Debur ombak hati

Namanya Debur Ombak Selatan.
Oke, orang tua macam apa yang menamai anaknya Debur Ombak Selatan. Namun begitulah dia mengenalkan diri kepada ku. Lelaki tanpa menggunakan pakaian dan hanya mengenakan celana pendek basah berwarna merah, tinggi badan ku hanya sebatas bahunya saja. Lelaki ini berhasil mencuri perhatian ku bukan hanya pada ketika dia menyebutkan namanya yang tak lazim diberikan. Kulit tubuhnya berwarna coklat, tak hanya celananya saja tapi seluruh badannya basah. Keunikan lain dari dirinya terletak pada sekat jemari kakinya yang tersambung oleh selaput tipis seperti pori kulit, tapi pada tatapan matanya yang teduh dan terlihat begitu penuh rona kebahagiaan pada lengkung bibir dan ekor mata yang selalu mengikuti gerakan ku. Lelaki yang menjadi goresan emas pada jingganya cerita kedatanganku di Jogja.

Pertemuan kami di pesisir parangtritis pantai selatan kabupaten Bantul memulai sebuah cerita yang hingga kini tersimpan di sudut hati. Mentari tak lagi berada pada puncak kepala ketika aku masih disibukan dengan memasukkan kaleng bekas minuman dingin atau juga plastik-plastik pembungkus makanan kecil yang ditinggalkan para pengunjung pantai ke plastik hitam berukuran lebih besar dari tubuh ku. Aku mencintai senja di pantai tapi aku sangat tidak menyukai jika pantai dinodai dengan sampah-sampah. Pilihan yang tepat di ujung field trip kantor memilih pantai indah ini sebagai tujuan akhir perjalanan kami, tidak sia-sia menghadiri event yang diadakan kantor perwakilan Jogja yang harus memaksaku jauh bertandang dari Jakarta. Bukan hanya senja dan pantai tapi juga Debur Ombak Selatan alasanku memilih meninggalkan kelompok rombongan agar mampu lebih membebaskan diri menyelami gulungan perjumpaan kami.

Untung saja aku memang mempersiapkan membawa hot pants biru laut dengan motif kerang berbagai warna dan mengenakan kaos hitam V neck yang dipadu dengan sandal japit merah, cepolan rambut yang menjadikan leherku tampak jenjang dengan sunglasses bersarang di atas kepalaku. Daily activities kerjaku yang membuat aku semakin tenggelam menjadi budak kapitalis, berangkat tekita matahari belum tampak dan pulang ketika senja tak lagi bersisa. Bertemu dengan rekan kerja yang bisa dibilang itu-itu saja. Hal tersebut yang membuat aku selalu menyenangi bertemu dengan orang baru dan saling bertukar cerita, seperti warna lain pada sepotong rainbow cake di etalase toko kue. Tak jarang weekend pun ku habiskan dengan menyelesaikan pembukuan kantor, pekerjaan yang selalu aku kerjakan di jam extra karena memang semenjak kakakku melanjutkan study di Luar Negeri aku harus menghandle semua pekerjaan yang selama ini menjadi tanggung jawabnya.

“ kamu penjaga pantai ? “ tanyaku

“ iya tapi bukan seperti mereka “ jawabnya tersenyum seraya menunjuk para lifeguards yang memegang teropong tak jauh dari kami. Debur Ombak Selatan membantuku mengikat ujung plastik dengan kedua sisi yang dia jadikan simpul, kerutan keningku tak serta merta hilang mendengar jawban singkatnya.

“ Terimakasih sudah membantuku mengumpulkannya sampah-sampah ini “

“ Sudah tugas ku juga “ jawabnya tersenyum dan duduk di sampingku yang berapaskan pasir pantai yang hitam.

“ Ombak, kamu petugas pembersih pantai ya? “ tanyaku kembali, mencuri pandang ke arahnya.

“ Aku melakukan semua hal di sini “ singkat namun aku tetap saja menyukainya.

Jingga terhampar luas pada lembayung langit pantai, sungguh perpaduan yang sempurna antara deburan ombak berkejaran habis di ujung jemari kakiku. Namun Debur Ombak di sisi kiri ku tak pernah habisnya mengejar deru degup jantung di ujung cakrawala meleburkan jingga menjadi merah jambu. Ornament merah jambu menyeruak seketika oleh mu, Ombak. Terlalu dini untuk disebut cinta namun tidak salah jika aku memang menyukai Ombak pria berkaki selaput ini.

“ Kau suka senja? “ tanyaku

“ aku menyukai orang sepertimu yang peduli pada pantai, apa kau tau akan selalu ada penjaga pantai di parang tritis ini untuk menjaga rumahnya agar tak terusik oleh manusia dengan racun yang mereka tinggalkan begitu saja di halaman kerjaan mereka “ jawabnya.

