Bacang

Sudah lama tidak bersua, bagaimana kabarmu saat ini? Masih enak kah?

Cang..
Aku ingin menyampaikan surat cinta kepada mu karena memang aku mencintaimu. Tidak pernah tau mengapa aku mampu jatuh cinta kepada mu, dirimu yang sederhana dan tidak juga mewah.

Cang…
Walaupun bentukmu segitiga, lengket dan hanya berlapis daun bambu. Namun sungguh begitu rumit hanya untuk menikmati bagian demi bagian tubuhmu. Terlebih untuk membungkus pasti akan jauh lebih sukar lagi.

Aku pikir kau terasa asem, aku tidak menyukai asam. Ternyata aku salah, jika perkenalan pertama kita justru aku mencicipi bacang yang basi. Ketidaktahuanku justru menjadikan aku rakus hingga menghabiskan satu bacang, iya bacang basi.

Lagi-lagi perkenalan kedua kita ketika aku menggigitmu untuk sebuah bacang dengan harga 35.000,- sungguh harga yang sangat tinggi hanya untuk sebuah bacang ketan. Jangan kawatir, semahal apapun aku akan tetap menikmati gigitan demi gigitan dengan rasa bahagia.

Sebegitu tergilanyakah aku akan dirimu?. Sayangnya bacang tak pernah ku temukan di kotaku. Hingga aku harus bertanya kepad seorang teman dan dia menjawab ‘karena kamu yang cinta bacang sedangkan bacang tidak cinta kamu, mangkanya dia ga ada di sana’ sungguh terdengar seperti jawaban yang logis.

Apa kau tau, tiap kali aku menjajakan kaki di salah satu kota hal pertama yang selalu aku cari di bandara adalah kamu, iya kamu bacang. Tidak terasa lengkap tanpa merasakan kenikmatanmu.

Bacang, semoga surat ini bisa mewakili rasa rinduku, sementara aku masih belum bisa menikmati dirimu.
Barang kali akan ada inovasi rasa keju ataupun coklat sebagai pendamping rasa daging.

I love you bacang.

Aufa.

Berbagi ranjang, semoga bukan candu

Untukmu yang malam ini ku abaikan.

Maaf, aku tidak bisa tidur denganmu malam ini. Kita memang selalu berbagi ranjang dan bergumul dalam satu selimut yang sama. Seolah tanpa batasan ataupun ritual malu-malu.

Bukan karena tubuhmu tidak menghangatkan dinginku lagi, hanya saja terkadang aku ingin tidur bersama yang lain. Jangan kau anggap aku sebagai wanita murahan yang dengan mudah berganti pasangan tidur. Karena sebuah jemu kadang hadir tanpa bisa ku cegah.

Kau tetap terbaikku, aroma tubuhmu yang selalu menggoda untuk selalu menghabiskan waktu cukup lama hanya sekedar bermalas-malasan.

Aku berjanji malam berikutnya akan kembali berbagi selimut dengamu tapi saat ini jangan marah. Jangan juga kau ceritakan pada yang lain tentang pillow talk kita. Aku yakin sebuah mulut tidak akan menjadi berlebihan hanya karena kekecewaan bukan?.

Jangan sedih, malam akan tetap habis walaupun kehangatan tidak aku bagi.
Jangan kawatir, walaupun ada dia namun hatiku tetap bersamamu.
Jangan takut untuk mulai tidur sendiri.

Aku mengacuhkanmu, karena aku sangat menyayangimu. Agar fisikmu tak terlihat makin kusam. Aku menyimpanmu dalam lemari kaca karena aku ingin kau tetap terlihat indah.

Masalah kita tak tidur bersama lagi? Sudahlah, jangan terlalu kau pikirkan karena tanpa itupun kau tetap menjadi boneka beruang kesayanganku.

Jangan sedih, sesekali aku akan tidur bersamamu lagi. Tapi sesekali agar tak menjadi candu.

Dariku yang memilikimu sejak dulu.

Aufa

Cinta monyet

Aku tulis surat ini untuk kalian.
Jangan heran jika aku meminjam tangan aufa untuk mengutarakan semuanya. Agar kalian mengerti atas segala hal yang selama ini aku simpan.

