Melankoli bersenandung pilu

Berbeda dengan kemarin

Hari ini ketika memandang satu persatu fotomu yang tersimpan di galeri bukan desiran di dada atau getaran silabu jantung. Justru melankolis bermain pada pelupuk air mata. Aku yakinkan ini bukan tangis, hanya cara mataku ingin membersihkan debu agar jauh lebih kelas memandang memori dalam sebuah foto.

Berbeda dengan kemarin

Hari ini ketika terbangun, tidak ku raih langsung ponsel dan hanya meringkuk di dalam selimut. Ku pandangi kamarku yang penuh dengan buku-buku. Baju-baju laundry yang sejak tadi malam menyebarkan aroma pewangi. Katamu kau menyukai aroma berwarna merah pekat itu, akupun membelinya. Semata agar aku selalu merasa kau selalu ada di dekatku. Matahari begitu terik, aku tak berusaha membuka jendela. Aku enggan bergerak. Aku terasa kosong. Tak penuh seperti kamarku.

Berbeda dengan kemarin

Mataku jauh lebih sembab. Sudah ku bilang aku tidak menangis. Karna bukan air mata yang ku rasakan namun segala hal yang ada kemudian menjadi tak ada. Sungguh bukan perkara mudah untuk sebuah rasa. Aku enggan menerima hari ini.

Berbeda dengan kemarin

Ada luka jauh lebih dalam dan aku mengutuk kebodohanku untuk tak mampu bertahan. Ada cinta yang masih utuh ku tinggalkan begitu saja, cintaku. Tiada pilihan selain menancapkan pesakitan pada hati dipuncak cinta dengan tanganku sendiri. Tiada lara selain melepasmu untuk sebuah keinginan yang kau sebut sebagai kebebasan. Sampailah kita pada persimpangan, inginmu tak lagi seiring denganku. Aku tak ingin kita jatuh cinta berpayung semu. Aku tak ingin ada luka yang akan berdejavu untuk hal yang sama di hari yang berbeda. Aku tak ingin kembali hanya untuk mendengarmu luka.

Berbeda dengan kemarin

Pintamu sebuah kisah kebebasan, tiada aku di dalamnya. Semua masih tetap sama.

Semalampun aku masih mampu memejamkan mata tapi tak senyenyak kemarin.

Pagi inipun aku masih membuka maya tapi tak setenang kemarin. 

Udara yang ku hirup pun masih cuma-cuma tapi tak begitu melegakan seperti kemarin.

Berbeda dengan kemarin

Hatiku terluka, sakit yang teramat nyeri. Begitu lincahnya aku menulis perihal move on tapi percayalah itu saja tak cukup menyembuhkan. Tidak ada yang perlu dipersalahkan pun dengan air mata yang tak berhenti menetes. Ruangku kosong, penghuninya sudah pergi menagih kebebasan. Aku tak ingin beranjak sedikitpun, barang kali dia kembali sebelum aku berlari.

Berbeda dengan kemarin

Melankoli bersenandung pilu, begitu banyak seandainya-seandainya yang lain. Aku tak ingin sepenuhnya menghilangkan logika karena hati jatuh cinta begitu egois. Tak ingin dibagi.

Barang kali ada yang terlupakan mengenai esensi mencintai adalah menjaga hati, menghadirkan kebahagiaan serta berjuang bersama.

Barang kali masih ada hal kecil yang baru saja kita lewatkan, besarnya cinta. Ataupun keinginan berbagi bersama bukan hanya untuk pengharum pakaian berwarna merah tua ataupun sekotak wafer yang katamu jauh lebih enak.

Barang kali masih bisa seperti kemarin. Sebelum habis hari terenggut malam.