Surat yang tak pernah di tulis

1.

EDELWEIS namaku. Apa kau tau artinya? Jika kau buka di kamus bisa diartikan sebagai (bunga) abadi, ayahku sering bercerita ketika aku masih kecil beliau memiliki cinta yang tulus dan menginginkan sesuatu yang abadi sebagai perwujudan cintanya kepada ibuku, maka ketika aku terlahir di muka bumi, ayah menamakan aku edelweiss.

Kata ayah sejak kecil aku sering menunjukkan sifat ketulusan ku seperti tidak pernah merasa sedih jika ayah harus memberikan mainan kesayanganku untuk anak teman ayah yang kebetulan seumuran dengan ku, aku memang seperti edelweiss yang lebih menyukai ketenangan dari pada keramaian, aku menjadikan susunan aksara sebagai keramaian, aku menjadikan bait kata sebagai keindahan karya, yang walaupun aku juga seperti anak kecil lainnya yang selalu senang memegang permen dan menikmati kenyamanan duduk di pundak ayah menyusuri keramaian pasar malam, saat ini mungkin lebih logis disebut sebagai expo.

Ayah menyukai bercocok tanam setelah kelelahan beliau dari pekerjaan kantor ayah menyukai tanaman anggrek yang terjajar rapi di samping kiri rumah serta tergantung cantik pada pohon jambu air di depan rumah, ayah menyebutnya anggrek bulan, atau yang tertanam dalam pot hijau kata ayah itu anggrek kalajengking dengan corak berwarna kuning, tetapi ayah cuma memiliki satu bunga cinta abadinya yaitu edelweiss.

Ayah memanjakanku melebihi dua kakak ku yang lainnya, apa lagi semenjak ayah kehilangan mereka, maksudku kehilangan yang tak mampu tergantikan. Aaahh aku enggan menceritakan sebabnya, mungkin lain kali akan aku tulis lebih banyak lagi tentang mereka. Ayah tak pernah lupa membawakan jajanan yang aku suka taupun makanan kesukaan ibu setiap kali pulang dari kantornya, dan asal kalian tau ya ibuku selalu menyajikan menu makan malam favorit ayah, kata ibu itu di dalam masakan ibu terdapat bumbu special agar ayah selalu mencintai kami, sewaktu aku tanya ibu hanya membalas dengan senyuman dan menjawab “ ketulusan cinta seorang istri untuk suaminya anak ku “. Ayah dan ibu bekerja pada kantor yang sama, manufacture textile terbesar di kota tempat ku lahir, hanya saja tak jarang mereka mendapatkan day off yang berbeda, tentunya seingatku waktu itu aku sering kehilangan moment menikmati liburan keluarga dengan mereka.

Ayah menceritakan jika memutuskan menikah dengan ibu setelah perjodohan mereka serupa dua arus sungai yang belum saling mengenal cinta satu sama lain bertemu pada satu lautan untuk mematrikan kisah cinta dengan perkawinan di usia muda, bahkan usia ibu tidak lebih dari 20 tahun saat menerima pinangan ayah. Entah masih ada kebahagiaan disela kesibukan mereka atau tidak tapi di hari pertama aku mulai menginjak halam taman kanak-kanak tidak ada kebahagiaan terpancar, kala itu usiaku lebih muda satu tahun dari yang lain, tak ada genggaman tangan dari ayah atau ibu.

Aku ingat di hari pertama itu aku terjatuh dari ayunan hingga kepalaku mendarat dan terbentur pada tanah terlebih dahulu, aku menangis sekuat tenaga hingga bulira air mata mengaburkan pandangan dan aliran sungai kecil di kedua lubang hidung bercucuran bagai air terjun, sangat lambat tentunya. Tidak ada yang menggubrisku, tidak ada ayah, ibu dan tidak ada yang memeluk ataupun mengusap perih di telapak tangan yang terluka tentu saja cairan merah sedikit menghiasi tangan kecilku. Mungkin para ibu yang berada di sekitarku lebih menghawatirkan antrian demi memperoleh bangku terdepan di kelas atau mereka sama halnya dengan ibu ku yang lebih mementingkan hal lain dari pada aku. Kecerdasan dan keriangan ku mampu menjadikan ku murid kesayangan ibu guru dan tak jarang justru ibu guru menghampiri ke rumah setiap pagi agar aku bisa berangkat dengan beliau dan meminta mang kusman supir ayah agar tidak perlu mengantar ku ke sekolah. itulah masa kecilku.

Kini, kala satu jerit ketakutan atas luka yang tak terobati, saat lampu kamar ku nyalakan ternyata aku sendiri, dan walaupun lampu dunia menyala, masih juga sama. Sering ku dengar suara gaduh dari bibirku yang terdiam. Kereta bahagia sudah berlalu, mencari alamat stasiun berikutnya, dia berlari menyeru ke arahku “ cinta tiket mu “

2.

EDELWEIS sayang, entah ini surat keberapa yang tidak juga kau balas dalam dua bulan terakhir ini. Seharusnya dengan kepergianmu meninggalkan kota ini sejak delapan tahun lalu, sama seperti kau meninggalkan lubang kecil di hati ayah. Tahun ini kamu tidak menjenguk ayah, mungkin peta rumah kita tak kau temukan lagi di saku mu nak, atau harus ayah tunggu di pintu depan bandara agar kau tidak tersesat seputaran mall dan kembali ke piring nasi mu.

Ayah sudah menyiapkan kado spcial untuk ulang tahun ke 23 mu tapi hingga enam putaran purnama tak juga kau ambil. Maaf maksud ayah bukan talak ketukan palu meja hijau sebagai pertanda putusnya hubungan antara ibu dan ayah yang menjadi hadiah ulang tahun mu tapi adalah waktu yang ayah siapkan untuk menemanimu mendaki puncak dan memetik bintang pada lengkung gulita langit.

Bukan rahasia bagi ayah atas kekecewaanmu terhadap segala keputusan ayah, jika boleh ayah memilih mungkin akan lebih baik kita membicarakan ini dengan empat mata pada secangkir susu coklat hangat yang selalu kau habiskan bahkan sebelum dingin menyeretnya ke dasar cangkir. Adalah cara lain untuk menjelaskan kepada mu anakku tentang perihal petualangan cinta ayah. Jangan pernah tidak kau selesaikan pengakuan ayah pada lembaran ini anakku, mungkin akan mampu mengembalikan edelweiss di ufuk subuh puncak meratus.

Hari itu entah tahun tanggal dan hari apa ayah tidak begitu ingat, keceriaan edelweiss berubah menjadi sosok tertup dan seringkali pertanyaan ayah hanya kau jawab dengan diam, tidak ada lagi riuh tawa atau ocehan-ocehan mu bercerita tentang koki yang berenang atau jumlah teman baru yang ayahpun sampai tidak sengaja lupa nama teman-temanmu, karna begitu banyak memori yang harus ayah siapkan untuk menampung itu. Tidak ada juga teman sepermainan yang singgah untuk sekedar bermain denganmu.
Sejauh ini ayah hanya bisa menduga-duga apakah sakit hatimu masih tersimpan ketika hari itu tanpa kau kabarkan kepada ayah jika sekolahmu dipulangkan lebih awal dihari yang sama day off ayah, tak menyangka jika setibanya di rumah kau berlari dan memasuki kamar ayah, dan yang kau lihat adalah tubuh telanjang ayah menindih tante Mer sekretaris ayah dalam keadaan telanjang pula. Bagai kilat di siang bolong ayah terbelalak dan berlari mengejar mu keluar setelah menutup tubuh dengan baju yang layak, tanpa menggunakan alas kaki langkah ayah menuju jerit tangis mu di dalam got depan rumah kau menangis sekencang-kencangnya mentup kedua telinga dengan tangan mu, seragam putih menjadi merah oleh darah yang bercucuran dari pelipis kirimu, atas benturan dengan sudut luar tembok pagar rumah. Ayah membopong tubuhmu dan menyampaikan berita jika kau terpeleset saat bermin ketika ibu mu menunggu dokter memberikan beberapa jahitan pada pelipis. Percayalah sampai sekarangpun ayah selalu ingat kejadian itu setiap kali melihat luka yang tak bisa hilang pada pelipis kirimu itu. Untungnya hanya tante Mer saja yang pernah menjadi kenangan buruk mu, walapun memang ada beberapa setelah dia.

