

Perjuangan menepaki bukit yang sangat tidak gampang. Selalu menanjak. Untuk memasuki wilayah Bukit Batas dikenakan retribusi 5k/org. Keringat, lelah dan perjuangan 2 jam pendakian terbalas.


Spot pertama bukit batas.

Saya melihat Rafael histeris dan bersorak. Matanya berbinar melihat pemandangan dari Bukit Batas. Rafael tersenyum, dia benar-benar tersenyum. Rafael bersorak seolah ia menemukan keindahan dan keriangan yang mengusir penatnya.

Iya, tidak terlihat pulau “love”nya. Lagi-lagi Rafael dengan ulahnya mengajak beberapa orang mamang-mamang penjaga Bukit Batas untuk menumbangkan pohon yang menghalangi pemandangan.

Tanpa menggunakan parang atau sejenisnya. Rafael benar-benar ikut berjuang. Dia berisik katanya tidak bagus spotnya ada pohon yang menghalangi.

“Bahaya ah, ga usah dirobohin” ucap saya.

“Kan ga bagus kalau ada penghalang, harus disingkirin supaya keliahatan cintanya”

“Apanya?”

“Eh, pulau cintanya”


Proses menumbangkan pohon.


Dilakukan oleh mamang-mamang dan Rafael. Pohon itu di tepi jurang. Gimana ga ngeri ngeliatin dia ikut-ikutan sok bisa 😂 dengan kekuatan sepatu wakai.


Ini setelah pohon tumbang. Berkat Rafael dan mamangs 😊. Beneran pulaunya terlihat jelas kan?
Lagi, eL bersorak dan sesaat dia tertegun melihat pemandangan yang tanpa penghalang. Dia melihat bebas dengan senyumnya.
“Kamu suka?” Tanya saya lirih

“Iya”

“Kamu bahagia”

“Banget”

Ya Tuhan, betapa indahnya ciptaanMu yang satu ini. Tidak, selain Bukit Batas maksud hamba. Tapi, sesosok ciptaanMu yang hadir dalam Rafael.

Aku, jatuh cinta. Bukan lagi sebatas kagum. Entah kenapa saya ingin selalu membuatnya bahagia. Saya mengagumi Rafael dengan kesederhanaannya, dengan segala tingkahnya yang membuat selalu ingin tertawa.

Ada 3 spot bagus di Bukit Batas dan karena terik matahari dan batrai yang sudah low hanya bisa menikmati tanpa mampu mengabadikan semua.

“Asik kali ya kalau bermalam di bukit ini terus bisa lihat banyak bintang”.

“Iya, next time saat aku menjadi milikmu” dalam hati, saya hanya memberi jawaban ini dalam hati saja.

Selama berjam-jam kami pindah dari satu spot ke spot lainnya. Mendengar bisikan angin, merasakan hadirnya cinta. Serta tertawa-tawa melihat tingkah eL ketika ia mencoba menaiki sebatang pohon hanya untuk mendapatkan spot terbaik. Setelah itu lengannya luka dong 🙂 kegores kulit pohon.

Ketika lapar menyerang, kami memutuskan untuk kembali turun ke Pulau Pinus.

Lain kali saya akan kembali ke sini, “melihat bintang” seperti angan eL.

Rafael, aku tidak pernah berencana untuk jatuh cinta kepadamu. Sebab semua justru ku sadari setelah rasa itu tertanam kuat. Cinta seketika itu hadir, tapi kamulah yang membuatnya terlahir.


Menjaga dan terus bahagia bersama, semoga pulau love di Bukit Batas adalah awal dari love yang akan selalu kita jaga.


Tak sabar untuk menanti perjalanan bersamamu, menjelajahi tempat-tempat lain yang tak biasa.


Untukmu, eL.


Aufa.