Tiba-tiba kali ini dia mengeluarkan lebih banyak kata, dan aku hanya menggigit bibir menggelengkan kepala dengan pandangan yang masih tertuju pada senja, namun aku tau kali ini dia yang memperhatikan aku. Mungkin jika dia menanyakan masalah debur ombak hati maka aku akan menjawab lebih panjang dari kalimat yang barusan dia lontarkan, hanya saja sepertinya gemuruh ini kurang menggema hingga hanya aku yang mampu mendengarkan dan belum tersampaikan pada halaman hatinya. Apalagi jika ketika dia memujiku atas kepedulianku terhadap kebersihan pantai, sorot mata tidak beradu dengannya namun indera pendengar tetap terfocus utama pada suaranya.

“ Dimana rumahmu ? “ tanyaku ketika senja mulai terenggut oleh malam perlahan.

“ Di sini “

“ Di Bantul maksud mu ? “ perlahan muncul keresahan karena senja mulai terenggut paksa oleh langit gelap, dan itu berarti Bus rombongan yang aku tumpangi akan segera meninggalkan pantai Parangtritis ini. Pada detik terakhir aku tak ingin menyiakan kesempatan agar nanti kami selalu dapat berkomunikasi.

“ Iya, di sini “ Ombak tersenyum dan beranjak dari posisi duduknya.

“ Apa kau tidak memberiku nomer ponsel atau sosial media agar kita dapat berkomunikasi setelah ini? “ tanyaku melihat tubuh jangkungnya yang nampak lebih tinggi karena posisi duduk ku.

“ Apa itu ? “

“ Nomer telpon “ belum selesai ucapanku dan dia berjalan perlahan meninggalkan aku, akupun berdiri mengikutinya dari belakang seolah enggan menyudahi perjumpaan kami.

“ Aku tidak tau apa itu, aku harus pulang, perjalananku jauh “

“ Ombak, apakah kita akan bertemu lagi, atau kau bisa menumpang Bus milik rombonganku“

“ Debur Ombak Selatan adalah namaku dan aku penjaga pantai parangtritis ini, di sinilah rumahku, kedua kaki katakku sudah cukup membantuku menuju rumah, saatnya aku pulang Jingga “ sedetik aku memperhatikan bagian kaki Ombak yang berselaput di antara sekatan jari, kemudian menatap senyum pada lengkung bibirnya.

Jilatan ombak pantai semakin memburu, senja tak lagi bertahan dengan jingganya. Belum lagi aku mendapatkan nomer ponsel atau akun sosial media milik Ombak namun terus berjalan menuju air pantai. Jingga, dia menyebut namaku, dari mana dia mengetahui namaku sedangkan selama pembicaraan kami tak pernah ku sebutkan namaku. beberapa crew rombongan sudah meneriakan namaku memanggil beberapa kali.

Bergegas aku berlari kecil berbalik arah mengambil kantong plastik sampah di dekat tempatku duduk bersama Ombak sebelumnya, dan ketika pandanganku kembali ke arah pantai dimana Ombak berdiri, tidak ku temukan sosoknya pada posisi itu. Akupun tersenyum dan meninggalkan cerita penjaga pantai yang mampu merasuk dalam hatiku tanpa dia sadari, namun mungkin kelak akan ku temukan sendiri penjaga hatiku mungkin di pantai lain ketika debur ombak menjaga senja yang jingga tau mungkin juga ditempat ini.

Lingga!

1. Lingga

“ hah… Pindah?? Ke kalimantan?? mengapa kau memutuskan besok untuk mengambil pekerjaan di pedalaman Kalimantan ling? “

“ harus pertanyaan itu aku jawab? Sudah sore, pulanglah nay, besok hari besarmu, alasan apa yang akan kau berikan jika mereka mengetahui keberadaanmu di sini “

“ jakarta – bandung, masih bisa ditempuh setiap dua bulan sekali kau selalu di sini, bagaimana dengan Kalimantan – bandung ling? “

“ dimanapun aku berada bukankah selama ini kehadiranku selalu tak pernah absen di tab mention mu Nay, wajahmu pucat sayang ”

” kalimantan jarak yang jauh Lingga.. ”

” apa yang kau takutkan dari jarak geografis atas kepindahanku Nay? Bukankah untuk jarak hati kau terlebih dulu berkemas ”

” Lingga, tidak semudah memindahkan karakter dari akun twiter yang satu ke yang lain, begitu juga dengan hati yang sudah berumah padamu ”

@LingLung: tak semua cinta mampu dimiliki, hanya cinta sejati yang tak pernah mati

Nayla rendrani, yang ku kenal melalui social media berlogo burung biru, tak banyak dimengerti memang tapi benar adanya cinta mampu hadir bahkan ketika kita belum pernah melihat sosoknya. Menjalani hubungan layaknya pasangan lain yang mengutuk jarak mereka sebut Long Distance Relationship. namun benar adanya jarak raga tak menjadi soal ketika rasa tak berjarak. Satu tahun kehadirannya di hidup ku, layaknya tanaman yang memerlukan hujan, dengan kehadiran ku setiap dua bulan sekali adalah kesejukan bagi rindu kami.

