Untuk kang pos Elikah

Untuk kang pos
Surat kali ini saya tulis untuk kang pos @.ikavuje yang sudah dengan baiknya hendak mengirimkan surat-surat kami. Banyak surat setiap hari masuk ke mention mu. Entah dalam kondisi kesibukan apapun kau selalu mengantarkan surat yang sudah kami kirimkan.
Begitu beruntungnya saya mendapati kang pos yang selalu membaca surat-surat kami. Bagian yang tak kalah penting adalah memberi komen setiap surat. Mungkin hal tersebut terlihat sepele dan sangat sederhana. Namun hal itu jualah yang menjadikan pemicu semangat bagi kami menulis.
Seolah kami menulis tidak sekedar menulis. Surat yang bahkan belum tentu dibaca oleh orang yang kami tuju. Tapi setidaknya kami memiliki satu orang yang tak absen membeca. Terimakasih banyak untuk segala waktu dan komen yang sudah diberikan.
Jujur saja saya baru mengikuti program ini tak lebih dari lima hari. Dikarenakan pada tahun ini terjadi hal tekhnis yang menjadikan saya tidak mengaktifkan social media. Tulisan pertama yang saya kirimkan ternyata mendapatkan respon dari kang pos. Terlihat mungkin euforia menulis surat tahun ini berkurang dari tahun sebelumnya namun semoga hal itu tidak menyurutkan semangat kang pos untuk tetap memberikan perhatian kepada surat kami.
Begitu banyak hal yang ingin diceritakan sebanding dengan begitu banyaknya rasa terimakasih yang ingin kami sampaikan. Tulisan-tulisan itu tak sepi sebab memiliki pembaca dan meresapi isinya. Terimakasih banyak. Semoga tahun-tahun berikutnya akan bermunculan kang pos-kang pos baru yang juga memberi perhatian ke surat-surat yang diberikan.
#30HariMenulisSuratCinta , semoga kang pos @ikavuje menerima banyak cinta dari doa-doa aksara yang tak terabaikan. Lebih banyak cinta dan lebih dari 30 hari. Terimakasih banyak.

Gunjingan juga butuh panggung

Aku tuliskan surat ini agar semakin jelas dan mengerti. Untuk kamu, agar tak selalu merung dalam duka. Ada saatnya jatuh dan ada saatnya harus bangkit. Tidak ada yang harus di sesali dari kehilangan. Memang menjalin hubungan kasih dan tak bertahan sudah menjadi hukum pertemuan.

 
Terkadang bukan trauma atas kehilangan cinta tapi justru omongan banyak mulut nyinyir yang tak bisa dibendung. Setidaknya dengan begitu kamu menjadi tau, siapa teman yang benar teman atau bukan teman yang pura-pura menjadi teman. Menjadi baik belum tentu baik pula di mata orang lain. Apa lagi ketika kamu tidak dalam kondisi baik. Banyak mulut yang akan menertawakan.

 
Tidak ada yang salah dengan membanggakan kekasih. Tidak ada yang salah pula dengan menangis ketika kehilangan dia. Akan menjadi salah jika kamu masih tidak dapat membedakan yang mana teman dan yang mana bukan teman namun berpura-pura menjadi teman. Mereka berhak bicara dan kamupun berhak menutup telinga.
Semesta menyeleksi tidak hanya pada cinta tapi juga dalam hal pertemanan. Apa yang bukan milik memang sudah sepantasnya dilepas. Akan tiba saatnya diganti oleh orang-orang baru, hati-hati baru juga kisah baru yang tak kalah menarik. Jika suatu saat terjatuh lagi? jangan takut. Sebab esensi terbesar dari hidup adalah dengan terus menemui kisah indah ataupun buruk. Roda berputas, siklus tak pernah berhenti. Jatuh cita jangan dihindari pun dengan patah hati.

 
Mereka yang tertawa dan menjadikan bahan ejekan, biarkan saja. Bila perlu sediakan panggung. Sebab hidupnya tidak akan pernah bahagia tanpa mengusik kebahagian orang lain. Bukankah memberi kesempatan orang bahagia adalah kebaikan yang akan terus dicatat. Berbaiklah pada orang yang menertawakanmu ketika jatuh. Tidak kekurangan apapun juga bukan?.