Apa kabar kalian yang kini sudah menyebut sebagai dewasa?. Aku tidak mengerti konteks dewasa menurut kalian tapi menurutku kalian kini begitu rumit hingga banyak hal yang terlalu sepele untuk diperdebatkan.

Salah satunya mengenai cinta! Tau apa kalian tentang cinta?, cinta yang dulu kalian puja kini justru kalian tertawakan. Bukan itu juga yang ingin aku ceritakan namun mengenai cinta yang kalian sebut sebagai cinta monyet.

Aneh sekali, aku tidak ikut andil dalam kisah kalian. Jadi mengapa tidak kalian sebut sebagai cinta ingusan atau cinta muda. Ada apa dengan monyet? Tau apa tentang cinta seorang monyet?

Kalian seolah mengkambing hitamkan aku, ah maaf bukan maksud aku membawa kambing yang masih satu kingdom denganku, tapi bukankah kambing memang ada yang hitam. Sedangkan monyet jatuh cinta dengan memberikan pisang bukan coklat yang seperti kalian lakukan.

Siapapun itu yang memulai, aku hanya ingin kalian tau untuk tidak meremehkan cinta monyet seperti kami tidak pernah melewatkan pisang untuk kami miliki. Tapi cinta kalian bukan seperti pisang yang selalu habis dimakan bukan?.

Ingin rasanya ketika aku jatuh cinta diusia muda juga menyebut cinta kami sebagai cinta manusia tapi apalah daya sesungguhnya jatuh cinta kami adalah kepada pisang.

Atau karena kami menggemaskan, sama halnya seperti cinta kalian diusia menggemaskan. Lain kali cobalah jatuh cinta pada seekor monyet agar lebih memahami cinta monyet.

Salam rindu untuk cinta monyet kalian, juga kepada nenek moyang kalian.

Dariku monyet. (Bukan aufa karena dia hanya ku pinjam untuk menuliskan ini).

Jangan ngambek

Hai…

Hanya ‘hai’ mengawali surat dariku. Sudah hampir satu bulan memang aku tak menyapamu. Maaf, bukan aku melupakan tapi keadaan yang memaksa. Bukan aku menduakan tapi kebutuhan yang bicara.

Sepagi ini, kau bersikap dingin. Sudah beberapa kali aku coba membujuk untuk menghangatkan mu tapi seolah kau merajuk. Iya, satu bulan aku membiarkanmu sendiri.

Aku tau kau begitu setia menemaniku kemana saja. Seperti tak pernah ada kata lelah. Bukankah esensi dari kebersamaan kita adalah perkara saling melengkapi?.

Andaikan kau tau jika aku lebih menyayangimu dari pada yang kau bayangkan. Aku tak ingin membiarkanmu terlihat dekil selama sebulan penuh hujan mengguyur kota kita.

Tidak pernah terbesit sedikitpun untuk mengabaikan mu, sikap dinginmu bisa ku terima tapi ku mohon menghangatlah kembali agar kita bisa menembus waktu mencapai tujuan yang harus ku singgahi.

Kau tidak berkeberatan bukan jika kita harus singgah sejenak ke kantor lelakiku, pagi ini aku ingin dia mencicipi nasi uduk yang selalu aku ceritakan padanya.

Sayang, aku tidak menduakanmu. Kau lah yang pertama hadir sebelum dia memiliki hatiku. Tapi kalian memiliki tempat yang berbeda untukku. Kau akan tetap menjadi DA 8110 PQ yang menjadi kebanggaanku. Kau selalu yang ku sayang (selain dia).

Jangan lelah untuk selalu menemaniku.

Aufa

Tanpa kode

Lagi-lagi kau mencari mu melalui social media. Cara sederhana untuk menyampaikan rasa rindu walaupun tak ku buhuhkan kata ‘Rindu’.

Seandainya saja kau mengerti isyarat yang mereka sering sebut dengan ‘kode’. Walaupun aku tak begitu menguasai membuat semacam kode u ntuk menarik perhatian mu.

Maaf, seharusnya tak ku lakukan itu. Bagaimana mungkin aku memiliki hati yang sudah termiliki sebelumnya. Iya, aku mencintai kamu yang sudah memiliki dia.

Hari ini kamu mencariku, hanya untuk menangis. Menceritakan luka hati yang dia torehkan. Tau kah kau jika akupun terluka jauh lebih besar dari pada luka hatimu. Aku membantumu untuk bangkit dan memberi semangat agar selalu berbesar hati untuk memaafkannya.