Namun desember ini bukan lagi bulan kami, seharusnya memang aku belajar berenang sebelum menyelami hatinya, seharusnya aku membawa serta antiseptic ketika hendak bermain dengan cadasnya tebing hati. Tidak ada yang salah dari kami, cinta ataupun keadaan, karna semu cinta seperti permainan dunia nyata justru hati selalu nyata. Nayla rendrani gadis mungil yang tak lebih tinggi dari bahu ku, memiliki rambut ikal dan bermata bening hitam, sungguh ku cintai.

“ setelah besok, apakah kau akan meninggalkan ku juga? Bukankah selama inipun kita masih mampu berjalan bersama “

“ yang jelas setelah besok aku bukan lagi sebagai orang ke tiga dari pasangan pacaran tapi kamu sudah menjadi istri sah dari Yusda, kaupun sudah akan pindah dari status menikah Nay “ aku tersenyum pada Nay dan beranjak pelan keluar dari lobby hotel untuk menuju taksi berwarna hijau yang baru saja tiba di pintu depan hotel agar Nayla segera meninggalkan hotel.

“ sampai berjumpa besok pagi nona, jangan lupa singgahlah ke apotik. Wajah mu begitu pucat belilah obat untuk asam lambung mu segera “

“ apa kau tidak ingin memiliki ku sepenuhnya Ling? “

“ pertanyaan atau sekedar basa-basi di waktu yang terlambat?, kamupun pasti tau seberapa besar cintaku“ aku mengerutkan kening dan menutup pintu taksi

@LingLung: kebahagiaan mu @NayLove  adalah yang utama untuk ku, tersenyumlah sayang

            @NayLove: Apapun yang terjadi jangan pernah pergi dariku @LingLung

2. Nayla

@NayLove: Cinta itu tidak untuk menyakiti, aku merindukan mu

Lingga Anggara, bukan hal gampang menjatuhkan hati pada sosok yang selama ini mengisi hati. Lelaki lulusan teknik geologi yang selalu mengenakan kemeja flannel dan sepat converse dekil, sederhana namun nampak istemewa untukku. Lingga yang tak pernah meninggalkan tas ransel berisikan buku bacaan kesayangannya tentang revolusi Negara tetangga ataupun sastra menjadi terlihat makin sempurna di mataku. Seharusnya memang sejak awal aku menceritakannya tentang komitmen ku dengan pria yang lebih dulu ada, Yusda seorang kapten kapal pesiar yang selalu disibukan perihal pernafkahan dengan rute pelayaran lintas negara. Kekosongan itu yang membuat sebagian hati terbagi oleh kehadiran Lingga yang aku kenal melalui jejaring sosial.

Perubahan bentuk fisik yang semakin berisi sesungguhnya membuatku kawatir atas komentar beberapa sahabat, mungkin saja karena tingkat depresi menekan hormon hingga mengabaikan irama jadwal makan dan lebih mengisi silabu kepala dengan segala hal tentang kebersamaanku dengan Lingga bukan Yusda calon suamiku.

Tak banyak yang aku tau tentangnya karna memang selama ini aku lah yang selalu bersandar hingga aku lupa mengenal dia yang aku cintai. Tentang hari pernikahan tidak bermaksud menyembunyikan dari Lingga, hanya saja tak kuasa aku melihatnya terluka namun seharusnya aku jujur tentang ini. Andaikan saja Lingga menahanku untuk tidak memasuki altar prosesi besok dan membawaku pergi pastilah aku akan sangat bahagia memilih jalan itu, namun ku sadari mungkin dia tak sebegitu cintanya denganku.

@LingLung: hai nona @NayLove sempet ke apotik kan? Minum obat dan tidurlah

            @NayLove: iya tuan @LingLung aku ke apotik tapi tidak membeli obat, temani aku sejenak

            @LingLung: pukul 2 pagi nona @NayLove, besok aku akan menjadi tamu pertama untukmu