 
Tetap berbahagialah Tuhan membukakan mata justru pada saat ketika umatnya jatuh. Jangan jadikan gunjingan orang lain sebagai beban yang justru memberatkan langkah. Balas segala hal yang tidak baik dengan prestasi dengan sabar dan juga dengan tidak menjadi seperti mereka.

 
Sudah, aku tidak akan menulis bagian ini lebih banyak lagi, sebab kamu butuh bahagia bukan kerisauan oleh nyinyiran yang mencari panggung. Kejar bahagia, capai prestasi lebih bagus dari sebelumnya. Ingat, kamu tidak perlu hati yang terluka untuk mampu membuat sebuah karya. Jadi berhentilah meratap. Ada banyak karya yang belum lahir dari jarimu. Ada banyak buku yang menanti untuk kau lahap. Berbahagialah.

 
Dari aku yang sangat menyayangimu,

 
Dirimu sendiri.

Melawan ketakutan

Surat yang ku tulis untuk ntah siapa. Sebab aku hanya ingin menulis.

Beberapa penulis mampu menghasilkan karya saat hatinya terluka. Seolah pena imajinasi menjadi lebih liar. Jelas bukan kerena lukanya. Tapi penulis itu memiliki banyak waktu untuk mencari kesibukan lain. Katakan saja ketika kita terluka itulah waktu yang tepat untuk lebih peka dan dekat dengan hati. Berkubang luka dan menghasilkan karya, tidak ada salahnya. Semua memiliki caranya masing-masing untuk masa penyembuhan, recovery.

Aku memang bukan penulis. Sebab karya yang ku hasilkan masih tidak pantas untuk disebut dalam jajaran penulis. Anggap saja aku seseorang yang belajar menulis. Masih banyak ilmu yang ingin ku dapatkan dari proses menghasilkan sebuah karya. Saat bahagia, aku tidak dapat menggerakan pena, seolah bahagia memiliki kekasih memerlukan waktu yang lebih banyak. Ketika terluka, ah tentu saja bukan pertama kali aku terjatuh dan terluka oleh cinta.

Aku sebut ini sebagai luka yang jauh lebih sakit. Walaupun setiap luka tentu saja menyakitkan. Aku tak mampu menghasilkan karya, karna untuk menulis aku butuh cinta yang tenang. Gejolak rindu awal jatuh cinta mengusik penaku, pun dengan gemerisik perih kala hati terbelah. Aku tau jika aku benar-benar kepayahan. Luka di hati ibarat hantu yang terus menggelayut tiada kenal rotasi waktu.

Luka memang butuh obat. Sejatinya obat tak selalu masis seperti sirup. Jika memang ada yang manis dan tidak merusak luka jauh lebih dalam kenapa harus diabaikan. Sebagian menunggu luka itu kering sendiri. Sampai kapan? Entahlah. Waktu tidak bisa ditebak. Ia bergulir semaunya tanpa mengenal ampun. Sebuah lirik lagu “They say that times supposed to heal yeah but I aint done much healing”. Adel dalam Hello. Tidak semua waktu mampu menjadi penawar luka. Ingin ku pilih jalan menunggu luka itu sendiri yang pergi. Mungkin saja luka pun memiliki batas lelah.

Aku menulis begitu lancar mengenai cara move on taupun kisah fiksi perjuangan move on yang sempat dibukukan. Quotes dari cerpen itu menjadi tagline khusus. Aku begitu mahir merangkai kata demi katanya. Barang kali ini saatnya aku menggunakan life guide dari tulisanku sendiri. Dan memang benar aku berhenti menangis, karena luka terlalu dalam hingga tak mampu ku basuh lagi.

Mengobati luka untuk melawan ketakutan. Agar mampu menghasilkan karya baru. Sebuah cinta, cinta yang sehat.

Dialog sepotong roti

Kepada senja,

Aku tuliskan surat ini agar kau tau dialog yang tersembunyi antara jingga dan sendu. Antara pengorbanan dan ketersia-siaan. Antara aku dan saya.

“Sepotong roti untuk kekasihku”
Lantas untukmu?.
“Tak ada, aku hanya memiliki sepotong itu dan sudah ku persembahkan seluruhnya.”
Apa kau tidak tau jika dia memiliki lima potong roti dan dua diantaranya ia berikan kepada kekasihmu.
“Aku tau dengan pasti. Mengapa kekasihku, maksudku mantan kekasihku tak cukup hanya dengan sepotong roti sewajarnya.”
Ia cukup, namun ia tak mau cukup.
“Aku percaya ketulusan itu masih hidup dalam kesederhanaan perilakunya.”
Jangan naïf, nyatanya tak sedikitpun ia melihat pengorbanan dibalik roti. Yang ia tau hanya jumlah roti yang lebih banyak. Tentu saja dua jauh lebih baik dari pada satu.
“Jika mampu bertahan dengan satu roti mengapa ia harus memilih dua.”
Masih harus ku jawab yang itu?.
“Ada perhatian dan cinta.”
Kedua hal yang baru saja kau sebut tak nampak seperti roti. Kehidupan itu jauh lebih sadis dari fiksi romance depresi. Bangun dari lamunanmu. Apa-apa yang kau anggap baik belum tentu menjadi baik pula. Terkadang malaikat cinta yang kau puja mampu berevolusi menjadi malaikat pencabut nyawa. Sejauh apa kau mengenalnya. Bahkan saling jatuh cinta bukan berarti terbuka dalam segala hal. Tidak ada yang salah dengan sepotong roti.
“Ia memberiku cinta, ku kembalikan cinta pada sepotong roti.”
Dan kau lupa menyisakan sedikit cintamu untuk dirimu sendiri.
“Dan aku lupa menyisakan sedikit cinta untuk diriku sendiri.”
Seharusnya sedari semula kau sadari itu.
“Aku dan keterbatasanku. Aku yang tak mampu memberinya lebih dari sepotong roti. Aku yang membuatnya pergi dari sisiku. Aku yang begitu mengagumi kepolosan dan keindahannya. Aku pula yang tak mengerti jika kesederhanaan pun ingin menjadi mewah untuk bertahan.”
Sampai kapan kau terus menyalahkan dirimu sendiri ?.
“Bukankah dengan begitu aku tidak memiliki kesempatan untuk menyalahkannya. Tiada kekecewaan yang begitu dalam selain kehilangan cintanya. Tak menjadi soal kehilangan dirinya, tinimbang kehilangan cintanya. Namun aku, kehilangan keduanya. Aku sudah mempertahankan sekuat mungkin. Sepotong roti yang terabaikan.”
Sedihkah?
“Kekasih mana yang tak terluka ketika pasangannya memilih roti yang jauh lebih banyak dari orang lain. Tak apa, setidaknya aku kehilangan untuk melihatnya bahagia. Dari pada aku melihatnya bertahan denganku hanya dengan sepotong roti saja. Tapi aku tidak menangis.”
Berapa lama kau tahan air matamu sudah?. JIka dengan menangis membuatnya lega lakukanlah. Jika air mata mampu membasuh luka, luapkkanlah. Dan jika harus jatuh, jatuhlah. Asal kau ingat untuk berdiri lagi.
“Boleh menangis?”
Menangislah jika perlu, tak usah menutupi jika yang baik-baik saja adalah tak baik. Ceritamu telah usai. Berteriaklah jika sudah tak sanggup. Terkadang resonansi menyamarkan getir. Cintamu telah selesai.
“Cintaku telah usai.”

Terimakasih senja,

Sebab karenamu tulisan surat ini tercipta. Barang kali mampu menjadi obat dari luka hatiku untuk saya.

