35 yang tak ingin ku akhiri

Maaf, mengganggu abang sejenak yang sedang sibuk mengerjakan laporan keuangan 🙂

Untuk menceritakan secara langsung, sudah bukan kapasitasku lagi bukan? Jadi semoga surat ini bisa menjadi media lain atas keterbiasaan kita yang masih sulit untuk ku hilangkan. Salah satunya berkeluh kesah tentang pekerjaan di kantor.

Bukankah suatu kewajaran bagi manusia untuk mengeluh, namun mengeluh bukan berarti dia kalah. Mengeluh untukku adalah suatu cara menyertakanmu dalam bagian hidupku. Mengeluh untukku adalah suatu tanda jika aku masih manusia, dan masih mengeluh untukku adalah kemanjaan yang ingin aku sampaikan.

Apa yang aku takutkan satu tahun ini terjadi juga bang. Mereka mendatangkan mesin baru keluaran Jerman dengan tekhnologi robotik. Alhasil, salah satu direksi memintaku untuk memangkas sebanyak 35 orang karyawan produksi.

Selama sebulan terakhir aku tak mampu tidur nyenyak. Satu sisi adalah kewajiban sebagai karyawan (juga) dan sisi lain ketidaksanggupanku melihat mereka jobless.

Siapa yang harus aku pilih 35 dari 150 orang bang? Mata siapa lagi yang harus ku tatap untuk mengatakan ‘Maaf saya sudah berusaha tapi menejemen memutuskan lain’ sebelum bulir-bulir air mata mereka menetes. Dan sesudahnya aku pasti akan meraung menangis di kamar mandi meratapi keterbatasanku.

Bukan kali pertama memberhentikan mereka, tapi kali pertama menghentikan pekerjaan mereka tanpa kesalahan yang mereka lakukan.

“Apa salah kami?”

“kenapa harus kami?”

“Kreditan saya banyak..”

“Saya tulang punggung”

Dan banyak lagi reaksi mereka ketika mendengar rencana pengurangan itu dari ku. Bang, ada rasa nyeri yang harus dengan berani ku telan pahit. Mereka sungguh karyawan yang tak pernah melakukan kesalahan, pun ketika aku memberi teguran keras hanya karena kelalaian.

Mereka bukan sekedar bawahan tapi mereka sudah menjadi bagian dari kehidupanku selama bertahun-tahun kami bekerja. Sungguh bukan hal yang mudah ketika aku harus melakukan hal yang sebenarnya tak ingin ku tuntaskan.

Jangan bicara mengenai profesionalisme karena pada akhirnya memang aku harus memilih mereka. Kali ini hanya ingin mengeluh mengenai Humanity dari seorang aufa.

Pagi kamis ini hujan, aku hanya ingin hujan turun hingga sabtu nanti. Hari dimana aku menyerahkan 35 nama yang harus di’eksekusi mati’. Iya, mengeksekusi piring nasi mereka, mematikan sumber pendapatan mereka.

Mereka yang selalu baik. Mereka yang akan dengan senang hati mengajakku berkeliling pemukiman. Mereka yang selalu tertawa melihat raut wajahku ketika mencicipi masakan lokal. Mereka yang tidak pernah lelah mengabdikan diri ketika kutuntut target produksi.

Target produksi yang mampu kami lampaui dengan angka yang luar biasa. Sebelum monster robotik itu selesai dirakit. Prestasi yang harus ku hadiahi dengan ‘eksekusi mati’.
Bukan mereka yang salah, tapi akulah yang kalah.

Semoga setelah ini, mereka akan segera mendapatkan piring nasi yang jauh lebih baik. Semoga setelah ini aku mampu tidur terlelap tanpa beban, mungkin, atau bahkan mungkin juga tidak.

Bang, aku harus pergi ke kantor. 07:35 wita. Kau pasti ingatkan jika aku harus selalu tiba di kantor sebelum pukul 08:00 wita. Sebelum mereka memulai produksi.

Semoga kau benar akan membaca surat ini 🙂

Salam sayang.

Aufa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *