Surel untuk ayah

Ayah…

9 februari 2014 yang lalu di Rumah sakit banjarbaru saat saya peluk tubuh ayah yang membujur kaku tanpa sedikitpun perlawanan, sungguh betapa sangat menyesakkan dada menerima kenyataan jika ayah sudah ‘pergi’.

Ayah…

Saya selalu memberikan yang terbaik untuk ayah, apapun itu saya perjuangkan untuk pengobatan ayah. Saya hanya ingin melihat ayah sembuh agar saya dapat menunjukkan bakti saya kepada ayah, namun takdir berkata lain.

Ayah…

Sangat tidak mudah menyandang status anak yatim, dan harus berpura-pura kuat di depan ibu. Tau kah ayah setiap hari setelah sholat magrib, ibu selalu menangis membaca surah yasin untuk ayah. Tau kah juga ayah, jika saya selalu menutup bantal ke wajah agar tangis saya tak tersampaikan pada ibu.

Ayah…

Maafkan saya yang masih tidak bisa berjuang maksimal untuk kesembuhan ayah. Saya selalu ingat dokter syaraf pernah menyampaikan jika brain abscess yang ayah derita mampu bertahan 5 tahun, tapi belum genap satu tahun ayah sudah ‘pergi’. Saya mohon maaf atas semuanya.

Ayah…

Saya akan selalu menjaga ibu untuk ayah, kami akan selalu merindukan ayah. Oh iya, saya mau sampaikan kalau saya menemukan obat-obatan ayah di bawah kasur ayah. Ternyata selama ini ayah tidak memakan semua obat ayah.

Ayah…

Semoga ayah tenang di sisi Tuhan, saya akan selalu mengirimkan hadiah doa untuk ayah di sana. Love you ayah.

Bermain arus

Datanglah hujan membawa bencana meluapkan derai air mata serta kehilangan tak sedikit harta benda serta korban jiwa. Tapi hujan juga membawa berkah bagi segelintir orang dibalik tirai kemanusiaan para pejabat mencari nama untuk pencalonan diri kabinet dasi biru. Ada cerita lain tentang hujan bagi seorang gadis desa.

Alih-alih kepedulian terhadap sesama tuan pejabat menarik simpati para korban untuk pencalonan dirinya agar mampu tetap eksis di gedung bundar ibu kota Negara tahun depan. Tak luput pribahasa sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, tuan pejabat berusia kepala empat terpikat sosok gadis desa terpaut beda usia dua belas tahun lebih muda.

Tuan pejabat yang terhormat, hari ini bukan lagi memberikan santunan kepada penduduk desa yang terkena bencana banjir rob, tapi untuk memberikan mahar perkawinan gadis desa anak kepala desa yang baru saja tiga pertemuan secara tidak langsung dalam kurun waktu dua bulan dijumpai.

Tanpa berfikir panjang tuan pejabat memboyong gadis desa menuju ibu kota sebagai istri sah.  Pelbagai fasilitas layaknya istri pejabat tinggi ia dihadiahi apartemen dan mobil mewah keluaran terbaru lengkap dengan supir pribadi yang selalu bersiaga 24 jam melebihi kesetiaan prajurit perang kepada negaranya.

Kepala desa memberi bekal petuah kepada gadis desa sebagai tulang rusuk agar selalu mendengarkan dan mematuhi semua perihal penentuan arah biduk rumah tangga karena tuan pejabat selaku tulang punggung keluarga.

Tuan pejabat juga tak ketinggalan mengajari banyak hal kepada gadis desa serta mendatangkan guru kepribadian untuk memoles kecantikan bersosialisasi gadis desa sebagai point plus dari perilaku gadis desa yang memang kategori tercantik di desa. Gadis desa yang bahkan kini sudah tidak gadis pun tidak di desa lagi, tetap saja masih menjunjung tinggi kepolosannya.

