Bias rona jingga menggelayut pada langit senja,
Gemersik dedaunan terombang-ambing tiupan angin syahdu.
Antara kebodohan untuk terus mengobati luka serta keharusan menuntaskan satu perkara.
Tiada upaya tanpa daya untuk membungkam cerita.
Aku meradang dalam bulir-bulir nista hingga menyerpih bak jelaga.
Bukan perkara mudah untuk memiliki cinta, sebab rangkaian camar yang berteriak pada bibir pantai kala senja tak jua mengartikan sebuah ‘pulang’.
Aku ingin menjadi penghuni yang terlelap dalam hatimu, tempatku pulang.
Aku ingin membuang penat dan bersandar tanpa harus mengecap lagi sebuah luka.
Aku ingin menjadi silabu-silabu yang wangi seperti aroma cinta. Cinta yang tak lain adalah tentang kita.
Wahai semesta, leburkanlah malam, kembalikanlah senja. Sebab tak ingin ku biarkan cintaku terkarang hanya untuk ornamen pantai gigil gulita malam.
Mari…. Mari ku ceritakan cinta yang bukan sebuah dongeng.
Sebab keyakinan adalah muara dari sikap serta ucapan bibir.
Jutaan emosi ku tuang habis dalam cawan aksara.
Balut saja dengan senyuman.
Walau cadas namun tak akan meretas.
Jangan biarkan lentera cinta padam ketika malam merenggut senja.
Sederhana adalah aku, tapi tak usang. Sebab kunang-kunang bersama gemintang akan tetap utuh memberi terang selagi rembulan dalam sabit kecil.
Teruntuk jingga pada senja, aku tak ingin hanya diam menanti tanpa deru.
Renggut saja pecahan resah, larungkan bersama tamparan gelombang pantai.
Dari kolong langit malam, aku hanya ingin mendekap erat cintamu utuh.
Tempatku pulang, tempatku menyalakan cahaya.
Tempatku menumpahkah air mata.
Tempatku tertawa juga bercerita banyak rupa.
Masih tak nyamankah lenteraku?
Sebab cintamu berbahasa kelu.