Keberuntungan yang mengelepar

Cerita ini di awali dengan peranan penting seorang anak tunggal dari konglomerat pemilik perusahaan batubara dan hampir menguasai sebagian besar area pertambangan di pulau Kalimantan. Seorang pemuda yang memiliki gelar magister of business administration dari Harvard university di usia terbilang muda, bukan hanya pengaruh materi yang dimiliki oleh orang tuanya tapi dengan kemampuan kinerja isi kepalanya hingga mendapat predikat lulus dengan sangat memuaskan. Semenjak bapak Wiryawan ayahnya mengalami heart attack tahap pertama setahun lalu, maka seluruh kepemimpinan perusahaan kini berada di tangan Selvano pasifik wiryawan. Untuk ukuran pria yang memiliki wawasan cukup luas belajar memegang perusahaan raksasa bukanlah hal yang sulit, Ryan Harjuno sahabatnya yang selalu membantu tiap batu sandungan dalam dunia bisnis. Ryan merupakan anak dari sahabat bapak wiryawan. Ryan memiliki pengalaman cukup lama dalam dunia bisnis, karna semenjak lulus dari Fakultas ekonomi universitas pajajaran dia sudah berkecimpung dalam arena bisnis dan menunda jenjang pendidikan berikutnya. Bagi bapak wiryawan Vano adalah kebanggaan seperti posaidone pada lautan birunya.

Vano selalu menghabiskan delapan puluh persen dari 24 jam nya di kantor, cozy place untuk vano di ruangan berukuran 15 x 25 meter yang jika siapapun memasuki ruangan ini dapat menebak hobby vano secara langsung. Dinding samping kiri pintu dipenuhi oleh beberapa foto tertempel di tembok dengan bingkai kayu coklat, beberapa diantaranya memperlihatkan moment vano ketika berhasil mengangkat jorang berbagai macam expresi kegembiraan vano memegang makhluk mata rantai medium di lautan sekelas giant travelly atau flying fish, namun ada juga ketika vano memegang ujung kail yang tertelan oleh seekor clown fish. Di bagian depan sudut pandang dari pintu ruangan vano terdapat meja kecil dengan miniature perahu pinisi buah tangan Adriene seorang dokter muda di rumah sakit swasta kota kembang yang bulan depan akan menjadi istrinya. Dan beberapa foto dalam satu bingkai antara dia adriene dan ryan yang merupakan teman sepermainan sejak kecil yang kemudian Bapak Wiryawan sekeluarga memutuskan untuk hijrah ke kota megapolitan Jakarta, dan Vano melanjutkan study di Amerika meninggalkan kekasih dan sahabatnya di kota kembang. Meja kerja vano di ujung bagian kiri foto kedua orang tuanya dan samping kanan glasess bowl berisi seekor ikan koi kecil seukuran kelingking jari orang dewasa yang memiliki warna merah hitam. Bagian belakang meja kerjanya terdapat lemari untuk memajang koleksi wine yang dia bawa dari beberapa negara, vano menenggak wine hanya untuk semacam selimut tipis kala dingin malam menusuk pori kulit.
Vano selalu datang pagi bahkan lebih pagi dari karyawannya, tapi aku begitu special hingga berada dalam satu ruangan yang sama dengan vano. Walaupun sudah berada di ambang perkawinan tapi pesona vano selalu mendapat perhatian lebih dari kaum hawa, pun begitu dengan Terry sekretaris pribadinya. Bentuk rahang vano yang simetris ditopang dengan leher kokoh dan jambang tipis terawat menghiasi rahang hingga dagunya. Pria yang memiliki bibir kemerahan dan kulit bersih perpaduan indo sempurna campuran Amerika dan jawa. Sayang sekali aku vano tidak pernah bisa mengalahkan aku dalam hal berada di dalam ruang kerja, aku selalu menjadi pemenangnya. Hari ini lelaki yang memakai kemeja putih itu terlihat lebih berantakan dari biasanya, aroma bvlgari aqua tak pernah hilang dari tubuhnya, tumpukam kertas file sedari tadi tak juga tertata rapi, sambil menghentikan gerakan jemarinya di permukaan laptop, Vano menarik nafas dan menghembuskannya dengan berat.

“ hari ini begitu banyak yang harus aku kerjakan, big projek berbulan-bulan deadline besok dan tender itu tetap harus aku dapatkan, bantu aku ya “ vano tersenyum ke arahku, sungguh menenangkan, belum sempat aku membalas ucapannya vano sudah berbicara melalui line telpon

“ Ter tolong appoitmen saya hari ini di cancle semua, saya harus menyelesaikan deadline “ ujung jempol kanan vano menekan pusat keningnya, tampaknya terry berada di ujung pembicaraan.