“ Sore ini aku ada meeting, nanti ke salon saja biar diantar supir dan setelah itu siang kita ketemu di mall makan siang bareng”. ucap tuan pejabat menyuap potongan roti kecil roti bakar sebagai sarapan pagi agar menyatu dalam perutnya yang buncit.

“ Setelah itu, boleh aku membeli beberapa bunga mawar hidup untuk menghiasi balkon apartemen bersama ibu-ibu muda paguyupan istri pejabat sore nanti? “ jawabnya menuangkan jus jeruk pada gelas bening dan meletakkan di sisi kanan piring tuan pejabat.

“ Biar nanti supir yang mengantarmu, kota besar terlalu bringas untuk perempuan secantik kamu sayang. Tidak usah bersama mereka. “

Gadis desa hanya tersenyum mendengar jawaban suaminya, tak jarang rasa sepi menggelayut kehidupan barunya. Dia merindukan bersenda gurau dengan teman sepermainan menikmati mandi di pancuran kali dan sesekali berlarian di pematang sawah seraya menyantap makan siang olahan mereka sendiri di gubuk kecil pinggiran kolam ikan.

Gadis desa meninggikan derajat kehidupan keluarganya di desa, bahkan desa tetanggapun turut mencuri dengar kabar burung mengenai pinangan tuan pejabat. Kepala desa menjadi tokoh masyarakat yang lebih disegani hingga desa tetangga. Pemilu sudah dekat, pembagian kalender serta sarung gratis disambut gembira para warga desa yang mengelu-elukan foto menantu kepala desa dengan nomer urut satu itu.

***

Dinding-dinding apartemen terhiasi oleh bingkai foto mereka berdua dengan berbagai pose, serta ornamen-ornamen sebagai cindera mata yang dibawa tuan pejabat untuk istrinya ketika bertandang ke negara tetangga tersusun rapi pada lemari yang menempel di tembok. Hampir seluruh isi apartemen adalah hasil keringat dari tuan pejabat yang memang dihadiahkan untuk gadis desa.

Perhatian tuan pejabat tidak kalah hebat karena dimanapun gadis desa akan berada harus terlebih dahului memberi kabar kepada suaminya dan selalu bersama pengawalan supir. Bergelimang harta tak juga membuat kebahagiaan gadis desa semakin bertambah, karena tuan pejabat seolah merantai kebebasannya.

Kamis malam setelah melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri, gadis desa masih meringkuk dalam selimut tebal bercorak garis peach, tuan pejabat mengeluarkan sekotak coklat dari tas kerja yang terletak di atas meja dan membuka bungkus aluminium foil kemudian mendekatkan pada bibir istrinya. Gadis desa menggigit ujung coklat dan mengunyahnya, menyecap rasa gula-gula manis seperti manisnya ranjang malam jumat mereka.

Tuan pejabat melihatkan beberapa proposal kegiatan kampanye terselubung yang menjadi agenda tunggu dengan modus bantuan kemanusiaan di beberapa daerah. Tak banyak yang dimengerti oleh gadis desa mengenai permainan politik suaminya. Baginya tuan pejabat dengan totalitas mengejar kursi kabinet, hingga kadang kala melupakan kehadirannya.

“ Jadwal kunjunganku sangat panjang mulai besok, berjanjilah kau takkan pergi keluar tanpa seizinku “

“ Kalaupun aku keluar juga tak melakukan hal terlarang “ Jawab gadis desa menghela nafas

“ Istriku, apa kau tak tau jika banyak mata suka memperhatikan keanggunanmu. Aku tak mau mereka menikmati itu, karena kau milikku dan hanya aku yang bisa memiliki semua darimu “ nada bicara tuan pejabat meninggi satu level.

“ Aku hanya ingin mengenal kota ini “

“ Boleh tapi hanya ketika bersamaku dan dengan seizinku saja, nanti jika aku tidak ada biarlah supir mengantarmu. Sungguh, engkaulah yang terindah yang pernah aku miliki, tak ingin aku melihatmu rusak oleh kejamnya mata liar kota ini, terlebih kalah istri seorang pejabat, betapa risihnya aku membayangkan para lelaki menatap seolah menelanjangi mu, beginilah caraku menjaga mu, caraku memberikan cinta yang begitu besar “

“ Percayalah suamiku, mereka takkan pernah bisa memiliki ku “ gadis desa tersenyum

“ Begitu semua pekerjaanku selesai kemanapun kau mau akan selalu ku temani “ kecupan pada kening gadis desa ia bubuhkan.

Adegan mesra kembali terulang, sangat jarang mereka bisa menikmati momen seperti pasangan normal karena kesibukan tuan pejabat mengejar simpati hingga harus pulang larut malam ataau bahkan tidak pulang karena kondisi jalan pedesaan tertutup banjir, menyebabkan armada mereka tidak mampu keluar dari desa.

Gadis desa beranggapan doktrin tuan pejabat mengenai keharmonisan adalah seperti sesekali mereka pergi ke jamuan makan bersama mengenakan batik senada dan lempar senyum kebeberapa tamu lain adalah hal penting untuk menaikan pamor. Gadis desa memang beranggapan jika pekerjaan suaminya nanti akan menuai banyak pro dan kontra. Serta akan menimbulkan tudingan miring jika sampai terkuak selama ini kehidupan rumah tangga mereka tidak sebahagia seperti yang dikabarkan beberapa media massa lokal.

***

Selama tuan pejabat tak berada di ibu kota, setiap harinya gadis desa mencari kesibukan sambil menikmati beberapa aktifitas renang sebagai hobi barunya, hobi yang menyetarai wanita kota tentunya. Siapa tahu sebutan gadis desa akan berubah menjadi wanita kota setelah dia mampu menanggalkan keluguan dan membaur dengan sosialita para istri teman suaminya.

Selesai berenang lima putaran di kolam renang apartemen yang terletak di lantai lima, gadis desa meraih dan menutupi tubuhnya dengan menggunakan kimono putih yang tergantung pada kursi rotan di bawah jakuzi tengah. Gadis desa memainkan sunglasess di atas meja kecil dengan jemari lentiknya sambil sesekali melihat ke arah mentari pagi. Pagi itu hanya ada tiga orang pengunjung di kolam dan dua orang karyawan apartemen mengenakan kemeja lengan pendek kuning membersihkan lantai.

Seorang karyawan laki-laki memegang gagang pel dan membersihkan lantai disekitaran jakuzi tempat gadis desa merebahkan diri. Karyawan itu tersenyum tipis menunjukkan deretan gigi

“ Mbaknya.. istrinya bapak pejabat di lantai 22 itu kan? “ tanya salah satu dari mereka dengan logat kental suku jawa

“ Iyaaa… “ Gadis desa tersenyum

“ Mbaknya ko ndak marah sih suaminya suka pacaran lagi “ entah sesuatu pertanyaan yang memang lugu atau suatu sikap tidak sopannya karyawan itu. Jelas saja apa yang keluar dari mulutnya mengagetkan gadis desa.

“ Mas yang bener, kalo ngomong jangan sembarang loh mas “

“ lah masa iya saya boong mbak, bukan cuma saya tapi tukang parkir juga lihat ko, waktu bapak pejabat pulang dianterin cewe seksi pake baju merah rambutnya dicet gitu, ambung-ambungan gitu di mobil keliatan ko, saya cuma kasian sama mbaknya kok mau digituin “

Gadis desa merasa risih dengan obrolan mereka, kemudian ia beranjak dengan langkah cepat meninggalkan jakuzi. Hal mengejutkan memang jika karyawan apartemen berani menceritakan perihal tuan pejabat dengan sosok wanita lain. Gadis desa meresah namun meredamnya dalam bisu sebisu dinding lift menuju unitnya di lantai 22.