Anakku sayang, percayalah ibu mu sangat mengurus kita dengan baik namun ada hal yang saat itu belum bisa ayah jelaskan, mengenai ranjang kami yang tak lagi hangat, ada trauma mendalam atas kepergian kedua kakak mu, membuat ibu semakin hambar ketika kami membuat cinta kala kau terlelap pada bulan yang basah dan malampun meresah. Seolah ayah berhenti mencintai ibu, bukan karena tak cinta lagi tapi cinta yang ayah berikan tidak digubris lagi. Keraguan secuil upil menjadi perkelahian sebesar karang hingga biduk perahu kami terombang ambing dan seorang nahkoda seperti ayah terlalu lelah memegang kemudi sendiri.

Permainan yang ayah mulai justru menjadi bumerang bagi diri ayah sendiri terlebih ketika cinta ayah mulai berakar pada wanita lain yang kini menjadi ibu muda mu. Maaf maksud ayah kak Rika, walaupun usianya hanya lebih tua lima tahun dari mu tapi tetap saja kamu akan bersedia memanggilnya ibu bukan?. Ayah selalu mengharapkanmu berada di sisi ayah bukan mengutamakan ibu muda ataupun anak yang dibawa serta ke rumah kita, tapi percayalah walaupun dia bocah lelaki itu lebih tua dari usia perkawinan kami dia tidak beda dengan kamu, anak ayah.

Pengakuan yang terlambat memang, tapi semoga masih mampu meredupkan luka di hatimu. Ayah merindukan tawamu, ayah rindu keceriaanmu akan hal sesederhana ketika kita berlarian dibawah hujan, kau bukan berlari tapi kau menari. Anakku walaupun engkau enggan pulang tapi ayah sangat berterima kasih yang akhirnya ayah mampu menceritakan rahasia yang sangat menyiksa ayah, maafkan ayah sayang, berhentilah untuk menyimpan luka itu dan ayah yang akan menebusnya nanti. Pulanglah sayang, pulang dan ambil kebahagianmu sendiri, terlalu lama sudah kau pakai topeng badut namun hatimu tetap menangis. Tengoklah ayah, barang sejenak minta izin kepada ibu dan ayah mudamu untuk menyapa Bapak.

Edelweiss kau bukan sesuatu yang sulit diraih tapi kaulah kebanggaan tertinggi ayah, kaulah keindahan yang abadi namun sempat terkeping oleh kesalahan seorang ayah, tapi ayah tidak akan pernah berhenti untuk mengembalikan keceriaanmu yang hilang sampai terhenti oleh maha dahsyat takdir. Pelukan selamat pagimu selalu membangunkan tidur ayah di kamar pavilium aster kemudian ayah dapati pelukan yang kosong.

3.

EDELWEIS anakku, barangkali belum terlambat jika ibu memintamu pulang sejenak di tanah kelahiranmu, sudah terlalu lama kau berada di puncak meratus, pastilah kakak-kakak dan Wira ayahmu sangat merindukan kedatanganmu, walaupun hanya tertinggal nama mereka pada nisan tertimbun gundukan tanah di bawah kamboja, tetap saja harus kau tengok nak. Luapkan segala perih hati namun tinggal saja di sana, tak ada kesalahan yang tak termaafkan, seperti ketika ibu mendampingi mu memandikan jenasah Wira enam bulan lalu. Ibu kubur semua pesakitan atas nama ikhlas agar semakin menerangi jalannya, sebagaimana dia pernah memberikan kebahagiaan untuk kita.