Sering terbesit keinginan untuk merebutmu, karena aku tau jika kau merasa nyaman dalam dekapanku. Walaupun setelahnya kau melepaskan dekapan itu dan kembali tertawa bersamanya.

Percayalah cinta, aku bahagia (walau sedih) melihatmu bahagia bersamanya. Dan aku akan jauh terluka jika melihatmu terkoyak karenanya.

Aku tak ingin merebut hatimu, cukup saja aku ingin kau tau jika aku selalu ada untuk mu.

Katamu ‘teman’ jika boleh izinkan aku menjadi teman yang akan menantimu hingga habis cerita cinta kalian. Tanpa harus ku rusak dan tanpa harus kupaksakan.

Dengarkanlah teman, hatiku terpasung keterbatasannya sendiri. Sungguh mencintaimu adalah hal tersulit yang pernah aku temui. Andaikan saja jatuh cinta bisa ku pilih, tentunya bukan kamu yang ingin ku cintai. Bukan kamu yang sudah memiliki tambatannya sendiri.

Aku rela menjadi aspirin jika itu mampu menenangkan kegejolak amarah akibat segenap luka darinya.

Aku pun rela menjadi betadin jika itu yang kau perlukan agar luka-lukamu segera mengering.

Tapi jangan minta aku untuk mejadia selingkuhanmu, karena yang ku inginkan adalah utuh tanpa melukai hati lain karena cinta ini.

Kesabaran untun terus menunggumu tanpa memberikan kode jika ada cinta tersimpan dalam sebuah ‘teman’.

Dari aku yang kau sebut ‘teman’.

Note: ditulis untuk seorang teman yang mencintai kekasih orang ^^

Ingin merindu

Untukmu yang ku sebut lelaki perindu.

Bagaimana tidak jika setiap kalimat yang hadir hanyalah tentang kerinduanmu yang tak berkesudahan. Seakan rindu justru tumbuh subur setelah pertemuan. Tak pernah habis walau dengan jeda melepaskan lelah kala malam.

Rindumu tak pernah lelah mendobrak-dobrak benteng hati. Rindumu selalu menerobos labirin kejemuan.
Jika sudah begitu, tak ada yang mampu aku berikan selain memberikan sedikit waktu untuk sekedar ku tenangkan gemuruhnya. Kau tak minta banyak hanya dalam satu waktu untuk berdua menatap senja ataupun sekedar melihatku bermain dengan keceriaan sendiri.

Caramu sungguh sederhana untuk pengobat rindu, walaupun ku tau rindumu cukup rumit untuk dituntaskan. Seolah ia tak pernah puas untuk sekali obat pertemuan.

Kau tetap tenang setenang mata tembagamu, setenang lembayung yang bahkan bersiap terenggut malam. Rindumu tak pernah ku renggut, dan cintamu (pun) tak pernah ku renggut.

Seolah aku menunggu senja habis, senja yang berbeda dengan lembayung-lembayung itu. Jika senjaku telah usai, maka izinkan aku membiarkan rinduku sebesar yang pernah kau rasakan pula.

Ingin rasanya memiliki rindu sebesar itu. Ingin rasanya tersenyum melihat yang tercinta sama seperti kala kau melihatku. Jika boleh izinkan sejenak aku menghapus rindu yang telah ada agar dapat mengisinya kembali dengan rindu-rindu mu.

Walaupun (maaf) saat ini, aku tak serindu itu.

Dari aku, yang ingin merindukanmu.

Aufa

Berbagi cerita menulis

Salam kenal…, dan mari sebut saja aku aufa.

Apa kabar kalian? Bagaimana dengan tulisannya, sudahkah menulis hari ini?
Aku tidak tau harus memulai dari mana tapi aku hanya ingin cerita sejanak. Nampak membosankan? Jangan keburu berpikiran untuk membaca surat ini terutama untuk kita para pemula dalam dunia menulis.

Awalnya aku menulis untuk diriku sendiri dan hanya kuberikan kepada mereka orang terdekat untuk membaca, hingga januari tahun 2013 seseorang memberiku semangat untuk mengikuti #30HariMenulisSuratCinta karena menurutnya tulisanku sangat mumpuni. Iya aku mengikutinya dan itu karena dasar sayangku kepadanya.

Tidak mudah perjuangan agar tulisan kita menjadi salah satu dari tulisan-tulisan lain yang berhasil dibukukan. Atas dasar semangat dari ‘dia’ jua lah aku berhasil memenangkan salah satu lomba menulis dan karyaku terpilih untuk dibukukan dalam satu antologi.

Kemudian kecanduan untuk mengikuti lomba-lomba lain. Kritikan pedas? Tentu sempat membuat down karena naskahku dinilai hanya sebagai adegan ranjang semata. Ya walaupun yang ku angkat tidak vulgar, hanya mengenai perselingkuhan.

Pelajaran pertama: kritikan jangan jadikan sebagai penghambat, justru cambuk untuk terus maju

Semuanya sempat terhenti beberapa bulan, dalam kondisi aku terjatuh sejatuh-jatuhnya.

Pelajaran kedua: jangan pernah menulis karena seseorang tapi menulislah dari hati untuk hatimu.

Aku belajar menulis otodidak dari twiter, beruntung kalian yang tinggal di kota besar dekat dengan toko buku, banyak workshop menulis juga akses internet yang tidak terbatas. Sedangkan aku? Sangat jauh dari kondisi itu. Tak jarang setiap liburan ke kota kalian, tak sedikit buku yang ku bawa pulang.

Pelajaran ketiga: jangan menyerah pada keterbatasan

Mencoba cara bertanya kepada penulis senior, sudah pernah aku lakukan dan mengirimkannya surel tapi sayangnya tidak mendapat respon sedikitpun. Memang ilmu mahal, tapi sungguh ilmu akan menjadi sombong oleh beberapa orang. Itu sebabnya ketika melihat ka iit dengan tulusnya menjawab semua surat yang masuk aku justru mengucap ‘Alhamdulillah, ada yang peduli’. Aku pernah dalam kondisi terabaikan dan aku pernah juga berada dalam waktu tak dikenal.

Pelajaran keempat: Jika Tuhan menutup satu pintu maka percayalah Tuhan akan membuka seribu pintu lain.

Ciber bullying? PERNAH!!! Sebagai objek yang dibilang banci kuis, bahkan master galau ^^. Sebenarnya mencari lomba menulis hanya ingin tau seberapa besar kemampuan menulisku. Masalah twiter galau? Haha.., biarlah mereka menilai yang sesungguhnya jatuh hatipun masih saja tulisan twiterku galau. Sungguh twiterku bukanlah aku sepenuhnya.

Tertipu saat mengikuti lomba juga sering. Menulis dengan sepenuh hati kirim ke akun yang ngadain lomba, ternyata ga ada kabar dan akunnya tidak aktif lagi 🙂

Pelajaran kelima: Tidak ada keberhasilan yang langsung ada pada posisi puncak, jangan menyerah dan jangan takut untuk berkarya.

Aku bukan penulis karena aku hanyalah orang yang juga belajar menulis, semoga cerita yang ku bagi bisa menjadi sedikit info tambahan untuk kalian.

Sampai sejauh ini aku baru bisa menjadi memiliki 5 naskah yang turut memenangkan lomba dan dibukukan. 5 naskah dalam waktu kurang dari 1 tahun.

Jika aku bisa, kalian juga bisa.

Jika aku yang kebetulan berdomisili jauh dari kota besar masih berupaya mendapatkan ‘pelajaran’ menulis kenapa kalian di kota besar justru tidak memanfaatkan fasilitas yang ada.

Jika aku yang memiliki pekerjaan bukan di dunia kepenulisan masih bisa membuat karya tulis, kenapa kalian yang ingin berkarya belum berani menulis sampai saat ini.

Berkaryalah teman, jangan takut untuk mencoba.

Salam sastra dari ku,

Aufa.

35 yang tak ingin ku akhiri

Maaf, mengganggu abang sejenak yang sedang sibuk mengerjakan laporan keuangan 🙂

Untuk menceritakan secara langsung, sudah bukan kapasitasku lagi bukan? Jadi semoga surat ini bisa menjadi media lain atas keterbiasaan kita yang masih sulit untuk ku hilangkan. Salah satunya berkeluh kesah tentang pekerjaan di kantor.