“ no… no ter, tanpa terkecuali ok! Nanti biar saya telpon Adriene supaya Ryan saja yang jemput ke bandara “ sepertinya terry berusaha memberikan penjelasan namun nada suara Vano sedikit meninggi dan diakhiri dengan mengembalikan gagang telpon pada tempatnya.

Ryan berada di Jakarta sejak beberapa hari lalu dengan dalih ingin menyelesaikan beberapa urusan penting, namun Vano masih belum memiliki waktu untuk menjumpai sahabat kecilnya itu. Vano ingin terlihat sempurna sebagai seorang keturunan Wiryawan yang kemampuan memegang perusahaan harus mendapat pujian dari ayahnya. Adriene hari ini landing di soeta airport dari Bandung. Sudah sangat jarang mereka bertiga bisa berkumpul bersama sekedar quality time seperti masa SMP dulu.

Senja tak pernah ingkar menyapa, walaupun hanya sejenak namun senja adalah janji semesta yang tak teringkari dan tak terelakkan. Apalah arti senja bagi seorang Selvano pasifik wiryawan yang lebih mengutamakan pekerjaan dari pada mengisi perutnya dengan sepiring nasi padang di ujung blok perkantoran dan menguapnya janji untuk menelpon calon istrinya. Sindrom pranikah, benarkah itu yang menyebabkan tingkat stress vano semakin meningkat atau hanya ambisi untuk mengejar prestasi kerja yang membuatnya semakin tenggelam diantara tumpukan kertas-kertas kerja. Apalah aku yang membuka mulut untuk mengingatkan makan siang pun tak berdaya, hanya mampu ku curi pandang guratan wajahnya yang tak jarang tampak lelah, hingga senja menjemput diamku bersama pujaan hati yang ku cintai sendiri. Crowdednya suasana kantor mulai berkurang seiring dengan satu persatu lampu ruangan menyala, pertemuan alas sepatu dengan lantai kantor menciptakan bunyi berirama memecah diantara konsentrasi kerja Vano ketika pintu ruangan terbuka.

“ Adriene… hunny… kamu.. kamu ada di sini “ dengan terbata Vano menghampiri Adriene yang masih berdiri di depan pintu. Aaahh… betapa aku tidak menyukai pemandangan ini, baru saja ingin aku habiskan malam ini dengan Vano tetapi kehadiran Adriene yang mengenakan dress merah maroon nampak sepadan dengan heels 17 centimeternya. Adriene memiliki paras cantik dengan keanggunan khas perempuan berdarah sunda. Tas jinjing berwarna merah jambu diletakkan di atas sofa sambil berjalan menuju arah ku, dapat ku perhatikan Adriene menghindari pelukan dari Vano. Adriene tersenyum ke arahku berdiri di sudut meja kerja Vano, tapi sedikitpun aku enggan membalas senyuman itu dengan ketulusan.

“ Vano.. sebenernya aku berharap tadi kamu yang jemput aku ke bandara, bagi kamu mungkin sepele tapi aku cuma pengen di yakinkan hari ini jika masih ada rasa peduli mu terhadapku ”

“ maaf sayang… aku beneran sibuk hari ini, tapi ada ryan kan? “

“ Van, kapan kamu punya waktu untuk ku? Bahkan kamu tidak pernah peduli akan pernikahan kita, iya Ryan selalu ada kapanpun saat kehadiranmu hanya sebatas janji tak berkesudahan“

“ tidak bertanya keadaan mu bukan berarti juga tidak peduli terhadap kehidupan mu “ Vano duduk di sofa dan melonggarkan ikatan dasinya, terasa sesak.

“ Bagaimana bisa yakin aku akan baik-baik saja karna ketika absensi kekawatiran yang kau lewatkan terisi oleh kehangatan lain “

“ apa maksud mu sayang ? semua yang ku kejar saat ini hanya untuk mu bahkan aku selalu merindukan mu“

“ Vano.. aku menyerah, ternyata kesibukanmu sudah menenggelamkan keyakinan ku untuk merajut mimpi indah satu kapal pernikahan, hadiahi aku dengan hati bukan dengan harta yang masih bisa ku cari sendiri “ air mata adriene menetes pelan

“ tunggu sayang.. katakan jika ini hanya lelucon, tidak… tidak bisa semudah ini, pasti salah “ Vano mendekat ke arah Adriene dengan wajah pucat sepertinya seluruh aliran syaraf darahnya tak bergerak normal

“ tidak ada yang salah Van, aku memiliki mu tapi aku tidak memiliki hati mu. Semua terasa hampa sampai pada ketika Ryan yang kau utus untuk menemaniku justru mengisi kekosongan itu perlahan, iya Vano aku ingin membatalkan pernikahan kita, tak kutemukan nuansa cinta di antara kesibukanmu memupuk kekayaan hingga kau lupa harta mu sesungguhnya “ Adriene mengelus pundak Vano yang terpaku tanpa reaksi sedikitpun.

