Untukmu yang ku sebut lelaki perindu.
Bagaimana tidak jika setiap kalimat yang hadir hanyalah tentang kerinduanmu yang tak berkesudahan. Seakan rindu justru tumbuh subur setelah pertemuan. Tak pernah habis walau dengan jeda melepaskan lelah kala malam.
Rindumu tak pernah lelah mendobrak-dobrak benteng hati. Rindumu selalu menerobos labirin kejemuan.
Jika sudah begitu, tak ada yang mampu aku berikan selain memberikan sedikit waktu untuk sekedar ku tenangkan gemuruhnya. Kau tak minta banyak hanya dalam satu waktu untuk berdua menatap senja ataupun sekedar melihatku bermain dengan keceriaan sendiri.
Caramu sungguh sederhana untuk pengobat rindu, walaupun ku tau rindumu cukup rumit untuk dituntaskan. Seolah ia tak pernah puas untuk sekali obat pertemuan.
Kau tetap tenang setenang mata tembagamu, setenang lembayung yang bahkan bersiap terenggut malam. Rindumu tak pernah ku renggut, dan cintamu (pun) tak pernah ku renggut.
Seolah aku menunggu senja habis, senja yang berbeda dengan lembayung-lembayung itu. Jika senjaku telah usai, maka izinkan aku membiarkan rinduku sebesar yang pernah kau rasakan pula.
Ingin rasanya memiliki rindu sebesar itu. Ingin rasanya tersenyum melihat yang tercinta sama seperti kala kau melihatku. Jika boleh izinkan sejenak aku menghapus rindu yang telah ada agar dapat mengisinya kembali dengan rindu-rindu mu.
Walaupun (maaf) saat ini, aku tak serindu itu.
Dari aku, yang ingin merindukanmu.
Aufa