[41] Rumah Biru

Judul: Restu

Terbit: Agustus 2016
Cerpen yang masuk dalam kontributor dengan judul Restu adalah cerita mengenai dilema cinta seorang ayah kepada anaknya.

Dimana ia harus mengorbankan kebahagiaannya sediri untuk si buah hati.

Cerpen yang ditulis begitu penuh unsur kehangatan kasih sayang. Menjadi pilihan dalam seleksi penulis Panritha publishing.

Ambang batas lelap

Apa yang kau mimpikan hingga lelapmu sebagai pertanda menyatu dengan kawanan ilusi.

Pintamu untuk menghadiahkan sebuah puisi sederhana. Bagaimana bisa, sebab kesederhanaan menjadi begitu agung jika ku selipkan sedikit saja rasa pada kata.

Apa yang kau doakan hingga tidurmu bak hamparan ketenangan yang tak terusik. Seolah lelah menjadi pemicu, sedangkan resah adalah aku.

Sebut saja aku penyusun kata yang mengisi jemarinya dengan rindu. Ketika kantuk kau utarakan seketika itu juga rinduku menjela menjadi pengusik kecil.

Bukankah menyebalkan bersama dengan kantuk yang terjaga hanya oleh rengekan. Tapi percayalah, rengekan kecil itu pula yang akan menjadi alasanmu tersenyum ketika ber deja vu.

Menjagamu dalam tidur adalah kesunyian yang mengutuk rinduku semakin pekat. Bukankah ku sampaikan jika secangkir kopimu tak lebih pekat dari rindu.

Tanpa perlawanan tetap saja membuat kantukmu meraja.

Katamu “Rindumu akan berteman dengan debaran jantungku selama aku terlelap”.

“Bukankah kafein jauh lebih mengusik tidur tinimbang rinduku” tanyaku.

Kau hanya tersenyum berucap jika kafein dalam secangkir kopi tak menjadi candu dan takkan mengusik. Namun rindu, mengusik kesepian dan kau menyukai itu.

Tiada yang tertinggal selain detak jantungmu. Tidak, tidak hanya berdetak tapi ia menemaniku dalam sekat rindu. Menunggumu hingga terbangun dengan senyuman.

Tidurlah sayang, aku hanyalah pengusik kecil yang menjadikan lelapmu sebagai kesetiaan. Kan ku jaga hingga kau terjaga.

Mimpilah sayang, biarkan sunyi menjadi rahasia kita. Ambang batas antara rindu yang meresah dan tidurmu yang tak tergoyah.



Jingga cawan aksara


Bias rona jingga menggelayut pada langit senja,

Gemersik dedaunan terombang-ambing tiupan angin syahdu.
Antara kebodohan untuk terus mengobati luka serta keharusan menuntaskan satu perkara.

Tiada upaya tanpa daya untuk membungkam cerita.

Aku meradang dalam bulir-bulir nista hingga menyerpih bak jelaga.
Bukan perkara mudah untuk memiliki cinta, sebab rangkaian camar yang berteriak pada bibir pantai kala senja tak jua mengartikan sebuah ‘pulang’.
Aku ingin menjadi penghuni yang terlelap dalam hatimu, tempatku pulang.

Aku ingin membuang penat dan bersandar tanpa harus mengecap lagi sebuah luka.

Aku ingin menjadi silabu-silabu yang wangi seperti aroma cinta. Cinta yang tak lain adalah tentang kita.

Wahai semesta, leburkanlah malam, kembalikanlah senja. Sebab tak ingin ku biarkan cintaku terkarang hanya untuk ornamen pantai gigil gulita malam.
Mari…. Mari ku ceritakan cinta yang bukan sebuah dongeng.

Sebab keyakinan adalah muara dari sikap serta ucapan bibir.
Jutaan emosi ku tuang habis dalam cawan aksara.

Balut saja dengan senyuman.

Walau cadas namun tak akan meretas.
Jangan biarkan lentera cinta padam ketika malam merenggut senja.

Sederhana adalah aku, tapi tak usang. Sebab kunang-kunang bersama gemintang akan tetap utuh memberi terang selagi rembulan dalam sabit kecil.
Teruntuk jingga pada senja, aku tak ingin hanya diam menanti tanpa deru.

Renggut saja pecahan resah, larungkan bersama tamparan gelombang pantai.

Dari kolong langit malam, aku hanya ingin mendekap erat cintamu utuh.

Tempatku pulang, tempatku menyalakan cahaya.

Tempatku menumpahkah air mata.

Tempatku tertawa juga bercerita banyak rupa.

Masih tak nyamankah lenteraku?

Sebab cintamu berbahasa kelu.

Bukit Batas part II (tanpa rencana)


Akhirnya sampai di Pulau Pinus II. Udah saya jelasinkan kenapa namanya pulau pinus II. Semacam shelter area sebelum menuju Bukit Batas.