Tuhan, jangan biarkan pagiku terluka

Siapa yang tidak menyukai ketika terbangun pagi meraih ponsel hanya untuk menerima ucapan “selamat pagi” dari kekasih.
Semua hal menjadi indah, pun dengan suasana hati yang seolah menyuguhkan taman bunga. Senyum, ibaratkan leaflet obat gatal yang tersebar Cuma-Cuma di setiap tempat. Pernah juga aku menemui leaflet penjualan obat gatal yang mengambang di selokan. Sebegitu Cuma-Cuma. Cukup seperti itu, sedikit perihal jatuh cinta.
Tidak ada yang meminta untuk cinta jatuh, ia seolah bergravitasi dengan maunya sendiri. Pun dengan hati yang terbelah. Siapa yang berhak untuk dimintai pertanggung jawaban?. Tidak ada seorang ataupun keadaan yang patut dipersalahkan. Alhasil, malam ini masih berdialog dengan luka. Aku hanya mencoba untuk merasakan setiap bagiannya, setiap prosesnya juga setiap sesaknya. Jelas saja pertahanan pelupuk mataku selalu rapuh membendung perih. Begitu saja meraung sendiri menjatuhkan bulir air mata.
Perihal kesetiaan? Bukankah berkali-kali sudah sering menulis jika kesetiaan bukan hadiah, bukan pula pengorbanan. Sebab setia adalah jiwa yang lahir dari sebuah ketulusan. Semua yang indah, semua yang tulus hanya mampu diberikan oleh orang yang memiliki jiwa memiliki. Ternyata, cinta tak cukup hanya bermodal setia.
Hari masih belum pantas disebut pagi, sebab aku masih berkutat dengan gelap. Entah berapa banyak coretan yang tak bisa ku sebut sebagai karya. Semua bagai curahan hati. Aku enggan mengakui ini, walaupun seperti penulis yang menyelimuti lukanya dengan aksara. Yang pasti, aku ingin pagiku berbeda. Memang sudah menjadi beda sejak beberapa hari yang lalu. Maksudku berbeda dari beberapa hari lalu yang sudah menjadi beda. Tak ingin kembali mengecap pagi yang terluka.
Mencabutnya dari kehidupanku adalah pilihan terbaik. Untuk membenci pun tak memiliki kuasa. Tak ingin ku biarkan hati yang sudah hancur menjadi semakin busuk atas nama kebencian. Luka jelas masih basah. Tiada daya menggambarkan melalui tulisan. Bak bibir yang hanya menyimpan senyum sebab luka teramat dalam menggores hingga dalam.
Ucapnya, kebahagianku bukanlah dirinya. Benar, kebahagianku bukanlah dirinya namun ia adalah sumber terbesar bahagiaku. Aku masih hidup, aku masih bernapas walau tanpanya. Tapi hatiku sudah tak bergetar. Semoga setelah ini tak menghancurkan kehidupan. Cukup saja dengan hati yang tercurangi. Ia mendamba istana berbalut emas sedangkan tanganku hanya mampu menghadirkan istana pasir. Ia mendamba kehadiran yang tak henti, sedangkan kakiku melangkah terbatas. Semua kekurangan yang pernah ingin ia lengkapi dengan kehadirannya, hanya fatamorgana semata.
Sepertiga malam nyaris habis. Terpenuhi sudah mendoakan kebaikan untuknya. Semoga karma tak pernah menghitung sebagai alamat yang patut disinggahi. Tiada amarah yang ku tebar. Kesedihan cukuplah menguras tenaga. Aku hanya ingin agar Tuhan memberkan pagi yang indah. Sebab aku ingin kembali berlari. Bukan untuk meninggalkan luka namun untuk mengejar hari dan menyudahi lagu patah hati.
Selamat pagi, dariku yang ingin berlari.

SURAT UNTUK (MANTAN) CALON AYAH MERTUA.

Teruntuk ayah di Padang.

Mohon maaf (lagi) untuk yang terakhir saya harus menggunakan surat virtual. Mengingat ini adalah surat terakhir saya untuk ayah.

Ayah, begitu lihai saya menyusun aksara hingga pernah menjadi penulis terpilih untuk cerpen dengan tema move on. Dalam balutan fiksi gubahan aksara saya begitu indah. Beberapa quotes dalam cerpen tersebut menjadi tagline utama peluncuran buku. Tapi sayangnya, saya tak mampu menyusun kepingan hati sendiri semudah menulis fiksi. Iya, hati saya berkeping ayah. Menulis jauh lebih mudah tinimbang menerapkan life guide tulisan fiksi saya sendiri.

Semula memang sebuah janji terucap pada bibir sulung ayah. Menjadikan saya yang terakhir. Saya sangka hubungan kami hanya akan kandas oleh perjodohan yang ayah gaungkan untuk dia. Ternyata tidak. Kisah kami berakhir patah oleh janjinya. Seluruh kepercayaan dan cinta yang saya berikan hancur sebegitu cepatnya. Kebodohan saya yang tidak mampu membaca pertanda. Kesabaran saya yang menjadikan logika semakin buta.

Kehilangan kali ini begitu menyakitkan ayah. Saya berikan hampir seluruh cinta untuknya. Hingga saya tidak ingat untuk memberikan cinta kepada diri saya sendiri. Sebab kini, saya tertikam oleh cinta itu dengan perih. Habis sudah semua mimpi yang pernah kami gantungkan pada angkasa. Di kolong lagit saya meringkuk dalam sedan. Terisak tiada mengenal batasan dan bahkan berhenti melakukan apapun.

Pramoedya Ananta Toer menyebut pada bukunya Bumi Manusia Cinta yang memiliki kekuasaan bisa membangun bahkan menghancurkan. Saya membangun kokoh hubungan ini dengan ketulusan. Sayangnya, saya justru hancur oleh cinta yang berpaling. Seperti tokoh Annalies Mellema pada novel tersebut, ia memilih menerima keadaan ketika orang yang dicintainnya dianggap sudah tak memperjuangkan kehadirannya lagi. Menerima semua tanpa perlawanan sedikitpun.

Mevrouw Annelis Mellema hidup dengan cinta tapi harus mengecap derita pergi meninggalkan semua. Mevrouw Annelis dalam bahagia menanggalkan Juffrouwnya untuk yang tercinta, kemudian tumbang seketika. Tentu saja tidak mudah ayah. Memaksa tetap bertahan tiada kuasa. Sebab cinta memang membutuhkan perjuangan, bukan sekedar ucapan dibibir saja. Sekiranya ayah pernah membaca novel ini pasti akan cukup mengerti. Mengingat ayah seorang penikmat buku roman klasik.

Inilah akhir dari cerita kami ayah. Hari itu, saya dapati ia begitu bahagia dengan cintanya yang baru. Setelah menjalani fase keterpurukan, jelas saya ingin bangkit lagi. Saya melepas untuk kebahagiaan dirinya. Telah hadir orang lain yang mampu menguatkan kerapuhannya bahkan sebelum saya rapuh dibuatnya. Itu jauh lebih melegakan. Sebab selama ini dialah hati yang selalu ingin saya jaga.

Benar, saya sangat memujanya. Ia adalah sulung yang memberikan kasih sayang kepada adiknya hingga tumpah-tumpah. Ia selalu terlihat selalu tegar bahkan sangat membenci air mata. Ia akan selalu meminta saya untuk menghentikan tangis, karena untuknya semua itu hanya sia-sia belaka. Ah ayah, dalam luka masih saja saya memujinya. Bukan berarti saya menaruh harap. Namun inilah memori yang masih tak kuasa saya hapuskan.

Oiya ayah, perihal kunjungan saya ke Padang. Hati ini terlanjur mencintai ranah Minang. Suatu saat nanti saya akan tetap menjejakkan kaki di Minang. Sempet terbesit impian ingin menikmati sepiring nasi Padang di Padang, disuap oleh orang Padang. Walaupun tanpa tangan sulung ayah yang memberi suapan, barang kali tangan Uda penjual nasi Padang bisa menjadi gantinya hehe.. Sedikit bercanda ayah, agar tak terlalu larut duka saya dalam surat ini.

Saya banyak mengenal tentang ayah dari dia. Semoga ayah sehat selalu. Kiranya kita memiliki jodoh untuk bertemu. Asal bukan di rumah makan Padang Rinai Pembasuoh luko. Sudah pasti hidangannya bukan pedas tapi justru asin. Akibat air mata mantan yang taluko. Terimakasih untuk semuanya ayah, pun dengan kesempatan pernah mencintai sulung ayah.

Banjarmasin, hari ini.

Salam sayang saya