“ kenapa Ryan, kenapa baru sekarang, bagaimana pernikahan dan orang tua kita, cintaku satu dan itu hanya untuk mu “ kedua tangan menyentuh permukaan meja hingga menopang tubuhnya.

“ sekedar cinta saja itu belum cukup, bagaimana bisa kau katakana cinta jika tak pernah kau pedulikan tentangku, sebelum ke sini aku sudah mampir ke rumah orang tua mu van, aku sudah menjelaskan semua ke mereka dan aku juga sampaikan jika aku sendiri yang akan menyampaikan ini kepada mu “

“ tidak…. Tidaaakk… aku tidak bisa terima ini Adriene… sakit rasanya.. “ tangan Vano mencengkram kuat lengan Adriene, namun adriene menepisnya dengan elakan menuju sofa mengambil tas dan perlahan meninggalkan Vano.

“ Vano, temukan perempuan lain, sampai kapanpun kamu akan tetap menjadi sahabat kami…”

” Aku bisa perbaiki ini Adriene, aku janji akan menjadi apapun yang kamu mau ” Vano berusaha meyakinkan

” Sudah terlambat Vano, sejak dulu tidak pernah ada aku di hati mu ” lirih suara Adriene dan melangkah lebih cepat dari sebelumnya meninggalkan Vano bersamaku.

Malam itu raungan tangis vano tak terbendung lagi, sungguh luka yang dalam tercipta oleh belati di balik pelukan sayap cintanya, ingin ku hampiri dan memeluknya kemudian mengatakan jika semua baik-baik saja, nafasnya terisak seakan jauh dari kehidupannya. Vano kalap atas kesedihan, kertas yang tersusun rapi di atas mejanya terhempas berantakan, foto orang tuanya pun turut medarat ke lantai keramik dan bowl glasses terjatuh hingga pecah berkeping dan memuntahkan air di dalamnya, mengelepar terasa sesak. Vano tertatih meninggalkan ruangan, vano pergi meninggalkanku tanpa menggubris ku sedikitpun, vano tak peduli dengan aku yang hanya seekor ikan koi merah hitam yang selalu ada menemaninya, yang selalu menunggu senyumnya dan tak pernah mengecewakannya sedikitpun. Hari ini hatikupun hancur mengelepar bersama ragaku. Aku lah kebanggaan Vano yang tersia-siakan seperti hatinya saat ini.

Kedatangan terakhir

” Apa kabar daffa ? “
Kata itu yang pertama ku dengar ketika sore ini menjumpaimu di salah satu coffee shop favorit kita yang terletak di lantai dua sebuah mall, nampaknya coffee shop ini mulai marak bagaikan cendawan di musim hujan. Hanya terdapat beberapa pengunjung sore ini, selain pasangan remaja menggenakan jaket couple yang sedang berbincang di sisi kanan dan juga kawanan pemuda yang sibuk dengan gadget mereka di sisi pintu masuk, sungguh teknologi yang membatasi komunikasi dengan dunia nyata, saling kenal namun tampak asing satu dengab yabg lain. Serta tak luput para eksekutif muda di beberapa meja lain. Hujan sedari tadi mengguyur tanah kering, meja bundar kecil di balik dinding kaca yang bersentuhan langsung dengan udara luar menciptakan embun basah. Ku alihkan tatapan mata pada jemari kecil tangan mu, bergerak menggabungkan aksara DAFFA. Bening bola matamu menatap kosong aksara yang kau toreh, rambut hitam panjang yang selalu kau ikat layaknya ekor kuda, dengan balutan jaket hitam yang pas di badan, jam tangan gucci silver selalu kau kenakan di pergelangan tangan. Merah jambu bibir mu sungguh karya Tuhan paling indah senada dengan putih bersih kulit tubuh mu.

Kepulan asap belum habis di cangkir keramik putih yang bahkan coklat panas di dalamnya pun tak kau sentuhkan juga dengan indera pengecap, iya kamu adalah yang mengganti segelas kopi dengan coklat panas setelah berulang kali mendengar larangan ku jika kopi hanya menimbulkan efek kurang bagus untuk kesehatan asam lambung mu. Entah karena rasa sayang terhadap kesehatan mu atau karena kepatuhan mu kepada ku, aku tak tau, yang aku tau jika aku senang kala kamu mulai mendengarkan ku. seperti halnya cinta yang mengharamkan kata ‘tidak’ ketika permintaan terucap. Walapun bukan kopi dan hanya coklat panas untuk mu tetap saja kau selalu menggandeng tangan ku untuk mengajak “ngopi” setibanya aku dari bandara untuk menjumpai mu. Tidak terlalu sering memang tetapi beberapa barista pun hampir mengenali kita karna mungkin aku dan kamu selalu menjadi pusat perhatian dengan obrolan konyol dan tawa mu hingga meneteskan air mata setiap kali mendengarkan cerita konyol ku.