Pulau ini memang dipenuhi dengan pohon pinus. Pulau kecil yang ga cocok buat nyemak 😁. Karna kecil dan banyak pengunjung mau pacaran ke semak-semak gimana kalau setiap sudutnya keliatan semua.

Ada beberapa warung kecil yang menyediakan kopi, mie serta nasi bungkus. Oiya coba deh order mie bekuhup. Mie instan yang masaknya dengan membubuhkan air hangat ke bungkus yang dijepit make jepitan jemuran baju 😂. Terus yang beli bakal dikasih gunting sama sendok. Buat apa lagi kalo bukan nggunting bungkus bumbu.


Salah satu spot di Pulau Pinus II. Lumayan aga lama berenti di sini. Sembari membiarkan eL selfie-selfie dan paling awkward pink bawa ‘rantangan’ yang disantap bedua bareng pasangannya 😂. Seriusan gokil, baru kali ini ngajak naik bukit tapi ada yang bawa bekal nasi dari rumah plus air mineral 1,5 liter.
Hahaha… Saya sih mikirnya sesimple mungkin kalau naik bukit cukup bawa sebotol 600ml. Berat vroohh…


Ini dari pulau pinus II juga.

Ini jembatan yang akan kami lalui nuju ke Bukit Batas dari Pulau Pinus II

“Ini simpan” saya masukan bunga pinus ke tas eL

“Untuk apa?”

“Kenang-kenangan supaya kamu ingat aku yang pernah bawa ke pulau pinus” ihihik… Udah gitu eL… Rafael cuman ngangguk dan nurut.

Yah, di pulau ini kami berkenalan dengan sekelompok kawanan yang juga akan mendaki ke Bukit Batas. Sebagai orang lokal tentu saja saya banyak berinteraksi dengan mamang-mamang. Juga kepada acil-acil yang ada di sekitaran Bukit Batas.

Perjalanan mendaki kami tempuh dengan waktu 2 jam menanjak. Sayangnya karena faktor rute yang masih benar-benar alami banyak nyamuk. Dah semua gadget di dalam tas, tidak sempat mengabadikan momen sepanjang jalan yang berupa hutan.

Tidak mudah memang untuk mendapatkan objek alam yang indah. Mungkin jika aksesnya bagus pemandangan di Bukit Batas tidak akan sebagus saat ini. Banyak wisatawan akan berdampak banyak kerusakan alam, mungkin. 😊

“Capek?” Tanya saya

“Ga dong, masih semangat ko”

Sedikit kawatir banyak senengnya. Bagaimana tidak karena saya tau Rafael nonstop bekerja siang malam dan dia hanya dua jam tertidur sebelum saya ajak ke Bukit Batas.

Perjuangan menepaki bukit yang sangat tidak gampang. Selalu menanjak. Untuk memasuki wilayah Bukit Batas dikenakan retribusi 5k/org. Keringat, lelah dan perjuangan 2 jam pendakian terbalas.


Spot pertama bukit batas.

Saya melihat Rafael histeris dan bersorak. Matanya berbinar melihat pemandangan dari Bukit Batas. Rafael tersenyum, dia benar-benar tersenyum. Rafael bersorak seolah ia menemukan keindahan dan keriangan yang mengusir penatnya.

Iya, tidak terlihat pulau “love”nya. Lagi-lagi Rafael dengan ulahnya mengajak beberapa orang mamang-mamang penjaga Bukit Batas untuk menumbangkan pohon yang menghalangi pemandangan.

Tanpa menggunakan parang atau sejenisnya. Rafael benar-benar ikut berjuang. Dia berisik katanya tidak bagus spotnya ada pohon yang menghalangi.

“Bahaya ah, ga usah dirobohin” ucap saya.

“Kan ga bagus kalau ada penghalang, harus disingkirin supaya keliahatan cintanya”

“Apanya?”

“Eh, pulau cintanya”


Proses menumbangkan pohon.


Dilakukan oleh mamang-mamang dan Rafael. Pohon itu di tepi jurang. Gimana ga ngeri ngeliatin dia ikut-ikutan sok bisa 😂 dengan kekuatan sepatu wakai.


Ini setelah pohon tumbang. Berkat Rafael dan mamangs 😊. Beneran pulaunya terlihat jelas kan?
Lagi, eL bersorak dan sesaat dia tertegun melihat pemandangan yang tanpa penghalang. Dia melihat bebas dengan senyumnya.
“Kamu suka?” Tanya saya lirih

“Iya”

“Kamu bahagia”

“Banget”

Ya Tuhan, betapa indahnya ciptaanMu yang satu ini. Tidak, selain Bukit Batas maksud hamba. Tapi, sesosok ciptaanMu yang hadir dalam Rafael.

