Namanya Debur Ombak Selatan.
Oke, orang tua macam apa yang menamai anaknya Debur Ombak Selatan. Namun begitulah dia mengenalkan diri kepada ku. Lelaki tanpa menggunakan pakaian dan hanya mengenakan celana pendek basah berwarna merah, tinggi badan ku hanya sebatas bahunya saja. Lelaki ini berhasil mencuri perhatian ku bukan hanya pada ketika dia menyebutkan namanya yang tak lazim diberikan. Kulit tubuhnya berwarna coklat, tak hanya celananya saja tapi seluruh badannya basah. Keunikan lain dari dirinya terletak pada sekat jemari kakinya yang tersambung oleh selaput tipis seperti pori kulit, tapi pada tatapan matanya yang teduh dan terlihat begitu penuh rona kebahagiaan pada lengkung bibir dan ekor mata yang selalu mengikuti gerakan ku. Lelaki yang menjadi goresan emas pada jingganya cerita kedatanganku di Jogja.
Pertemuan kami di pesisir parangtritis pantai selatan kabupaten Bantul memulai sebuah cerita yang hingga kini tersimpan di sudut hati. Mentari tak lagi berada pada puncak kepala ketika aku masih disibukan dengan memasukkan kaleng bekas minuman dingin atau juga plastik-plastik pembungkus makanan kecil yang ditinggalkan para pengunjung pantai ke plastik hitam berukuran lebih besar dari tubuh ku. Aku mencintai senja di pantai tapi aku sangat tidak menyukai jika pantai dinodai dengan sampah-sampah. Pilihan yang tepat di ujung field trip kantor memilih pantai indah ini sebagai tujuan akhir perjalanan kami, tidak sia-sia menghadiri event yang diadakan kantor perwakilan Jogja yang harus memaksaku jauh bertandang dari Jakarta. Bukan hanya senja dan pantai tapi juga Debur Ombak Selatan alasanku memilih meninggalkan kelompok rombongan agar mampu lebih membebaskan diri menyelami gulungan perjumpaan kami.
Untung saja aku memang mempersiapkan membawa hot pants biru laut dengan motif kerang berbagai warna dan mengenakan kaos hitam V neck yang dipadu dengan sandal japit merah, cepolan rambut yang menjadikan leherku tampak jenjang dengan sunglasses bersarang di atas kepalaku. Daily activities kerjaku yang membuat aku semakin tenggelam menjadi budak kapitalis, berangkat tekita matahari belum tampak dan pulang ketika senja tak lagi bersisa. Bertemu dengan rekan kerja yang bisa dibilang itu-itu saja. Hal tersebut yang membuat aku selalu menyenangi bertemu dengan orang baru dan saling bertukar cerita, seperti warna lain pada sepotong rainbow cake di etalase toko kue. Tak jarang weekend pun ku habiskan dengan menyelesaikan pembukuan kantor, pekerjaan yang selalu aku kerjakan di jam extra karena memang semenjak kakakku melanjutkan study di Luar Negeri aku harus menghandle semua pekerjaan yang selama ini menjadi tanggung jawabnya.
“ kamu penjaga pantai ? “ tanyaku
“ iya tapi bukan seperti mereka “ jawabnya tersenyum seraya menunjuk para lifeguards yang memegang teropong tak jauh dari kami. Debur Ombak Selatan membantuku mengikat ujung plastik dengan kedua sisi yang dia jadikan simpul, kerutan keningku tak serta merta hilang mendengar jawban singkatnya.
“ Terimakasih sudah membantuku mengumpulkannya sampah-sampah ini “
“ Sudah tugas ku juga “ jawabnya tersenyum dan duduk di sampingku yang berapaskan pasir pantai yang hitam.
“ Ombak, kamu petugas pembersih pantai ya? “ tanyaku kembali, mencuri pandang ke arahnya.
“ Aku melakukan semua hal di sini “ singkat namun aku tetap saja menyukainya.