Tentang harapanku yang tersimpan pada tetes hujan yang mengetuk jendela kamar, ingin rasanya aku berlari menuju hotel Lingga berada, menampar hatinya agar tersadarkan jika aku sangat mencintainya dan bukan Yusda yang ku inginkan esok hari mengucap sumpah pernikahan. Aku sangat merindukannya, pelukan hangatnya ketika sehelai selimut menutupi tubuh ku, betapa sungguh kenangan yang tak pernah ku lupa, kami menghabiskan malam dengan cinta, seperti senyumannya ketika tepat berada di atas tubuhku. Tidak semua yang terjadi di dunia maya tidak berasa nyata, masalah hati misalnya dan itu bukan sekedar permainan belaka. Lingga yang selama ini menjadi pengantar tidurku, bahkan dialah yang dengan sabar selalu merawatku jika demam mulai mengusik, Jakarta – Bandung bukan hal sulit baginya walapun hanya sekedar memastikan aku baik-baik saja. Ku tinggalkan sejenak Lingga yang membalas mention teman maya seraya mengambil kantong plastik dari apotik menuju kamar kecil terasa berat, terlebih lagi air mataku tak berhenti mengalir, dengan bunyi notif dari gadget membuat kesadaranku tetap terjaga jika Lingga masih di sana, di tempat pertama kali aku mengenalnya. Rasa kantuk dan letih tak lagi tertahan hanya mampu melihat mentionmu

@LingLung: aku sangat mencintai mu @NayLove, dan tak akan pernah terpungkiri

            @LingLung: selamat menempuh hidup baru cintaku, bahagialah

            @LingLung: Semua cerita indah akan selalu tersimpan

3. Lingga

Beberapa kaleng bir tergelatak di samping televisi yang masih menyala, aku menemukan diriku dengan air mata yang tak henti duduk beralaskan ubin putih, masih tentang kenyataan yang tak mampu ku terima, baru saja kemarin aku rasakan bahagia memiliki seorang yang sangat ku cintai, tapi besok harus ku hadapi dengan kenyataan menghadiri pernikahannya, siapalah aku yang hanya sebagai selingannya saja, bahkan untuk memintanya bertahanpun tak ada hak. Aku hanya berfikir jika memang harusnya dia bahagia walau tanpa ku, sedetik ku urungkan niat untuk menghadiri hari pernikahannya yang juga hari kehancuran. Ku raih laptop dan mulai saja jemariku menuliskan surat elektrik untuknya

To: Naylaprayapta@yahoo.com

From: LinggaLung@yahoo.co.id

Sayangku Nayla, aku tau sekarangpun kau sudah terlelap hingga tak kau tau betapa hancurnya hatiku saat ini. Maafkan aku, aku tak mampu hadir di gereja berada pada barisan depan bangku itu, aku hanya tak ingin merusak kebahagiaanmu. Apa yang terjadi di antara kita adalah keindahan yang tak terganti, aku sangat mencintaimu hingga keinginan memilikimu selamanya adalah ego. Namun mungkin aku tersadarkan jika tak pantas untuk ku menghancurkan masa depan kalian. Nayla sayangku, rasanya terlalu sepi kamar hotel ini tidak seperti ketika kita menghabiskan malam dengan dekapan erat pelukan ku. Yusda bukan aku, tapi dialah yang nanti akan memilikimu sepenuhnya, cintai dia yang ada saat ini walapun tak mampu memiliki cinta kita, berbahagialah Nay. Akan ku permudah semua jalan untuk kebahagiaan mu, malam ini adalah kisah terakhir dari cinta kita. Mungkin semuanya sudah terlambat tapi aku begitu mencintaimu Nay, dengan seluruh hatiku. Alangkah cantiknya esok kau akan mengenakan gaun putih itu. Kau bukan hanya kesenangan sesaat, hanya saja aku yang terlena hingga sangat dalam cinta ini. Aku tak ingin menatap penuh luka hari bahagiamu, akan aku ikhlaskan semuanya, berbahagialah kekasihku.

Withlove, Lingga J

Sent.

Pukul 4 dini hari, ku kemasi semua barang, dalam tas ransel, ku keluarkan sim card dari gadget dan meletakkannya di atas meja kecil, dan meminta receptionis untuk menyiapkan mobil menuju Bandara Soekarno Hatta. Bukan hanya raga yang harus pindah tapi juga hati yang ku kemas kembali, mematikan laptop dan meninggalkan hotel, kulakukan hal terakhir sebagai penutupnya, menghapus akun jejaring sosial, *delated*

4. Nayla

Kepalaku terasa berat seperti ratusan beton menggelayut setelah perdebatan dengan Lingga semalam, terbangun aku oleh suara ketukan pada pintu kamar, tak lain adalah suara ibuku yang memberi perintah agar aku mempersiapkan diri akan kedatangan para juru rias pengantin. Perlahan mata ku buka, jemari tangan masih tergenggam test pack dari apotik yang tadi malam baru ku gunakan, iya aku bukan membeli obat asam lambung tapi alat test kehamilan, mata ku bergerilya dan melihat garis merah dua, seketika bibirku mengucap pasti “ LINGGA!! “

Ibu, aku pulang

Huufff….. dengan perasaan jengkel aku membuka pintu kamar mess yang terletak di dekat pabrik tempat ku bekerja, mess ini terdiri dari beberapa kamar yang memang disiapkan oleh perusahaan untuk menunjang fasilitas tempat tinggal bagi beberapa karyawan, ini kali pertama aku memutuskan untuk meninggalkan rumah setelah berkali-kali pertengkaran dengan adik lelaki yang berakhir dengan pembelaan ibu jatuh di namanya. Lelah aku dengan suasana ketika tidak ada keadilan lagi, apakah mungkin hukum tak jelas jika seorang kakak harus selalu mengalah kepada adiknya juga berlaku, bagaimna dengan dikumpulan keluarga lain?, entah lah yang pasti hari ini kejengkelan ku di batas puncaknya.

Kasih sayang ibu sedari kecil tak pernah sepenuhnya aku rasakan, dulu ibu tidak pernah menanyakan kabar aku sepulang sekolah ataupun sekarang ibu juga tidak pernah memeluk disaat penatnya mengurus pekerjaan kantor. Iya, masalah di pabrik yang sering kali ada ancaman tindak kriminal seperti halnya ancaman yang bersentuhan dengan hukum atas sikap kecewa para karyawan menerima peraturan baru perihal penambahan jam kerja, yang tidak bisa menempatkan otak lebih dahulu dari pada otot. Walaupun hanya sekedar ancaman namun cukup membuat karyawan seperti aku untuk lebih waspada lagi. Tapi justru neraka dunia dan ancaman keselamatan justru aku temukan di rumah, yang kata mereka tidak ada tempat ternyaman selain rumah, tapi tidak berlaku untukku.

Semenjak kecil aku selalu membantu ibu memenuhi kebutuhan hidup seharu-hari, bangun kala mentari belum menyentuhkan raga pada bumi, yang bahkan sebagian besar anak seusiaku mungkin masih meringguk di dalam selimut tapi aku sudah membantu ibu menyiapkan dagangan. Hingga dewasa kinipun aku masih membantu ibu demi menjaga kepulan asap di dapur agar tetap hangat, oh bukan itu saja tentunya demi batangan rokok dan pulsa yang harus selalu terisi milik adik ku.

“ Berantem lagi dengan Wahyu? “ tiba-tiba Rosi temen satu kantor penghuni kamar sebelah yang sudah terbiasa mendengarkan keluhanku masuk ke dalam kamar sambil mengunyah keripik singkok dengan bungkus berwarna kuning yang masih ada di tanggannya. Rosi dan aku memiliki jabatan sama selevel supervisor beda shift kerja, dan memiliki keuntungan bisa menggunakan mess kapan saja.

“ iya, dan kali ini lebih parah dia mengambil jam tangan ku dari kamar dan menjualnya dengan menukar sebotol minuman keras, dia saat aku tanya dengan nada tinggi dia malah melemparkan asbak ke arahku, tapi yang sangat aku sesalkan lagi-lagi ibu membelanya “ jawab ku kesal.

“ kan semua masih bisa dibicarakan, pulanglah… kasian ibu mu tanpa kamu bagaimana beliau ke pasar membeli dagangan atau siapa lagi yang akan membantu setiap pagi ? “ nasehat rosi

“ ada saja anak ibu yang gagah dan tidak mau bekerja itu, ibu tidak pernah menyayangiku dan justru menyalahkanku dengan alasan aku tidak berhati-hati menaruhnya, lagian untuk apa terlalu ngoyo berjulan sedangkan kebutuhan harian ibu juga sudah aku penuhi, ibu bekerja banting tulang cuman untuk dikasih ke Wahyu saja “

“ Mira, tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya dan… “

“ udah ros, aku mau mandi dulu, aku masuk pagi kan hari ini “ belum juga Rosi menyelesaikan kalimatnya aku sudah memotong dan menenteng handuk putih masuk ke kamar mandi ujung kiri kamar berukuran 10 x 15 meter itu.

***

Dua hari sudah aku tak pulang ke rumah dan ironisnya ibu tidak juga mencari dengan cara menelpon atau mengirimkan pesan singkat, mungkin dengan kepergianku adalah cara terbaik menyudahi pertengkaran dan dengan begitu juga ibu tidak perlu memarahi atas kesalahan yang seharusnya bukan menjadi bagianku. Ku samarkan kepedihan pertengkaran terakhir kami dengan cara melarutkan dalam tumpukan pekerjaan kantor. Sambil meraih nasi bungkus yang selalu Rosi tinggalkan di gagang pintu kamar aku membuka pintu kamar dan menyantap sebungkus nasi dengan lauk sambel goreng hati, tumis kacang serta ayam crispy dengan sedikit sambal mentah. Rosi memang sahabat yang mengerti kondisi serta selera lidahku, selama beberapa hari ini selalu dia menyiapkan sebungkus makan malam ku.

Kenikmatan sambel goring hati kesukaan ku terasa begitu perih di tenggorokan saat sepintas kerbayang kembali kejadian pertengkarang dengan ibu kemarin, mungkin saja aku bukan anak ibu hingga setelah kepergian ayah semua kasih sayang ibu hanya diberikan kepada adikku saja. Untuk anak lulusan Sekolah Menengah Atas menurut ku sudah tak sewajarnya dia menggantungkan hidup hanya kepada ibu. Seberapa banyakpun uang yang dia terima selalu habis hanya untuk makan di café bersama pacar ataupun berfoya-foya di kawasan perbelanjaan bersama temannya. Mungkin sepotong steak yang dia gigit terasa sangat asin karna di dalamnya ada keringat seorang ibu, tapi sayangnya ibu tidak merasakan sedih melihat kondisi anak lelakinya itu, justru aku yang tak pernah berhenti selalu mencoba membicarakannya dengan ibu agar member teguran kepada Wahyu untuk mulai bersikap dewasa setidaknya mencari pekerjaan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.

“ mir… miraaaa….. “ tergopoh-gopoh Rosi berlari membuka tanpa izin pintu kamarku.

“ duh Ros wei weeiii calm down girl… kek dikejar hantu aja deh, apaan sih… “ jawabku sambil membereskan sisa bungkusan nasi

“ kamu harus pulang! Ibu mu masuk rumah sakit ! “ dengan nafas masih tidak beraturan

“ ga ah, kan ada dokter di sana. Lagian buat apa kalau mereka perlu aku pasti akan menghubungi aku bukannya kamu Ros “

“ Mir, mana hp kamu, coba cek dulu aktif ga “ seraya mengambil hp ku di atas meja dan menunjukkan layar lebih dekat dengan mataku.

“ oh iya mati habis baterei, nanti deh Mir, aku tau pasti ibu pun tidak memerlukan aku “

“ jaga bicara mu Mir, ibu mu sangat menyayangi mu bahkan dengan cara yang tak pernah kau tau, kau fikir selama ini dari mana asal nasi bungkus yang kamu makan setiap malam ? itu ibu mu yang jauh-jauh sengaja datang ke mess untuk menggantungkan makan kesukaan mu “

“ kamu bercanda kan Ros ? “ nafasku terasa sesak mendengar ucapan Rosi

“ tidak ada yang harus dibercandain saat ini, dan asal kau tau saja ibu mu sakit karna terjatuh dari sepeda saat pulang dari mess sore tadi “

Rosi menepuk bahuku pelan dan tanpa berfikir panjang akupun memutuskan untuk pulang ke rumah, aku tidak mengerti tentang kemasan kasih sayang yang ibu berikan pada ku, tapi kejadian hari ini cukup membuatku tersadar jika saat ini tubuhku sangat ketakutan dan yang aku harapkan hanyalah sampai dengan cepat di rumah. Aku mengutuk diriku sendiri atas semua sikap ketidak pedulianku terhadap ibu.

Sesampai di rumah, aku menuju kamar ibu dan aku dapati ibu terbaring lemah dengan beberapa anggota keluarga yang kemudian mereka meninggalkan ku berada dalam kamar ibu, ku pandangi lekat rambut ibu yang mulai memutih, kerutan di sudut mata, aku sentuh perlahan kening ibu yang tertidur, dan tangan ibu bergerak pelan memegang jemari tanganku erat.

“ nak, maafkan ibu.. ibu bukan tidak menghubungi mu, tapi itu semua karna ibu tidak berani mengganggu sendiri mu. Dan pula hp ibu jual untuk menebus jam tangan yang dijual adik mu. Selama ini ibu bekerja hasil dari dagangan ibu tabung nak, untuk tambahan beli sepeda motor agar kau tidak lelah setiap hari naik angkot ke kantor. Ibu tidak pernah membedakan kasih sayang hanya saja ibu memiliki cara yang berbeda untuk menjaga kalian. Kamu adalah kebanggaan ibu, kekuatan ibu, sedangkan adik mu memang perlu perhatian lebih dari ibu “

Bibirku terkunci, bening air mata yang menetes tanpa henti, aku tak pernah menyangka sebegitu besar pengorbanan ibuku, malaikat pelindungku yang dalam diamnya selalu menjagaku. Aku yang selama ini buta dan tidak pernah tau sebegitu besarnya perhatian ibu.

