Apa yang kau mimpikan hingga lelapmu sebagai pertanda menyatu dengan kawanan ilusi.
Pintamu untuk menghadiahkan sebuah puisi sederhana. Bagaimana bisa, sebab kesederhanaan menjadi begitu agung jika ku selipkan sedikit saja rasa pada kata.
Apa yang kau doakan hingga tidurmu bak hamparan ketenangan yang tak terusik. Seolah lelah menjadi pemicu, sedangkan resah adalah aku.
Sebut saja aku penyusun kata yang mengisi jemarinya dengan rindu. Ketika kantuk kau utarakan seketika itu juga rinduku menjela menjadi pengusik kecil.
Bukankah menyebalkan bersama dengan kantuk yang terjaga hanya oleh rengekan. Tapi percayalah, rengekan kecil itu pula yang akan menjadi alasanmu tersenyum ketika ber deja vu.
Menjagamu dalam tidur adalah kesunyian yang mengutuk rinduku semakin pekat. Bukankah ku sampaikan jika secangkir kopimu tak lebih pekat dari rindu.
Tanpa perlawanan tetap saja membuat kantukmu meraja.
Katamu “Rindumu akan berteman dengan debaran jantungku selama aku terlelap”.
“Bukankah kafein jauh lebih mengusik tidur tinimbang rinduku” tanyaku.
Kau hanya tersenyum berucap jika kafein dalam secangkir kopi tak menjadi candu dan takkan mengusik. Namun rindu, mengusik kesepian dan kau menyukai itu.
Tiada yang tertinggal selain detak jantungmu. Tidak, tidak hanya berdetak tapi ia menemaniku dalam sekat rindu. Menunggumu hingga terbangun dengan senyuman.
Tidurlah sayang, aku hanyalah pengusik kecil yang menjadikan lelapmu sebagai kesetiaan. Kan ku jaga hingga kau terjaga.
Mimpilah sayang, biarkan sunyi menjadi rahasia kita. Ambang batas antara rindu yang meresah dan tidurmu yang tak tergoyah.