Jingga terhampar luas pada lembayung langit pantai, sungguh perpaduan yang sempurna antara deburan ombak berkejaran habis di ujung jemari kakiku. Namun Debur Ombak di sisi kiri ku tak pernah habisnya mengejar deru degup jantung di ujung cakrawala meleburkan jingga menjadi merah jambu. Ornament merah jambu menyeruak seketika oleh mu, Ombak. Terlalu dini untuk disebut cinta namun tidak salah jika aku memang menyukai Ombak pria berkaki selaput ini.
“ Kau suka senja? “ tanyaku
“ aku menyukai orang sepertimu yang peduli pada pantai, apa kau tau akan selalu ada penjaga pantai di parang tritis ini untuk menjaga rumahnya agar tak terusik oleh manusia dengan racun yang mereka tinggalkan begitu saja di halaman kerjaan mereka “ jawabnya.
Tiba-tiba kali ini dia mengeluarkan lebih banyak kata, dan aku hanya menggigit bibir menggelengkan kepala dengan pandangan yang masih tertuju pada senja, namun aku tau kali ini dia yang memperhatikan aku. Mungkin jika dia menanyakan masalah debur ombak hati maka aku akan menjawab lebih panjang dari kalimat yang barusan dia lontarkan, hanya saja sepertinya gemuruh ini kurang menggema hingga hanya aku yang mampu mendengarkan dan belum tersampaikan pada halaman hatinya. Apalagi jika ketika dia memujiku atas kepedulianku terhadap kebersihan pantai, sorot mata tidak beradu dengannya namun indera pendengar tetap terfocus utama pada suaranya.
“ Dimana rumahmu ? “ tanyaku ketika senja mulai terenggut oleh malam perlahan.
“ Di sini “
“ Di Bantul maksud mu ? “ perlahan muncul keresahan karena senja mulai terenggut paksa oleh langit gelap, dan itu berarti Bus rombongan yang aku tumpangi akan segera meninggalkan pantai Parangtritis ini. Pada detik terakhir aku tak ingin menyiakan kesempatan agar nanti kami selalu dapat berkomunikasi.
“ Iya, di sini “ Ombak tersenyum dan beranjak dari posisi duduknya.
“ Apa kau tidak memberiku nomer ponsel atau sosial media agar kita dapat berkomunikasi setelah ini? “ tanyaku melihat tubuh jangkungnya yang nampak lebih tinggi karena posisi duduk ku.
“ Apa itu ? “
“ Nomer telpon “ belum selesai ucapanku dan dia berjalan perlahan meninggalkan aku, akupun berdiri mengikutinya dari belakang seolah enggan menyudahi perjumpaan kami.
“ Aku tidak tau apa itu, aku harus pulang, perjalananku jauh “
“ Ombak, apakah kita akan bertemu lagi, atau kau bisa menumpang Bus milik rombonganku“
“ Debur Ombak Selatan adalah namaku dan aku penjaga pantai parangtritis ini, di sinilah rumahku, kedua kaki katakku sudah cukup membantuku menuju rumah, saatnya aku pulang Jingga “ sedetik aku memperhatikan bagian kaki Ombak yang berselaput di antara sekatan jari, kemudian menatap senyum pada lengkung bibirnya.
Jilatan ombak pantai semakin memburu, senja tak lagi bertahan dengan jingganya. Belum lagi aku mendapatkan nomer ponsel atau akun sosial media milik Ombak namun terus berjalan menuju air pantai. Jingga, dia menyebut namaku, dari mana dia mengetahui namaku sedangkan selama pembicaraan kami tak pernah ku sebutkan namaku. beberapa crew rombongan sudah meneriakan namaku memanggil beberapa kali.
Bergegas aku berlari kecil berbalik arah mengambil kantong plastik sampah di dekat tempatku duduk bersama Ombak sebelumnya, dan ketika pandanganku kembali ke arah pantai dimana Ombak berdiri, tidak ku temukan sosoknya pada posisi itu. Akupun tersenyum dan meninggalkan cerita penjaga pantai yang mampu merasuk dalam hatiku tanpa dia sadari, namun mungkin kelak akan ku temukan sendiri penjaga hatiku mungkin di pantai lain ketika debur ombak menjaga senja yang jingga tau mungkin juga ditempat ini.