“ nak, ibu tidak ingin kalian selalu bertengkar, maafkan ibu jika masih belum cukup bisa menunjukkan kasih sayang ibu, hanya kalian yang kini ibu punya. Ibu selalu ingat makanan kesukaan mu, ibu selalu kirim nasi buat makan malam barang kali kau rindu masakan ibu, setiap malam ibu selalu menangis merindukan mu nak “

Tubuhku dingin, tangisku semakin membasahi rasa bersalah, yang aku pikirkan kini hanya ingin membahagiakan dan menjaga ibu, yang ku inginkan kini selalu berada di dekat ibu. Ternyata Tuhan mengirimkan aku seorang malaikat tanpa sayap yang selalu mengajari aku tentang kesederhanaan, tentang menjadi orang yang kuat di atas tempaan hidup, dan ibu pula yang mengajarkan aku tentang ketulusan.

“ ibu, aku sekarang sudah pulang “ jawabku.

 

Rahasia tahun baru

Pagi yang tak lagi pagi masih saja terasa pilu setelah semalaman dia menangis tanpa henti. Pemakaman istrinya kemarin adalah luka yang begitu dalam untuknya. Seorang istri yang selalu ada untuknya, seorang istri yang telah menemani biduk perkawinan selama dua tahun terakhir. Malam tahun baru yang dihabiskannya mengabdi untuk negara memimpin pasukan mengamankan kota kembang bumi parahyangan ternyata justru meninggalkan kisah pilu bagi dirinya. Kepala yang terasa penat serta dada yang sesak bukan karena tertimpa benda puluhan kilogram tapi kejadian yang sangat berat sudah menyapanya tanpa permisi. Begitu terhormatnya tugas seorang pimpinan aparat keamanan terlebih lagi saat menjaga kestabilan lalu lintas pada malam pergantian tahun namun ternyata tidak mampu mengobati luka karna ketidak mampuannya menjaga seorang istri tercinta. Tugasnya sering kali menyita banyak waktu, pulang larut malam setelah menangani beberapa kasus di kantor ataupun setelah menguras banyak emosi menghadapi sampah masyarakat yang memang di balik terali besilah mereka harus mendekam. Seberat apapun itu, selalu ada pelukan hangat istrinya dan kelembutannya yang selalu mampu meredamkan ego yang tak jarang sering terbawa hingga ke rumah.
Bagaimana tidak kehilangan itu begitu dalam, seorang istri yang anggun dan selalu bersikap ramah kepada siapapun juga bahkan banyak tetangga yang memujinya bukan karena tugas negaranya tapi justru karena mendapatkan istri yang begitu istimewa. Masih mudah diingat alunan lembut suara istrinya setiap pagi yang selalu membangunkannya dan member kecupan lembut di kening, ataupun segelas kopi panas serta sarapan pagi yang tak pernah ketinggalan.

Senin pagi tanggal 1 januari 2014, peristiwa yang di awali kejadian tragis tepat di bahu jalan istrinya tersungkur dengan kondisi pelipis terbentur keras pada ujung paving drainase, ketika sebelumnya taksi melaju dan menghantam tubuhnya. Jingga mentari mulai tampak demi kamboja yang berguguran pada tanah basah pemakaman, tak lagi dia ingat siapa saja yang mengucapkan bela sungkawa dan tak lagi dia tau seperti apa tampang para pelayat yang hadir hari itu. Dia hanya mengingat begitu cantik bidadari hatinya bahkan ketika kafan menutup wajahnya untuk terakhir kali. Tak luput pula dia berandai rasa penyesalan andaikan dia tidak harus menghabiskan waktu pagi itu dengan tidur setelah terjaga semalaman mungkin dia akan menemani istrinya yang hendak bepergian.
***
Pagi ini tidak ada lagi secangkir kopi dan sarapan pagi yang selalu disuguhkan istrinya, pagi ini ia terbangun dengan langkah gontai menyambar gelas dan mengisinya dengan air mineral dari dalam kulkas. Air yang begitu dinginpun masih tak mampu meredamkan bara duka, perlahan air matanya menetes kambali ketika padangan matanya tertuju pada foto pernikahan mereka menggunakan kebaya putih terpajang pada frame hitam pada dinding tembok bercat biru muda. Istrinya yang memilih warna biru muda karna dia sangat menyukai warna biru, dia pernah mengatakan jika biru adalah ketenangan, kekuatan tersembunyi seperti halnya lautan yang menyimpan berjuta keindahan dibalik permukaan birunya.
Segelas air mineral dingin pada genggaman tangan kanannya, menuju meja kecil di sudut ruangan, tempat biasa istrinya menghabiskan waktu menyelesaikan pembukuan keuangan bisnis butik di jalan dago yang sudah beberapa bulan ini mengisi kesibukan istrinya bersama teman sejawat. Meja yang tertata rapi dengan bingkai foto istrinya dengan latar belakang wahana tornado di dunia fantasi Jakarta, ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mengajak istrinya berwisata, tapi terlihat foto tersebut seperti kejadian baru beberapa minggu saja, karna tidak ada perbedaan mencolok dari wajah istrinya sebelum kecelakaan kemarin terjadi. Air matanya tak kuasa terbendung lagi, hingga tetesannya membasahi permukaan kaca bingkai foto yang ia usap perlahan di bagian wajah istrinya, senyum indah dan rambut hitam lurus yang selalu tergerai, betapa dia merasakan beruntung sekali pernah memiliki seorang istri seanggun itu.
Membuka laci meja, mencoba menggali kenangan atas beberapa barang yang ada dalam tas tangan berwarna biru yang dia bawa ketika kecelakaan itu terjadi, ada pulpen berwarna biru serta tiket travel ke Jakarta di sela buku catatan sampul hitam, tulisan tangan begitu rapi berbaris. Terpapar beberapa detail kegiatan yang akan di lakukan istrinya seperti membeli anggrek, mengambil jahitan baju serta beberapa list hotel berbintang di utara Jakarta. selama menjalankan bisnis butik istrinya memang sering ke Ibu kota untuk menemui rekan bisnis. Dia usap lagi air mata yang menetes ketika membaca tulisan pada lembar sebelumnya, puisi – puisi indah dari istrinya, bahkan dia tidak tau jika selama ini seromantis itu istrinya menuliskan pada lembaran putih,