Apa yang masih mengganjal dalam lukamu hingga tak pernah ada celah sedikitpun agar ibu bisa menyentuh kesendirian mu. Lupakan saja masa silam, semua sudah mengering bagai dedaunan yang berjatuhan di musim kemarau dan terurai menjadi humus yang akan menyuburkan tunas indah. Sedalam apa membekas di hatimu ibu pun tak tau, yang ibu tau saat ini ragamu di sini tapi tidak dengan jiwamu yang entah bagaimana ibu bisa mengembalikannya lagi.
Dulu ataupun kini masih saja ibu tak ada ketika kau menangis tapi bukan berarti ibu tidak peduli dengan air mata, tangan ibu terjerat oleh tuntutan dapur yang harus selalu mengeluarkan asap selain untuk membeli gincu tentunya.

Tak pernah mencarimu ketika kau tak pulang bukan karena tidak peduli tapi justru kaulah hal yang mampu ibu percayakan kepada Tuhan agar selalu menjagamu dan limpahan kepercayaan jika kau bisa menjaga dirimu sendiri. 24 jam masih belum cukup waktu hingga tak tersisa semenitpun agar ibu bisa bertanya “ apa yang kau kerjakan hari ini nak ? “ karena kau sudah terlebih dahulu mengunci dengan diam, diam adalah teman baikmu saat ini bukan.

Apakah masih belum juga berkurang luka hatimu sehingga semua kenangan itu memenjarakan kelopak edelwais dari sentuhan keramaian, bukan bising nak tapi seperti warna pelangi yang meramaikan gelap langit.

Meninggalkanmu dulu di kota itu bukanlah keinginan ibu sepenuhnya, namun itulah cara ibu menghentikan bahtera rumah tangga yang tak kuasa lagi dipertahankan. Tidak hanya sekali tangis saja tapi tangis ibu dua kali lipat lebih dalam, tamparan tangan dari Wira yang selalu ibu terima hingga memar pada wajah tidak sebegitu sakit jika dibandingkan dengan melihatmu menangis di pojokan tak lebih nyaring dari suara perdebatan kami. Bukannya pelukan yang ibu berikan padamu tapi lebih memilih sibuk dengan amarah, tidak sibuk sebenarnya tetapi menjadi sibuk karna selalu Wira lah yang terlebih dahulu kau cari.
Berikutnya semakin memburuk setelah kedudukan Wira pada puncak tertingginya, silih berhanti parfum wanita di kemejanya, sering juga nama meri, dewi, siska dan siapa saja selalu disebut bawah sadar ketika dia tertidur. “ semua baik-baik saja “ sambil tersenyum ibu selalu menyembunyikan pertikaian kami jika siapapun bertanya, percayalah dalam hal ini ibu adalah pembohong yang cukup handal selain puluhan alibi memar yang bukan karena benturan lemari tentunya.

Ibu akhiri dengan jalan singkat berlari meninggalkan semuanya, dengan harapan kecil agar kau mencari ibu setelah dewasa nanti, karena pertumbuhanmu masih memerlukan kemegahan istana memupuk masa depan yang seharusnya membuatmu nyaman. Benar adanya, bahkan sebelum dewasa usiamu kau sudah mencari ibu, namun masih saja tampak jauh jiwamu terpenjara bukan dipuncak gunung dan bukan pula di kota tempat kau lahir tapi di masa lalu.

