Tuhan, jangan biarkan pagiku terluka

Siapa yang tidak menyukai ketika terbangun pagi meraih ponsel hanya untuk menerima ucapan “selamat pagi” dari kekasih.
Semua hal menjadi indah, pun dengan suasana hati yang seolah menyuguhkan taman bunga. Senyum, ibaratkan leaflet obat gatal yang tersebar Cuma-Cuma di setiap tempat. Pernah juga aku menemui leaflet penjualan obat gatal yang mengambang di selokan. Sebegitu Cuma-Cuma. Cukup seperti itu, sedikit perihal jatuh cinta.
Tidak ada yang meminta untuk cinta jatuh, ia seolah bergravitasi dengan maunya sendiri. Pun dengan hati yang terbelah. Siapa yang berhak untuk dimintai pertanggung jawaban?. Tidak ada seorang ataupun keadaan yang patut dipersalahkan. Alhasil, malam ini masih berdialog dengan luka. Aku hanya mencoba untuk merasakan setiap bagiannya, setiap prosesnya juga setiap sesaknya. Jelas saja pertahanan pelupuk mataku selalu rapuh membendung perih. Begitu saja meraung sendiri menjatuhkan bulir air mata.
Perihal kesetiaan? Bukankah berkali-kali sudah sering menulis jika kesetiaan bukan hadiah, bukan pula pengorbanan. Sebab setia adalah jiwa yang lahir dari sebuah ketulusan. Semua yang indah, semua yang tulus hanya mampu diberikan oleh orang yang memiliki jiwa memiliki. Ternyata, cinta tak cukup hanya bermodal setia.
Hari masih belum pantas disebut pagi, sebab aku masih berkutat dengan gelap. Entah berapa banyak coretan yang tak bisa ku sebut sebagai karya. Semua bagai curahan hati. Aku enggan mengakui ini, walaupun seperti penulis yang menyelimuti lukanya dengan aksara. Yang pasti, aku ingin pagiku berbeda. Memang sudah menjadi beda sejak beberapa hari yang lalu. Maksudku berbeda dari beberapa hari lalu yang sudah menjadi beda. Tak ingin kembali mengecap pagi yang terluka.
Mencabutnya dari kehidupanku adalah pilihan terbaik. Untuk membenci pun tak memiliki kuasa. Tak ingin ku biarkan hati yang sudah hancur menjadi semakin busuk atas nama kebencian. Luka jelas masih basah. Tiada daya menggambarkan melalui tulisan. Bak bibir yang hanya menyimpan senyum sebab luka teramat dalam menggores hingga dalam.
Ucapnya, kebahagianku bukanlah dirinya. Benar, kebahagianku bukanlah dirinya namun ia adalah sumber terbesar bahagiaku. Aku masih hidup, aku masih bernapas walau tanpanya. Tapi hatiku sudah tak bergetar. Semoga setelah ini tak menghancurkan kehidupan. Cukup saja dengan hati yang tercurangi. Ia mendamba istana berbalut emas sedangkan tanganku hanya mampu menghadirkan istana pasir. Ia mendamba kehadiran yang tak henti, sedangkan kakiku melangkah terbatas. Semua kekurangan yang pernah ingin ia lengkapi dengan kehadirannya, hanya fatamorgana semata.
Sepertiga malam nyaris habis. Terpenuhi sudah mendoakan kebaikan untuknya. Semoga karma tak pernah menghitung sebagai alamat yang patut disinggahi. Tiada amarah yang ku tebar. Kesedihan cukuplah menguras tenaga. Aku hanya ingin agar Tuhan memberkan pagi yang indah. Sebab aku ingin kembali berlari. Bukan untuk meninggalkan luka namun untuk mengejar hari dan menyudahi lagu patah hati.
Selamat pagi, dariku yang ingin berlari.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *