Aku tuliskan sebuah kisah tentang cinta mendalam yang baru saja aku dengar. Aku tak bisa menghadirkan senyuman untuk menghiburnya. Jadi biarkan ku pinjam jemariku untuk menceritakannya saja.
Ia jatuh cinta, begitu jatuh. Memang kadang cinta yang menggelora tak ubahnya kebahagiaan teramat sangat. Ia tak memperdulikan apapun kecuali kekasih yang selalu ada dalam hati dan benaknya. Dahaganya atas jumpa, inginya dalam dekapan. Menjadikan semesta seolah berlumur manisnya gula. Tentu saja ia sangat menikmati manisnya semanis cintanya.
Fase demi fase, hari demi hari tak ubahnya milik mereka yang terlanda demam cinta. Pujian demi pujian, kecupan demi kecupan tak berkesudahan. Sampai pada rindu yang terus menurus bergulir tak pernah ada kata cukup. Ia bahagia, maksudku ia benar-benar bahagia.
Kebahagiaan yang mengabukan segala.
Sampai pada fase ia merasakan hati yang datar. Tak bergejolak. Tanpa ekspresi seolah beku. Sang kekasih tak bergeming tetap memberi segala seperti semula. Ia pun merasa tak lagi jatuh cinta. Dengan mudahnya ia mengakhiri kisah.
Terjadi penolakan dari kekasih. Dan meminta untuk menarik kembali keputusan yang tak berdasar. Namun percuma egonya jauh lebih kokoh dari karang. Jauh lebih runcing dari panah cupid. Bulatkan tekat dan tetap melangkah.
Satu, dua, delapan hari kemudian. Ia merasakan kekosongan teramat sangat. Luka namun tak berdarah. Ia kehilangan lebih dari sebuah boneka dari pelukan bocah kecil. Dan ia baru saja menyadari jika cintanya masih sangat dalam untuk kekasih. Kegelisahan dan tangis tumpah.
Tak banyak bicara, segera ia menyampaikan maksud meminta kembali sang kekasih untuk menjalin yang telah putus. Sayang, tak bersambut. Gelengan kepala pertanda penolakan yang ia dapatkan.
Tangisnya tersedu, penyesalan sebagai bukti. Kegamangan adalah alibi. Namun percuma, tak sebanding dengan luka yang telah tergores di hati sang kekasih. Ataupun tak bertepatan ketika air mata sang kekasih bersujud memohon untuk menarik ego.
Hatinya terbelah, sangat.
Tak sampai disitu saja. Hati yang telah terbelah menjadi remuk dalam sekajap. Betapa nyeri ketika melihat sang kekasih yang kini telah menjadi milik orang lain. Dengan kepalanya ia melihat keromantisan yang pernah ia kecap kini menjadi asupan utama orang lain. Ratapannya tak kuasa menguatkan. Penyesalannya tak merubah apapun lagi.
Ia menyadari betapa cinta itu begitu dalam setelah ia kehilangan.
Sayangnya, tak semua bisa kembali seperti semula. Kebahagiaan juga cinta kini tak lagi berpihak.
Seandainya saja ia mengerti, jika cinta tak begejolak bukan berarti tak ada cinta.
Seandainya saja ia mengerti, bahwa fase dari jatuh cinta adalah menyatunya kekasih dalam kehidupan, dan itu tak nampak riuh.
Seandainya saja ia mengerti, melepas tak semudah itu. Pun dengan meminta kembali tak segampang ucapan bibir.
Seandainya juga ia mengerti, seseorang yang sangat mencintai mampu berpaling dengan mudah jika luka sudah ia rasakan. Luka yang tak terperi.
Ia mengisahkan kepadaku lukanya bukan hanya pada tak memiliki lagi sang kekasih tapi juga pada ketika melihatnya termiliki oleh orang lain.
Pertahankan apa yang kamu miliki saat ini jika memang ia orang yang tepat, karna begitu kehilangan dirinya percayalah belum tentu yang baru jauh lebih baik.
Jangan biarkan ego lebih runcing dari panah cupid. Ego tak mengenai sasaran dan menancap di hati untuk cinta tapi ego membelah hati dari orang yang kau cintai (setidaknya memang pernah kau cintai).
End.
Ps. Ditulis untuk mereka yang pernah tak menyadari cintanya sendiri.