Diammu apakah cara untuk menutupi hatimu yang menangis nak? Percayalah jauh di dalam hati ibu, berjuta rasa syukur selalu tercurah karna memiliki edelweiss berhati malaikat, dengan keringat dan air mata kau selalu berusaha untuk membahagiakan ibu dan lelaki yang kini kau panggil Bapak. Kadang jarak kita hanya sebatas petak rumah yang tak lebih luas dari ujung gulungan ombak dan bibir pantai, namun hatimu lebih jauh dari pasir pantai pada palung terdalam dari samudera. Rambut ibu mulai memutih tapi kasih sayang ibu tak pernah berkurang untuk buah hati. Perjuangan tidak akan pernah usai, jangan takut untuk melewati malam, banyak senyum menanti saat fajar terbit, menunggu mu yang tenggelam kemarin sore.

4.

EDELWEIS cintaku, keabadian seperti terlukis pada guratan namamu adalah abadi seperti ketulusan yang kau miliki. Kamulah bunga di puncak cintaku, pada ujung rindu tertinggi menyentuh cakrawala terlindungi awan agar menjadikan indah walaupun terik lebih dekat menyentuh jiwa. Mengenal edelweis bukanlah ketidak sengajaan yang direncanakan, tapi sebuah perjuangan seperti pijakan kaki pada puncak gunung sebagai suatu tantangan bagi para pendaki.

Masih kau ingat cinta, dengan caramu sendiri kau sentuh tiap jengkal merah jambu di hati, kau lah yang membantuku bangkit dari luka. Uluran tangan dengan senyuman saat aku tersungkur meratapi luka, kau yang mengajariku tentang menata ulang hati dan menghentikan ketukan melodi bernada perih atas hati.

Di penghujung tanggal akhir satu siklus bulan ganjil, kata cinta membisik lembut memintaku untuk menemanimu menjalani langkah di depan, tak pernah terpikir untuk memberikan penolakan. Kau mungkin tak menyadari, setiap hal yang kau ucapkan selalu aku lakukan atas nama cintaku untukmu. Saat menyadari ketidak mampuanku untuk jauh darimu adalah kekuatan agar ku selalu memeluk mu.

Sifatmu yang ceria melahirkan banyak senyum dan tawa untuk bunga-bunga pada taman sosialmu, aku tau cinta jika hatimu menangis, aku mengerti jika kau menyimpannya jauh lebih dalam seolah kotak itu tak akan pernah kau buka lagi. Tapi apakah kau juga tau justru kau harus membuka dan membebaskanya pergi cinta?, boleh kita bicarakan ini tanpa diam ataupun seperti kau sedang sibuk melakukan sesuatu yang penting tapi sebenarnya tidak penting dan menjadi penting agar tidak seperti katamu dengan sebutan membuka luka lama.

Masa lalu goresan luka hati, biarkanlah ku siram dengan cinta seperti air yang menyiram bunga hampir mati dimakan musim kering, walaupun serangkai edelweispun tak akan pernah mati termakan zaman. Hangat genggaman tanganku ketika resah menggelayut harimu, semoga mampu meyakinkan jika kau tak sendiri cintaku.

Tepat di akhir bulan 31 aku berlari mendapati mu dan menyeru ” cinta tiket mu ” tiket kebahagiaan sebelum kau berlari menuju stasiun berikutnya. Maha berat luka dengan segala kesempurnaan tangis tinggalkan saja di sini, gerbong berikutnya telah menanti, izinkan aku selalu menjadi pundak sandaranmu melewati setiap stasiun berikutnya. Untukmu yang kucinta, seterjal apapun puncak gunung akan tetap ku daki, agar keindahan edelweis tetap berada pada pelukanku.

Menangislah jika memang perlu tak hanya tersedu meraungpun boleh jika itu mampu membawa semua luka lama yang tak pernah kau biarkan seorangpun menyentuh untuk mencabut perakaran benalu dari ketakutanmu sendiri. Temukan semua jala yang mampu membawa kembali kebahagiaanmu, keceriaanmu dan segala sosok edelweis tercinta. Akulah hatimu yang tak pernah membiarkan masa lalu memasung kesendirian.
***

Puncak meratus : puncak pegunungan di borneo