Bukankah suatu kewajaran bagi manusia untuk mengeluh, namun mengeluh bukan berarti dia kalah. Mengeluh untukku adalah suatu cara menyertakanmu dalam bagian hidupku. Mengeluh untukku adalah suatu tanda jika aku masih manusia, dan masih mengeluh untukku adalah kemanjaan yang ingin aku sampaikan.

Apa yang aku takutkan satu tahun ini terjadi juga bang. Mereka mendatangkan mesin baru keluaran Jerman dengan tekhnologi robotik. Alhasil, salah satu direksi memintaku untuk memangkas sebanyak 35 orang karyawan produksi.

Selama sebulan terakhir aku tak mampu tidur nyenyak. Satu sisi adalah kewajiban sebagai karyawan (juga) dan sisi lain ketidaksanggupanku melihat mereka jobless.

Siapa yang harus aku pilih 35 dari 150 orang bang? Mata siapa lagi yang harus ku tatap untuk mengatakan ‘Maaf saya sudah berusaha tapi menejemen memutuskan lain’ sebelum bulir-bulir air mata mereka menetes. Dan sesudahnya aku pasti akan meraung menangis di kamar mandi meratapi keterbatasanku.

Bukan kali pertama memberhentikan mereka, tapi kali pertama menghentikan pekerjaan mereka tanpa kesalahan yang mereka lakukan.

“Apa salah kami?”

“kenapa harus kami?”

“Kreditan saya banyak..”

“Saya tulang punggung”

Dan banyak lagi reaksi mereka ketika mendengar rencana pengurangan itu dari ku. Bang, ada rasa nyeri yang harus dengan berani ku telan pahit. Mereka sungguh karyawan yang tak pernah melakukan kesalahan, pun ketika aku memberi teguran keras hanya karena kelalaian.

Mereka bukan sekedar bawahan tapi mereka sudah menjadi bagian dari kehidupanku selama bertahun-tahun kami bekerja. Sungguh bukan hal yang mudah ketika aku harus melakukan hal yang sebenarnya tak ingin ku tuntaskan.

Jangan bicara mengenai profesionalisme karena pada akhirnya memang aku harus memilih mereka. Kali ini hanya ingin mengeluh mengenai Humanity dari seorang aufa.

Pagi kamis ini hujan, aku hanya ingin hujan turun hingga sabtu nanti. Hari dimana aku menyerahkan 35 nama yang harus di’eksekusi mati’. Iya, mengeksekusi piring nasi mereka, mematikan sumber pendapatan mereka.

Mereka yang selalu baik. Mereka yang akan dengan senang hati mengajakku berkeliling pemukiman. Mereka yang selalu tertawa melihat raut wajahku ketika mencicipi masakan lokal. Mereka yang tidak pernah lelah mengabdikan diri ketika kutuntut target produksi.

Target produksi yang mampu kami lampaui dengan angka yang luar biasa. Sebelum monster robotik itu selesai dirakit. Prestasi yang harus ku hadiahi dengan ‘eksekusi mati’.
Bukan mereka yang salah, tapi akulah yang kalah.

Semoga setelah ini, mereka akan segera mendapatkan piring nasi yang jauh lebih baik. Semoga setelah ini aku mampu tidur terlelap tanpa beban, mungkin, atau bahkan mungkin juga tidak.

Bang, aku harus pergi ke kantor. 07:35 wita. Kau pasti ingatkan jika aku harus selalu tiba di kantor sebelum pukul 08:00 wita. Sebelum mereka memulai produksi.

Semoga kau benar akan membaca surat ini 🙂

Salam sayang.

Aufa.

Om, kita tidak jodoh

Om, seharusnya sudah sejak lama saya kirimkan surat ini. Namun keinginan untuk kembali menapakan kaki di Garut masih belum juga terwujud. Maaf bukan karena melupakan, ah perihal melupakan sesungguhnya saya sangat tidak bersahabat dengan itu.

Hari itu, tiga tahun lalu untuk pertama kali dan (semoga bukan) terakhir kali kita saling bertatap muka. Saya tidak menyangka om begitu ramah dan tak ada sorot risih bertemu dengan saya yang selama ini hanya om kenal melalui jejaring sosial.

Ada kebahagiaan tak terhingga keluar dari dasar hati saya ketika om mengucapkan ‘kita percepat saja pernikahannya’. Bagaimana tidak jika jal itu adalah mimpi yang pernah saya gantungkan.

