“Mengapa kau baru datang saat aku sudah ada yang memiliki?”
“Andaikan aku mengenalmu ketika kau tanpa seorang kekasih”
“Pergilah, kau pantas bahagia dengan yang lain”
“Aku akan pergi setelah kau mengatakan kau tak mencintaiku. Aku takkan akan pernah mengusikmu dengan cintaku”
“Aku tak mampu memberimu harapan”
“Aku tak meminta harapan”
“Aku tak ingin kau terluka”
“Justru aku akan terluka jika memendam rasa cinta ini tanpa pernah kau ketahui”
“Dari mana aku bisa yakin jika benar kau mencintaiku, kau hanya ingin mempermainkanku”
“Untuk apa aku mempermainkan kau yang bahkan tak ku ketahui sebelumnya, andaikan aku mampu akan ku bunuh rasa cinta ini agar kau tak meragukan kehadirannya. Aku tidak memohon apapun, aku hanya ingin kau tau jika aku memiliki rasa ini”
“Sekali lagi ku ingatkan aku memiliki kekasih”
“Dan sekali lagi aku ingatkan, aku tak berniat merusak hubungan itu”
“Kau melukai dirimu sendiri”
“Sudah ku katakan aku akan lebih terluka jika tak sempat menyampaikan ini padamu”
Aku tersenyum dan memilih mengakhiri pembicaraan kami. Suatu kebodohan memang untuk memberikan cinta pada waktu dan tempat yang salah, tapi cinta tak pernah bodoh untuk memilih harus jatuh pada hati yang mana.
Aku melihatnya bahagia bersama kekasihnya, aku melihat dia nyaman berada dalam pelukan yang tercinta. Benar, cinta butuh perjuangan tapi bagaimana aku bisa berjuang jika dia tak berada dalam orbitku.
Aku ingin menghabiskan masa tua dengannya, bukan suatu kalimat klise yang sering diucapkan ujung pena pujangga tapi sebenar-benarnya keinginan yang hadir dengan tulus.
Aku jatuh cinta, teramat dalam pada waktu yang salah. Aku mencintai segala hal tentangnya, tawanya, perhatiannya juga saat tak henti-hentinya ia menyebutku sebagai seseorang yang menyebalkan.
Aku mendengarkan ketika ia menyebut namaku di ujung lelap, aku berusaha memberi jawaban “iya” sebagai jawaban “iya sayang“.
Aku ingin memanggilnya sayang, bukan sebuah gombalan yang selalu ia sematkan kepadaku, namun karena benar aku sangat menyayanginya. Aku ingin dia tau jika setiap saat setiap waktu aku hanya menunggunya menyapaku, bahkan ketika malam rela terjaga hanya untuk menyuruhku memejamkan mata.
Dia, yang mampu membuatku meruntuhkan ego.
Aku tak mampu perjuangkan cintaku sendiri, bukan karena pengecut tapu justru karena cintaku tak untuk melukai.
Aku yang akan selalu merindukannya, aku untuk pertama kali benar-benar ingin menikah dengannya, iya, walaupun aku tau aku tak mampu untuk itu. Tapi aku hanya ingin, maksudku benar-benar ingin.