Hai…
Hanya ‘hai’ mengawali surat dariku. Sudah hampir satu bulan memang aku tak menyapamu. Maaf, bukan aku melupakan tapi keadaan yang memaksa. Bukan aku menduakan tapi kebutuhan yang bicara.
Sepagi ini, kau bersikap dingin. Sudah beberapa kali aku coba membujuk untuk menghangatkan mu tapi seolah kau merajuk. Iya, satu bulan aku membiarkanmu sendiri.
Aku tau kau begitu setia menemaniku kemana saja. Seperti tak pernah ada kata lelah. Bukankah esensi dari kebersamaan kita adalah perkara saling melengkapi?.
Andaikan kau tau jika aku lebih menyayangimu dari pada yang kau bayangkan. Aku tak ingin membiarkanmu terlihat dekil selama sebulan penuh hujan mengguyur kota kita.
Tidak pernah terbesit sedikitpun untuk mengabaikan mu, sikap dinginmu bisa ku terima tapi ku mohon menghangatlah kembali agar kita bisa menembus waktu mencapai tujuan yang harus ku singgahi.
Kau tidak berkeberatan bukan jika kita harus singgah sejenak ke kantor lelakiku, pagi ini aku ingin dia mencicipi nasi uduk yang selalu aku ceritakan padanya.
Sayang, aku tidak menduakanmu. Kau lah yang pertama hadir sebelum dia memiliki hatiku. Tapi kalian memiliki tempat yang berbeda untukku. Kau akan tetap menjadi DA 8110 PQ yang menjadi kebanggaanku. Kau selalu yang ku sayang (selain dia).
Jangan lelah untuk selalu menemaniku.
Aufa