Aku, jatuh cinta. Bukan lagi sebatas kagum. Entah kenapa saya ingin selalu membuatnya bahagia. Saya mengagumi Rafael dengan kesederhanaannya, dengan segala tingkahnya yang membuat selalu ingin tertawa.

Ada 3 spot bagus di Bukit Batas dan karena terik matahari dan batrai yang sudah low hanya bisa menikmati tanpa mampu mengabadikan semua.

“Asik kali ya kalau bermalam di bukit ini terus bisa lihat banyak bintang”.

“Iya, next time saat aku menjadi milikmu” dalam hati, saya hanya memberi jawaban ini dalam hati saja.

Selama berjam-jam kami pindah dari satu spot ke spot lainnya. Mendengar bisikan angin, merasakan hadirnya cinta. Serta tertawa-tawa melihat tingkah eL ketika ia mencoba menaiki sebatang pohon hanya untuk mendapatkan spot terbaik. Setelah itu lengannya luka dong 🙂 kegores kulit pohon.

Ketika lapar menyerang, kami memutuskan untuk kembali turun ke Pulau Pinus.

Lain kali saya akan kembali ke sini, “melihat bintang” seperti angan eL.

Rafael, aku tidak pernah berencana untuk jatuh cinta kepadamu. Sebab semua justru ku sadari setelah rasa itu tertanam kuat. Cinta seketika itu hadir, tapi kamulah yang membuatnya terlahir.


Menjaga dan terus bahagia bersama, semoga pulau love di Bukit Batas adalah awal dari love yang akan selalu kita jaga.


Tak sabar untuk menanti perjalanan bersamamu, menjelajahi tempat-tempat lain yang tak biasa.


Untukmu, eL.


Aufa.

Bukit Batas part I (menuju Pulau Pinus II)


Bukit batas.

Banyak keindahan Kalimantan yang memang belum terexplore (eh wait, liat deh picnya nampak ga sih pulau kecil bentuk love gitu?). Bukit batas kalau dari Banjarbaru hanya perlu di tempuh dengan jalan darat 1 jam kemudian nyebrang melintasi danau 1,5 jam.

Banjarbarunya sendiri kalau dari bandara cuman 30 menit doang.
Ini pertama kalinya saya menuju ke Bukit Batas hingga puncak. Sebelum-sebelumnya hanya sampai pesisir pulaunya di bawah saja.
Sayangnya, traveling kali ini ga banyak foto yang bisa saya share karena kudu jadi joki vroohh… 😁. Menuju Bukit Batas dengan ngajak seseorang, eeemm supaya lebih punya identitas kita sebut saja dia “eL” dan 2 orang temen lainnya.
Tanpa sadar baru ngeh kalau saya membawa anak-anak emol. Alhasil selama perjalanan darat menuju Bukit Batas kudu singgah ke toko untuk membeli sandal jepit -__-. Seriusan udah dikasih tau bakal naik-naik bukit malah teup make heels.
Sepanjang perjalanan melewati perkampungan dengan kondisi jalan aspal bagus. Hanya beberapa titik yang memang jalannya rusak. Gimana ga nyenengin kalo jalannya bareng si cakep eL 😁, ok baper.

Perjalanan dari Banjarbaru menuju pelabuhan Riam Kanan. Konon pelabuhan sekaligus bendungan itu adalah 3 desa besar yang sengaja ditenggelamkan untuk membuat PLTA menghidupi beberapa wilayah Kabupaten.

Saya ambil sisi kiri pelabuhan, nampak sepi. Sayangnya untuk sisi kanan tidak terfoto. Oiya di pelabuhan ini banyak warung-warung makan yang menyediakan makanan khas.

“Kamu mau ga cobain daging khas sini” tanya saya pada eL

“Apa an?”

“Nasi bungkus doang ko, tapi lauknya unik. Daging kijang hutan, mereka sebut puyau”

“What?? Kijang? No… No… Noo..”

“Ih jangan bayangin kijang-kijang unyu gitulah. Ini kijang hutan dan memang khasnya nasi puyau di sini doang”

No! Pokoknya No!”

“Hahaha tau gitu disuruh makan aja tapi jangan kasih tau kalau itu daging kijang”

“Iya! Kalau gitu kan jadi ga akan nolak duluan”

“Lah?” :))))

Yup, begitulah eL 🙂 selalu ada kejutan di dirinya.
Karena udah lama ga berkutat sama pelabuhan Riam Kanan jadi kudu nanya-nanya sewa kapal untuk nyebrang. Dan dapat harga 200k. Kata mamangnya sih kapalnya lebih kecil, dan kalo yang besar 350k. Karena kami cuma beberapa orang jadi saya putuskan memilih kapal yang kecil.
Baru inget, bagian naik kapal kecil aga menakutkan karena ketika liat penampilan fisik kapal ga banget. Apa lagi saya ga bisa berenang dong :(. Mau nunjukin rasa takut tapi gengsi ah di depen eL.

