“Pasti berhasil, tidak ada satupun yang ku lewatkan” Gumam Juhdi seraya mendekat agar terlihat lebih lekat objek tunggal yang menjadi focus utamanya. Kejumawaan Juhdi sebagai juragan tanah sudah menjadi perbincangan umum warga desa. Ketamakannya akan harta tak berkesudahan. Belum lagi usahanya menjadi kepala desa tahun depan, adalah jalan tol untuknya agar lebih mudah mendapatkan kedudukan. Hal apapun yang bisa menambah pundi-pundi kekayaan, selalu ingin dia miliki. Termaksud menguasai perkebunan buah naga yang sedang menggeliat.
Siang itu Juhdi mengenakan sepatu boatberwarna kuning, tangan kananya memegang gunting buah seraya mendekati rumpun pohon buah naga yang menggelayut pada tiang beton berukuran diameter 20 sentimeter sebagai penyangga. Jarak antar rumpun hanya berkisar dua meter, dimana satu rumpun tumbuh empat batang buah naga yang perakarannya melekat pada tiang beton. satu batang naga memiliki cabang sulur dipertahankan empat atau lima tangkai saja yang selalu berbuah sepanjang tahun.
Desa yang memiliki struktur tanah batuan memang sukar untuk dijadikan lahan perkebunan bagi warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Pemanfaatan lahan hanya dapat digunakan sebagai media tanam tumbuhan terutama untuk jenis tidak banyak memerlukan air ataupun unsur hara, buah naga salah satunya. Tanaman berbatang kaktus ini sudah menjadi komoditi utama yang dihasilkan dari desa tersebut.
Buah naga milik Rombok memang tidak ada yang menandingi kemanisannya. Sayangnya Rombok hanya memiliki lahan pertanian kecil di pinggir desa hingga dia tak mampu memperluas areal kebunnya. Juhdi sebelumnya pernah menawarkan Rombok untuk bekerja dikebun miliknya. Permintaan tersebut ditolak oleh Rombok dan juragan Juhdi merasa direndahkan atas sikap Rombok. Penolakan secara halus karena alasan ingin merawat kebun miliknya sendiri. Juhdi berupaya menjatuhkan kebun milik Rombok atas penolakan tersebut.
Rupanya penolakan Rombok menumbuhkan sulur dendam yang berakar kuat di raga Juhdi.
Juhdi mendatangkan insinyur-insinyur perkebunan untuk membantu menumbuhkan naga yang berkualitas bagus, dengan bayaran yang tak murah tentunya. Bagaikan kawanan bala prajurit tanpa mengenal lelah mereka terus melakukan penelitian dan memilih bibit dari indukan terbaik. Segala teknik persilangan bunga dengan ilmu pertanian moderen mereka gunakan.
Nagapun berbuah untuk pertama kalinya. Namun kekecewaan mengembang seiring kerutan pada kening Juhdi ketika mencicipi potongan pertama yang dihasilkan dari kebun. Naga Juhdi kecil dan terasa asam, Juhdi gagal. Sebagai imbas dari rasa kesalnya Juhdi mengembalikan kawanan insinyur ke daerah asal mereka. Tidak becus bekerja katanya.
***
Juhdi memutar otak, menurutnya mungkin tidak ada yang salah dengan bibit. Unsur hara yang kurang dari remahan tanah mendorong Juhdi untuk mendatangkan jenis pupuk terbaik dari kota. Salah satu pupuk hasil dari olahan pabrik besar yang dikabarkan mampu melebatkan hasil panen dengan keunggulan buah berukuran lebih besar dan manispun ia gunakan. Tentu saja untuk mendapatkan pupuk kimia dari kota sangat memerlukan biaya yang tidak sedikit.
“Pasti berhasil, tidak ada satupun yang ku lewatkan” Gumam Juhdi seraya membaca ulang takaran dosis pemakaian seperti yang tercantum pada bagian belakang kemasan pupuk. Penggunaan aturan pakai tersebut sudah ia terapkan hingga siklus panen berikutnya.
Malang tak dapat dihindari, naga Juhdi tetap terasa masam. Belum lagi perihal pencemaran dari pupuk kimia menyebabkan seluruh batang sulur naga menjadi kuning dan keriput. Kebun warga di sekitarnya pun mengalami hal serupa. Ternyata wabah racun pupuk kimia justru membuat banyak warga yang dirugikan karena tanaman pertanian mereka menjadi kuning dan layu. Juhdi menghentikan penggunaan pupuk kimia. Demi kelangsungan kedudukan sebagai calon ketua rukun tetangga diperiode yang akan datang maka Juhdi berusaha mengembalikan pamornya dengan cara membayar ganti rugi kepada warga, atas kerusakan perkebunan mereka.