Anehnya saat itu juga om sudah berani memperlenalkan saya kepada tetangga sekitar dan juga kepada keluarga besar Garut. Saya sanggat menyukai kehangatan Garut kala itu.
Sayangnya, tak lama setelah pulang dari Garut ada luka tergores sangat dalam. Apakah om tau jika hati yang terluka tak mudah untuk disembuhkan walaupun kata maaf selalu terucap.

Jaring mimpi yang tersulam luruh ketika khianat bernyanyi. Pesakitan yang tak mampu dimaklumi. Saya menyerah dan mengalah untuk si jabang bayi atas perempuan lain. Jabang bayi yang memiliki ikatan darah dengan keluarga Garut, dengan om.

Bukan perkara siapa yang pertama dan siapa yang sudah mendapatkan restu dari Garut namun ini sebuah kenyataan tentang kehadiran kehidupan baru yang tak berasal dari rahim saya.

Tidak sedikit air mata yang sudah tumpah, hingga luka berkerat. Maaf, tidak ada maksud untuk meninggalkan benci. Namun untuk kembali ke Garut seperti tak ada hati.

Seharusnya tanpa surat inipun om akan mengerti. Ada kebaikan dan kehangatan yang tak mati oleh sakit hati. Ada gelak tawa dan keramaian yang tetap hidup sebagai sebuah kenangan.

Semoga setelah ini, perkawinan saya akan tetap terlaksana dan tentunya bukan dengan anak sulung om yang pernah menguntai jaring mimpi bersama dengan saya.

Kisah cinta yang sudah habis oleh kecewa tak berarti juga harus meninggalkan ampas pahit seperti secangkir kopi tua. Biarlah kenangan ini tetap indah seperti kedatangan saya untuk pertama kali ke Garut di hari itu.

Terimakasih untuk garut, terimakasih untuk kehangatan keluarga besar om. walaupun kita tak berjodoh untuk menjadi satu keluarga, walaupun saya tidak menjadi menantu untuk om.

PS: sampaikan salam saya untuk cucu cantik om yang seharusnya saat ini sudah berusia tiga.

Aufa

Lelaki nomaden

Untuk lelaki nomaden.

Orang yang setiap tahun tidak pernah absen untuk menerima salah satu surat dariku.

Apa kabar aa? Masih selalu mencintai kucing yang kadang kala selalu menjadi perdebatan kita jika minion jauh lebih menggemaskan dari pada kucing.

Orang yang selalu berjasa besar dalam hal kepenulisan ku, orang yang tak pernah lelah hanya untuk mencari kabar bagaimana perkembangan karyaku dan orang yang dengan rendah hati mendengarkan keluhan dan mencari solusi setiap proses menulis yang ku perlukan.

Entah bagaimana caraku untuk balas semua usaha yang telah aa berikan, dari bikinin blog, tumblr sampai sekecil info nulis juga selalu aa beri untuk ku.

Sungguh, orang pertama yang begitu senang ketika salah satu naskahku memenangkan lomba, aa lah orang yang pertama menghubungi penerbit untuk menanyakan proses PO dan aa orang pertama yang menunjukkan sudah memiliki buku itu. Bahkan aku saja belum memilikinya di hari itu.

Terimakasih banyak a, sudah mendengarkan semua keluhanku.
Terimakasih banyak sudah mengjarkan aku bangkit ketika dalam masa keterpurukan dan terimakasih untuk ‘senjata-senjata’ menulis yang aa berikan.

Bagaimana tidak awal obrolan kita selalu ku tanyakan ‘lagi dimana?’ Karena seorang Fulan selalu nomaden untuk urusan pekerjaan. Jika sudah begitu aku pasti akan mendapatkan foto pemandangan alam dimana kau berada saat itu.

Aa… Terimakasih banyak untuk semua, semua hal yang tidak pernah bisa ku dapatkan dari orang lain. Mungkin nanti obrolan ringan kita akan berlanjut di kotaku ataupun kota mu.

Seluruh ucapan ‘Alhamduliah’ selalu teriring ‘makasih a’ pada setiap naskah yang berhasil memenangkan lomba menulis. Jika tidak karena doronganmu mungkin saat ini aku hanya masih bermimpi.

Terimakasih banyak.

Lelaki yang jauh dimana namun selalu dekat di ujung pena, adalah kamu.

Aufa.