“Berani ga naik klotok?” Tanya saya

“Eh beranilah…”

Padahal saya yang emang ga banget kalo naik klotok-klotok kecil. Biasanya selalu naik kapal yang rada besar jadi kerasa aman aja. Kapal keciill make mesin suara bising gitu deh namanya klotok.

Mungkin karena bunyinya otok otok otok lalu mereka menyebut Klotok. IMHO aja sih 😁

Ketika mamang klotok dateng doi bawa bungkusan kwaci. Saya tanya ke mamang untuk apa, dijawab beliau “untuk dimakan di jukung” takjub sih dapet fasilitas cemilan walaupun cuma kwaci.

Tiba-tiba eL langsung nyamber ngomong “Itu sengaja dikasih supaya kamu ga tegang selama di klotok”. Padahal udah berusaha nunjukin tampang ga tegang. 
Lagi-lagi saya tidak ambil foto kapal kecil yang disebut klotok itu. Hanya terlihat bagian klotok ini saat selfie.


Bagian ini rada tegang-tegang gimana gitu karena klotoknya terombang ambing. Panas terik (kesiangan berangkat, dan kalau jukung emang tidak ada penutupnya).

Dan bagian ini juga rada-rada ngeselin karena eL minta DIFOTO POSISI BERDIRI DI KLOTOK. Seriusan ngeselin berasa pengen ceburin doi ke danau aja 😂, eh jangan deh haha…

“Kek scene Titanic kan seru di tengah danau gini” ucapnya.

“Ga! Seriusan ga. Nanti klotoknya terbalik gimana coba”

“Kan ada mamangnya” jawabnya.

“Teup ga!” Saya pasang wajah serius sedikit senyum. “Eh tau ga, katanya kalau minum air sungai Banjar orang itu bakal balik ke Banjar loh” sambung saya kepada salah satu teman bernama Pink (dia make baju pink sih). Yang kebetulan membawa pasangan LDRnya.

Momen konyol setelah itu, tiba-tiba tangan pink masuk ke air sungai dan langsung usapin ke bibir pasangannya. 😂😂😂
Klotoknya goyang-goyang ga jelas dan itu ga banget. Apa lagi kalau eL berdiri ga makin horor tuh!. Ntahlah rasanya saya tidak pernah berhenti tertawa dengan segala tingkah polah eL. Tidak, saya rasa ini bukan cinta. Saya hanya mengagumi dia saja. Jauh dari yang saya bayangkan sebelumnya. Ternyata seorang eL begitu ‘hangat’. Dia penuh hal-hal baru yang membuat saya ingin terus mengenalnya. Hidupnya penuh warna, penuh kejutan.

Dia terus ngerengek minta berdiri dan saya teup larang sambil makan kwaci. Yoi vroohh bener kwaci sebagai penenang 😂.

Sepanjang danau yang airnya kehijauan akan disuguhi pemandangan perbukitan hijau. Rumah-rumah penduduk lokal. Juga beberapa kapal yang lalulalang. Aroma sejuk air danau, pemandangan alam hijau. Benar-benar natural. Serta kwaci yang bikin bibir jontor 😁.
Teup saya biarin eL selfie-selfie ga jelas. Dan teup kalo urusan yang satu ini saya ga lupa buat foto.


Iyeeey jamban terapung! 😁

Perjalanan kami menuju pelabuhan berikutnya, Pulau Pinus II.

Ya, memang ada Pulau Pinus I. Biasanya dijadikan tempat wisata alam atau kegiatan kemping untuk anak-anak sekolah.

Riam Kanan tidak pernah sepi, sebab jalur ini merupakan akses jalur bagi para pecinta alam untuk menaklukan pegunungan meratus. Pegunungan yang membentang panjang di Kalimantan.

eL adalah inginku menyuguhkan keindahan Bukit Batas, agar kau memiliki satu memori luar biasa bersama ku.

[40] Menjemput Rindu


Judul: Karindangan

Terbit: Agustus 2016
Flash fiction tema rindu yang diadakan oleh Panrita Publishing. Lomba ini dilangsungkan di bulan Mei 2016.

Judu karindangan sesuai dengan tema yang digulirkan. Judul tersebut disadur dari bahasa Banjar yang artinya tidak lain adalah Rindu. Kisah cinta dua tokoh yang harus dipisahkan oleh jarak. Selalu ada ending yang membuat kisah cinta menjadi layaknya roman.

“Jarak memang berat untukku. Tapi, dengan begini aku belajar bahwa berjarak jauh lebih baik daripada tidak memilikimu sama sekali”

Kisah lebih lanjutnya bisa ditemukan di buku antologi cerpen ini dari Panrita Publishing.