Gadis desa menelaah satu persatu tentang kekawatiran suaminya jika ia bersentuhan dengan dunia luar. Tentang alibi dan sejuta alasan atas nama menjaga ataupun takut kehilangan. Tentang kepedulian hingga dimanapun keberadaannya harus terlacak oleh radar tuan pejabat dan juga mengenai perselingkuhannya dengan wanita berambut pendek pirang yang baru saja disampaikan karyawan apartemen. Gadis desa mengenali cirri perempuan yang dimaksud adalah sekretaris tuan pejabat.

Perihal perselingkuhan itu, sebenarnya gadis desa sudah bisa menebak sebelumnya dari pada mereka peliput berita ataupun pasangan mata yang menyaksikan secara tidak sengaja perselingkuhan suaminya. Gadis desa menyembunyikan itu semua dalam diam karena bukankah seperti pesan kepala desa agar dia selalu mematuhi suaminya. Kecurigaan mengenai baju yang bau parfum lain taupun setiap kali keluar kota tidak luput dari keberadaan sekretaris di sisi tuan pejabat.

Dia menyadari betul jika bertanya ataupun menentang arus hanya akan menghadirkan banjir derita bagi seluruh keluarganya yang ada di desa, kehidupan mereka sudah menjadi tanggungan tuan pejabat. Gadis desapun sebenarnya bermain dengan arus yang sama agar tidak tenggelam, gadis desa menyerap lebih cepat ilmu sosialita kota besar.

“ Aku menunggu sangat lama sekali, ternyata berenang ya? “ sapa pria muda sebaya gadis desa.

“ Maaf, aku meninggalkan semua gadget di kamar. Tumben sepagi ini sudah di sini “ jawab gadis desa

“ Sungguh aku menyukai melihat tubuhmu basah setelah berenang “ tatapan mata pria muda  tepat di bagian dada gadis desa.

“ Heii.. tidak kau jawab pertanyaan ku “ Gadis desa mencubit pinggangnya

“ Bukankah jika tidak ada tuan pejabat aku tidak perlu takut untuk menemui mu kapan saja, tanpa ada yang curiga, rasa rinduku sudah tak mampu terbendung lagi kali ini “

“ Masuklah, semakin lama kita disini akan banyak yang curiga “ Gadis desa tersenyum dan memberikan kunci pintu kepada pria muda yang tak lain adalah supir tuan pejabat untuk membuka pintunya.

———– end ———-

ambung-ambungan (jawa) : Berciuman

 

 

Pejuang senja

Parmin tidak pernah menyangka sebelumnya, jika Sunarti yang dia nikahi beberapa bulan terakhir memiliki kedekatan dengan komandan pasukan jepang Kitoko Miyusha. Parmin hanya seorang petani yang tekun mengurus surau kecil di desa. Kondisi desa menjadi tidak menentu semenjak saudara tua asia yaitu bangsa Jepang menaklukan pasukan Belanda. Jepang bukan menjadi penyelamat pribumi tapi justru segala macam bentuk penindasan masih terjadi.

Sebagai seorang pribumi Sunarti memiliki bibir mungil dengan lengkung yang mempesona, rambutnya hitam kelam dipadu dengan sorot mata bening teduh menjadikannya seorang primadona desa. Para tetangga mengetahui bahwa istrinya menjadi gundik pemuas nafsu komandan Jepang. Jelas saja gunjingan mereka meresahkan Parmin.

Setiap kali senja tiba Parmin menyiapkan diri untuk pergi ke surau, sedangkan Sunarti juga menyibukan diri dengan memasang kimono merah jambu lengkap beserta hiasan kepalanya.

” Sungguh aku sangat mencintai mu Sunarti, andaikan saja kau bersedia meninggalkan pekerjaan mu ini dan menikmati hidup damai sederhana dengan ku ” Parmin menatap istrinya dengan rasa kecewa.

” Kang, apa bisa kau sebut sebagai kedamaian selama masih ada Jepang menjajah desa kita “.

” Berapa banyak senja kau habiskan hanya untuk menjadi gundik ” Parmin semakin kuat meremas peci yang berada di genggaman tangan kanannya.