Cincin perak masih melingkar di jari kanan mu, cincin yang mirip seperti kepunyaan ku. Saat aku berjanji tidak akan pernah meninggalkan mu kau pun mengatakan jika tidak pernah kau rasakan cinta yang begitu besar selain bersama ku. Berbagai macam batu sandungan tak pernah kita lalui dengan mudah memang tetapi selalu ada kita yang akan saling melengkapi dan mengisi. Kota yang berbeda selalu takluk dengan rutinitas telpon dua kali sehari ataupun debar di dada setiap kali melihat mu menjemput ku di pintu kedatangan bandara, dua bulan sekali setidaknya. Saat inipun tatapan ku masih sama, aku melihat mu sebagai seorang revi khaif yang sedang jatuh cinta. Kata pujian bahkan tak pernah cukup melukiskan keindahan mu.

“ Revi khaif, awalnya aku ragu mengenai hubungan kita karna berbeda keyakinan tapi tak pernah bisa ku pungkiri jika kamulah perempuan yang selama ini aku inginkan, yang selalu ingin aku jaga. Walapun aku tau takkan pernah mudah jalannya dengan segala rintangan jarak dan harus back street dari orang tua kita, tapi terimakasih sayang sampai saat inipun kamu masih bersama ku “ ku genggam erat jemari tangannya. Kamu yang sedari tadi menerawang ke arah rintik hujan memalingkan wajah ke arah ku dan tersenyum melihat lebih jauh, ku palingkan tatapan mataku mengikuti garis pandang mu, ternyata terlihat pasangan berjaket couple sedang bercanda hingga menumpahkan gelas kopi di atas meja mereka. iya, kitapun pernah melakukan hal yang sama bukan?

Hujan masih juga belum berhenti, semakin derasnya hingga pertemuan ion negative dan positifnya menggelegarkan bunyi nyaring, aku menutup ke dua telingaku dengan telapak tangan ku, ketenanganmu masih seperti biasa, sambil mengaduk coklat yang sudah tidak panas lagi dengan sendok plastic kecil searah jarum jam yang bahkan lebih lamban dari jalan santai kawanan siput, kau hanya memejamkan mata sedetik ketika petir berikutnya tak kalah arogan, nampaknya zeus sedang murka.

“ apa kamu sekarang masih takut petir daffa ? “ Tanya mu, yang hanya ku jawab dengan anggukan pelan mengiyakan pertanyaannya. Aku tidak takut, ini hanya phobia ku terhadap petir, tapi kenapa petir kali ini berasa lebih menakutkan karna tak ada pelukanmu seperti biasanya ketika dia mulai menyapa. Alunan music di coffe shop, terdengar samar. Revi ku sayang, apa itu, kenapa hujan juga membasahi pelupuk mata mu, sejak kapan kau merasa sedih ketika mendengar petir, apakah petir juga melukai mu? Tidak mungkin itu air mata bahagia sedangkan aku tidak sedang bercanda ataupun mengeluarkan expresi konyol sedari tadi.

Kamu segalanya tak terpisah oleh waktu
Biarkan bumi menolak ku tetap cinta kamu
Biar mama mu tak suka, papa mu juga melarang
Walau dunia menolak, ku tak takut
Tetap ku katakan ku cinta diri mu
(Judika – mama papa larang )

“ daffa pulanglah, aku akan menjaga diriku dengan baik, kisah kita sudah usai, biarkan sekarang ak jalani semua, terimakasih sudah menjagaku selama ini. tunggu aku di sana “ mata beningmu menghamburkan air mata, mata mu memerah namun tubuh ku hanya terpaku, terasa dingin hingga jantungku, lidah ku kaku tak bersuara. Dengan kode dari mu datang seorang barista membawakan bill, dan kau mengeluarkan lembaran rupiah, walaupun tanpa melihat tagihannya kau sudah ingat berapa harga secangkir cokelat panas yang hingga dingin tak berkurang isinya sedikitpun.

“ mana masnya yang biasa menemani mbak ? “ Tanya barista itu sambil menerima beberapa lembar uang dari mu

“ meninggal tepat sebulan yang lalu, kecelakan waktu mau ke bandara nyamperin saya ke kota ini “ jawab mu

” maaf mba ” si barista itu menjawab perlahan

” tidak apa mas, saya ikhlaskan dia hari ini ” dengan senyuman singkat sebelum melangkahkan kaki meninggalkan barista, bukan itu saja, tapi juga meninggalkan aku melenyap di sini, perlahan sosok ku memudar dan melayang. Revi ku sayang, aku menunggu mu, aku akan selalu menunggu mu di rumah ku.