“ Untukmu yang ku cinta dari jauh, jika rindu adalah busur maka izinkan aku menjadi anak panah yang akan selalu menuju untuk menghampiri kesendirian mu, jika hari bukanlah kepunyaan kita maka izinkan aku mencurinya sedikit dari mu untuk kita, kelembutan dan kehangatan mu adalah ku damba “

Lirih dia berucap “terimakasih puisinya sayang, ternyata kamu romantis” iya, selama kesibukannya bertambah akibat kenaikan pangkat, dia jadi jarang menghabiskan waktu bersama istrinya, seperti rumah hanyalah tempatnya singgah untuk memejamkan mata beberapa jam yang kemudian di pagi hari harus kembali bertugas, hingga banyak hal yang terlewati. Betapa semakin dalamnya rasa bersalahnya, menyiakan banyak waktu untuk mereka. Lembar demi lembar buku catatan penuh akan puisi cinta saja.

Meletakkan buku catatan dan menekan tombol power pada handphone milik istrinya, smart phone keluaran terbaru yang dia hadiahkan sebagai kado pernikahan bulan lalu, meraih gelas air di tangan kiri dan menelannya perlahan sambil matanya tetap tertuju pada layar handphone di tangan kanan, tampak beberapa pesan singkat darinya yang mengabarkan jika ia harus bertugas hingga pagi serta beberapa pesan lainnya dari keluarga yang mengucapkan euphoria pergantian tahun. Tiba-tiba air berhenti membasahi tenggorokannya dan tersedak hingga mengeluarkannya lagi membasahi meja, jantungnya seakan terhenti seketika, bagaikan petir di siang hari, segera dia gulir ulang kotak pesan masuk hingga kerutan pada kening kening membiarkan mata menjelajah lebih jelas, nampak tertulis

Dari: blue ​
07:15 ​
Sayang jam berapa ke sininya? (01 januari 2014)

Dari: blue
03:43
Kabarin aku besok pagi ya sayang, sekarang tidur saja dulu sebelum suami mu pulang. Love u (01 januari 2014)

Dari: blue
00:01 (01 januari 2014)
Selamat tahun baru sayang, selalu mencintai mu, semoga tahun depan hubungan kita akan semakin indah. Mmmuuuuuaaccchhh… cinta kamu

Bahkan dirinya pun tidak pernah memberi perhatian ataupun menulis pesan seromantis itu, bahkan dirinya pun tidak pernah mengucapkan doa untuk pergantian tahun untuk hubungan mereka, seraya mengusap wajah dan helaan nafas panjang yang terberat pernah ada, dia menekan tombol call pada nomer blue.terdengar nada tunggu yang kemudian berganti dengan suara
“Hallo sayang, kenapa hp kamu mati, jam berapa ke jakarta? Suami kamu sudah tidur kan? Sayang…. Halo… halo sayaangg….”

Berjuta tanya menggelayut, siapa dia? Ada hubungan apa dengan istrinya? Jakarta? Foto di dufan? Puisi romantis di lembaran buku catatan? Dan juga nama blue yang memanggil istrinya dengan “sayang”, siapa blue yang ternyata bersuara wanita, mungkinkah istrinya….
Menyilangkan tangan di atas meja dan menaruh kepalanya di atas lipatan tangan, ia menangis sangat keras tanpa ampun, di hari setelah pemakaman istrinya kemarin.