Sebelumnya aku tidak begitu menyadari jika ternyata langit begitu indah dalam balutan awan putih. Terlebih ketika memandangnya dari bawah sini.
Rainsya.
Akhir-akhir ini aku sering memainkan memori untuk mengulang rekam adegan pada silabu pusat ingatan. Katamu kamu adalah hujan dan aku Langit Gusti Bumi sebagai pelindung hati pada balutan semesta. Bagaimana bisa aku tidak mencintai seorang senior kampus yang selalu mencuri pandang ketika masa orientasi mahasiswa lima tahun silam. Cinta pada pandangan pertama untuk senior secantik kamu.
Pecinta alam adalah organisasiku tapi aku juga seorang pecinta Rainsya tidak hanya sebagai alam tapi juga sebagai semesta yang menjadi pusat rotasi gerakan hati. Ruang kosong, berdebu, lusuh dan dipenuhi segala sampah, itu gambaran kehidupan juga nafas hatiku sebelum kamu hadir dan merapikannya satu persatu.
Satu tiga bahkan hingga empat tahun tak pernah sedetikpun kau berhenti memberi perhatian. Kataku tidak mudah menjalani kehidupan sebagai anak dari keluarga broken home, katamu jangan takut karena akan ada selalu seorang Rainsya mendampingi Langit melewati segala keruwetan hidup.
Menjadi tempatku berkeluh kesah, menemani ketika menyelesaikan skripsi hingga mencari bahan penelitian juga. Oiya tak lupa kamu jugalah yang membelikan perlengkapan panjat dinding ketika aku mulai menepaki dunia rock climbing. walaupun sebenarnya kamu tidak menyukai jika aku memilih bergabung dalam divisi itu.
Tak jarang kita berdebat hanya karena kamu selalu tidak memberi izin jika aku melakukan real adventure menaklukan tebing demi tebing cadas bersama club pecinta alam. Katamu ” Aku takut kamu kenapa-kenapa, aku sangat mencintaimu Langit, jika ada hal buruk tentang mu maka aku merasakan dua kali lipat dari pada itu ” lagi-lagi aku hanya tersenyum dan memeluk sebagai jawaban jika aku bisa menjaga diriku sendiri. Memang tidak munafik kadang aku berpikir jika sikapmu itu terlalu kekanakan.
Rainsya.
Kau tak pernah lelah memberi segala hal yang ku butuhkan, namun aku melupakan jika seharusnya sepasang kekasih tidak hanya menerima tapi juga memberi. Betapa bodohnya kelelakianku hingga tak pernah mengetahui jika selama ini kau mengidap penyakit jantung. Bahkan hingga napas terakhirmu pun aku berada di alam bebas, tidak berada di sampingmu.
Maafkan aku, jika saja pada waktu itu aku tidak memilih pergi mendaki mungkin aku tidak akan memendam rasa bersalah yang tak kunjung padam. Maafkan aku, yang tak banyak mencari tau tentang kehidupanmu karena selama ini waktu yang ada hanya aku habiskan menumpahkan segala kerumitan hidupku saja.
Kala itu sedikitpun tak ada buliran air mata yang menetes pada pipi tapi justru itulah caraku menyembunyikan rasa kehilangan yang menghujam tepat pada motorik pertahanan diri.
Tiga bulan sudah kepergianmu, aku berusaha untuk mengalihkan perhatian atas segala sesak pada rongga kehilangan. Hatiku bukan seperti ruang kosong yang berantakan sebelum mengenalmu, tapi hatiku berkeping berserakan dan aku enggan mengambil atau menyusunnya menjadi potongan utuh. Sebenarnya, aku sangat ingin kaulah yang menyusunnya, sendainya bisa.
Satu demi satu lereng bukit ku taklukan seorang diri, bukan sekedar ‘mencari keringat’ karena tak ada lagi bedanya antara keringat yang mengalir dari pelipis jatuh ke pipi ataukah air mata yang menerobos pelan pada bendungan pelupuk, bagiku sama saja karena ketika menyentuh bibir tetap terasa asin.
Mereka bilang aku Langit penakluk tebing cadas. Aku tidak lagi menemukan gejolak adrenaline ketika berada pada ketinggian atau terlepasnya pegangan jemari tanganku pada ujung batu. Aku hanya ingin menaklukannya seperti aku menaklukan rasa bersalahku atas ketidakpedulian terhadapmu kekasihku.
Rainsya.
Hari ini aku menepakan kaki pada Green Canyon. Ternyata benar di sini ada hujan abadi, hujan yang berasal dari aliran air menyusup tepian tebing dan tak pernah mengering. Kau tau Rainsya, hari ini tetes-tetesan hujan abadi itu menjatuhi wajahku menyatu terasa sejuk pada posisi tubuhku terlentang di teras tebing.
Aku merasakan begitu dekat saat ini dengan mu. Aku memandang langit yang begitu kecil tak seangkuh ketika berada pada jarak pandang tanpa batas. Pendakianku kali ini gagal, peganganku pada slap tak mampu menahan berat badan ketika tebing terlalu licin dan pijakan kaki meleset, Webing yang aku kenakan terlepas dari Carabiner hingga menghempaskan tubuhku dalam teras tebing. Aku hanya ingin bertemu sejenak denganmu agar kau tau begitu menyesalnya aku tidak ada di sisimu saat itu.
Entah berapa jam sudah aku berada dalam jurang ini, seluruh syarafku terasa tak berfungsi, hanya jemari yang mampu aku gerakan perlahan, mengedipkan bola mata dan juga terdengar lebih kencang detak jantungku. Apakah seperti ini juga saat kau menghadapi malaikat maut, tanpa seorang kekasih.
Bulir hangat dari sudut mata masih bisa ku rasakan. Dimana kau sayang, aku mencari suaramu di bawah sini. Pandanganku menjadi gelap, oksigen berhenti kupompa, tunggu aku kekasihku.
Rainsya, maafkan aku.
— end —
Catatan: 730 kata tanpa catatan ini, diikut sertakan dalam tantangan menulis Diorama kematian membangun nuansa sedih tanpa menulis kata sedih atau sinonimnya.