Tak berhenti sampai di situ saja, lahan baru untuk kebun nagapun siap dibuka walaupun sebelumnya dua lahan gagal dan tidak terurus lagi. Juhdi mengirimkan orang kepercayaannya untuk mencuri lihat ilmu yang digunakan Rombok dalam bertanam naga. Juhdi merasa pasti Rombok menggunakan cara bertani rahasia yang hanya dia simpan sendiri. Sungguh manusia licik, demikian umpatan Juhdi untuk Rombok.
Hasil pantauan yang didapat, ternyata selama ini Rombok memupuk tanaman naganya menggunakan kotoran kambing jantan hitam miliknya. Tiba-tiba saja terdengar pengumuman di pengeras suara langgar desa jika Juhdi berani membayar mahal untuk kotoran kambing jantan hitam. Persis seperti kambing milik Rombok. Kambing hitam di desa tidak ada lagi yang bertubuh gemuk, pemiliknya selalu berupaya mengeluarkan kotoran kambing dengan berbagai cara. Sungguh menderita jika menjadi kambing hitam hitam saat itu.
Hasil pantauan lain menyebutkan jika Rombok menyiram tanaman naga dengan menggunakan air bekas cucian beras. Tanpa berfikir panjang, Juhdi menjual beberapa bidang tanahnya untuk membangun pipa-pipa saluran dari rumah warga yang dialirkan ke kebun naga miliknya. Lagi-lagi warga mendapatkan bayaran dengan harga yang menggiurkan atas air bekas tersebut.
“Pasti berhasil, tidak ada satupun yang ku lewatkan” ucap Juhdi dengan keyakinan seteguh karang. Kali ini ia mengundang warga desa untuk hadir pada acara panen perdana buah naga di kebun baru miliknya. Segala upaya yang Rombok gunakan sudah persis ia terapkan, juga dalam hal menggunakan pupuk kotoran kambing jantan hitam serta penyiraman dengan air bekas cucian beras. Ketamakannya mulai liar dalam alam khayal jika nanti Juhdi akan menjadi seorang juragan yang tersohor karena memiliki buah naga termanis, tentu saja hal tersebut akan mendatangkan banyak keuntungan baginya.
Menggunakan pisau berpita merah Juhdi mempertontonkan kemerahan buah naga dan menyuap potongan pertama ke mulutnya. Alhasil, pesta syukuran mendadak menjadi situasi yang menegangkan ketika Juhdi mengehempaskan buah naga ke lantai hingga pecah berserakan. Sebagian warga terkejut dan ketakutan, sebagian lagi merasa heran, ada juga warga yang berbisik-bisik saling bertanya. Tetap sama, buah naga Juhdi masih asam.
“Ada yang masih kau lewatkan” salah satu warga menepuk pundak juragan Juhdi yang tampak kepayahan.
“Sok tau kau pak tua, tak perlu mengguruiku”
“Lihatlah berapa banyak yang kau keluarkan untuk menumbuhkan naga, tapi kau lupa jika yang kau lakukan hanya sekedar menanam dengan tujuan mendapatkan hasil yang bagus, kau lupa jika proses untuk mencapai hasil adalah bagian terpenting dari hasil itu sendiri”
“Maksud mu?”
“Kau melupakan akan kehadiran tanah sebagai peran utama, dan kau tak ingat atas keseimbangan alam”
“Sebegitu pentingkah? kau hanya lelaki tua tak berpendidikan tetapi berani menasehati seorang juragan sepertiku”
“Percayalah, kotoran kambing dan air cucian beras hanyalah pemanfaatan dari limbah belaka”
“Diamlah, peduli setan. Tau apa kau!”
“Doa, karena Rombok menyelipkan doa setiap kali menanam naga. Dia berdoa kepada tanah dan alam dengan hatinya, agar tanaman itu dapat tumbuh subur dan mampu menjadi sumber kehidupan utama untuk membiayai kebutuhan hidup keluarganya. Bukan hanya sebagai media semata”
“Lalu?”
“Alam tidak memerlukan kemewahan ataupun ilmu tercanggih sekalipun jika nantinya justru merusak. Gunakan air lain atau kotoran hewan lain tak menjadi masalah, tapi jangan melupakan doa dan tetap menjaga alam tempat hidup para naga, maka hasil terbaik dari alam akan kau miliki”
“Pak tua, siapa kau sebenarnya? Mengapa kau seolah mengetahui semua itu”
Rombok hanya tersenyum dan meninggalkan juragan Juhdi.