” Kang! Aku tak serendah itu, apa yang aku lakukan memiliki alasan kuat untuk kita semua ”

” Alasan apa untuk seorang gundik yang menjual tubuh kepada mereka ”

” Cukup kang… Cukup!! Aku tidak ingin membahas ini lagi, senja kali ini adalah bagian ku. Tak usah menungguku pulang, mungkin aku akan lama. Bukalah laci meja riasku kang jika kau membutuhkan sesuatu ”

Parmin hanya termangu memandang istrinya yang tersenyum sebelum pergi searah senja, menuju kedai sake ujung jalan yang sering disambangi Kitoko Miyusha. Ada perasaan perih dan sesak berkecambuk di dada tapi ada rasa cinta teramat dalam kepada istrinya.

***

Parmin sudah merencanakan dengan matang bahwa hari ini juga dia akan menjatuhkan talak kepada Sunarti. Biasanya Sunarti tiba di rumah setelah adzan subuh dalam kondisi mabuk dengan posisi kimono tidak beraturan lagi atau bahkan juga pulang membawa lembaran kertas yang bahkan Parmin tak pernah diberi izin untuk melihat sedikitpun. Parmin tidak pergi ke surau mengumandangkan adzan subuh, ia memilih menunggu kedatangan istrinya.

Rasa penasaran terhadap Sunarti semakin menggelayut pada benak Parmin, terlebih ketika matahari sudah hendak beranjak dari peraduan masih juga tak tampak keberadaan istrinya. Parmin menyimpan amarah hingga nafasnya lebih berat. Parmin bergegas menuju kamar membuka laci meja rias. Satu demi satu ia keluarkan lembaran kertas yang penuh dengan tulisan dan bahkan ada juga yang bergambar seperti peta lokasi istana Kitoko Miyusha.

Senja hari ini tak seperti biasanya, rona jingga keemasan lebih pekat. Parmin memperhatikan dengan jelas beberapa lembar foto di dalam amplop putih, nampak salah satu yang terekam dalam foto itu adalah istrinya dengan usia lebih muda beberapa tahun. Sunarti mengenakan seragam warna coklat layaknya seragam tentara rakyat dan memegang senapan laras panjang. Parmin membuka lipatan surat dengan tulisan tangan Sunarti.

Untuk kang Parmin.

Kang, mohon maaf jika aku hanya bisa menyampaikan melalui surat ini. Ingin ku utarakan secara langsung akan tetapi waktuku tidak banyak. Kang parmin pasti sudah melihat beberapa fotoku, istrimu ini adalah anggota pejuang bawah tanah pribumi yang memiliki misi menghimpun informasi guna melumpuhkan Jepang.

Sudah beberapa tahun kami mencoba menembus istana Kitoko Miyusha tapi tak pernah berhasil. Ada harga yang dibayar cukup mahal untuk pencapaian besar dan akhirnya aku memilih menjadi gundik agar mendapatkan informasi dari Miyusha. Kang, aku mengorbankan tubuhku untuk negara bukan semata kesenangan pribadi seperti yang orang lain gunjingkan.

Jika sampai kau berhasil membaca surat ini dan aku belum juga pulang ketika senja berganti maka tak usah kau tunggu kedatanganku lagi karena bisa ku pastikan misiku gagal. Jepang tidak akan membiarkan seorang mata-mata tanpa menyiksanya hingga tewas.

Maafkan semua kesalahanku kang, semoga segala pengorbananku tidak akan sia-sia dan semoga kang Parmin bisa menerima penjelasanku ini. Dari istri yang selalu mencintaimu.

Sunarti.

Tak disangka senja kemaren adalah senja terakhir Parmin melepas kepergian istrinya. Air mata Parmin jatuh tak terbendung lagi. Foto Sunarti dia letakkan di dada kanan dan meremasnya dengan sangat kuat. Ternyata begitu dekatnya hubungan mereka baru kali ini Parmin mengenal lebih jauh sosok Sunarti.

” Istriku pejuang senja, maafkan aku sayang ” ucap Parmin lirih.