Bukan karena itu

Yang menyakitkan bukan terluka karena mencintai orang yang tidak baik,

Tapi terluka karena diberi jaminan kenyamanan dan setelah merasa nyaman dihancurkan begitu saja.
Yang menyakitkan bukan kehilangan,

Tapi sakit karena kebohongan serta dianggap sebagai sampah yang begitu saja dibuang dan dipermainkan.
Yang menyakitkan bukan karena cinta yang hancur,

Tapi kehancuran yang sengaja tanpa sedikitpun rasa melihat kesetiaan.

Konflik


Konflik, benang kusut, masalah yang tidak ada hentinya. Biasa akan terjadi dalam hubungan cinta. Namun, konflik yang tak kunjung ada penyelesaian adalah cara halus untuk memberi isyarat jika hubungan itu yang harus diselesaikan.

Ada jalan penyelesaian lebih baik tapi dengan berbagai alasan tak ingin menggunakannya. Jelas sekali justru menyelesaikan konflik bukanlah tujuan utama.

Pada suatu kondisi, seseorang yang memilih mengakhiri hubungannya bukan berarti dia tidak terluka. Namun, justru bisa jadi dialah yang terluka parah dan menyudahi itu.

Playing victim “aku yang ditinggalkan kok” tidak harus dilihat dari satu arah saja. Dan tidak semua yang ditinggalkan adalah benar pihak yang menjadi begitu terluka.

Bagaimana jika ia sengaja menciptakan kondisi sangat tidak nyaman. Sengaja membuat luka-luka agar berada dalam pandangan aman dengan hasil ditinggalkan oleh kekasihnya dan menjadi seolah merana dengan “Aku yang ditinggalkan kok”

Membuat kondisi tak nyaman begitu mudah. Bahkan analoginya, hal kecil seperti tak nyaman dengan menggunakan baju biru bisa menjadi konflik.

Semua akan terutai, semua akan terlihat polanya ya dengan melepas dan keluar dari suasana yang tak nyaman itu. Sebab apa-apa saja yang menjadi masalah akan tidak lagi keruh setelah hubungan itu berakhir. Baju biru justu akan sering digunakan ketika hubungan berakhir. Kenapa? Tentu karena itu hanyalah cara yang digunakan untuk membuat suasana tidak nyaman. Untuk menutupi apa yang selama ini disembunyikan dan untuk “aku yang diputusi kok”.

Membaca arah sebagian hati


Jangan pernah memberi jalan seseorang untuk masuk ke dalam hatimu jika hanya untuk menyakitinya



“Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu”

Sesungguhnya tidak ada luka yang tergores tanpa ketidak sengajaan terlebih perkara hati. Ketika memasukan seseorang dan menawarkan tempat nyaman apakah kau juga tau jika bukan hanya hatinya tapi juga hidupnya turut masuk ke dalam.

Ketika seseorang mencintaimu, apakah kau tau dia berusaha menjaga agar kau tidak terluka sedikitpun. Namun, terkadang tidak semua orang tau betapa sucinya cinta dari seorang kekasih.
Kau bisa merasakan dia sebegitu besar memberikan cintanya, kau bisa memegang kepercayaannya penuh tapi kau tak akan pernah tau bagaimana caranya mengobati luka ketika itu tergores. Kecil katamu, dalam baginya.

Ketika ia menangis hingga lelah yang tak jua membuatnya tertidur pulas. 
Ketika ia terbangun setiap malam hanya karena himpitan rasa sesak. Ketika ia mengutuk kebodohannya sendiri karena membiarkan luka itu tetap tertelan. Tidak, bukan ia tidak tau hanya saja mungkin itu adalah caranya untuk membuang rasa kecewa.

Tidak ada yang pernah mengerti bagaimana caranya membuang jauh rasa sesak. Seolah airmata tak juga mampu membasuh luka. Seolah apa-apa saja yang ia lakukan tak juga menghilangkan resah.

Menyatukan hati yang pernah terbelah, dengan kepercayaan, dengan keyakinan jika masa kini jauh lebih baik dari lalu. Ia menjatuhkan hati padamu, untukmu yang hanya memegang setengahnya saja. Selebihnya? Terjatuh hingga lantai dengan sadar terinjak kepalsuan. Terbelah? Tentu tidak!. Sebab berkeping jauh lebih pantas disebut.

Sungguh betapa perihnya ketika harus merekatkan kembali hati yang terbelah kemudian berkeping. Tidak mudah, akan banyak air mata, akan banyak sesak dan akan banyak kebahagian terbunuh luka.

Ia tidak patah hati, tapi ia patah hati dan kehilangan semestanya.
Sungguh betapa agungnya ketika tak menyimpan rasa benci, sebab ujarnya

“Sudahi saja dan aku akan baik-baik saja tinimbang kau simpan hati lain yang justru akan menyiksaku jauh lebih hebat. Sebab akulah selama ini kisah terdekatmu dan aku pula yang paling mahir membaca arah sebagian hatimu yang tak lagi untukku. Tiada dendam, tiada sumpah serapah ataupun menyebar kabar. Sebab cinta tak utuh hanya akan membuatku semakin menderita dan kabar luka hanya mencoreng ketulusan yang pernah ku umbar. Biarkan senyap, biarkan menguap hingga aku lelah terluka dan mengobatinya sendiri.”

Berdirilah atas nama kejujuran untuk kesempatan kedua. Barangkali hati yang terluka mampu tersapu oleh saling memperbaiki, saling mengisi serta saling membuka mistery yang menjadi selimut untuk kisah lain. 
Jatuh cintalah kembali, tidak ada yang salah dengan saling memperbaiki, menyembuhkan.

Jika kamu tau caramu memberi jalan untuk ia masuk dan menanamkan cinta, mestinya kaupun juga tau caramu untuk menyudahi usikan dan membuat cinta itu kembali.



“Aku akan melengkapi bagian yang kurang, dan aku akan menyulam bagian yang rusak. Cinta bukan semata perkara rona merah tapi juga menjaga dan merawatnya.”

*ditulis untuk seorang teman yang mencoba untuk kembali saling menyembuhkan dengan cinta.

Hujan deras dan kopi


Dia datang, membawa sebentuk hati yang baru. Dengan ucapan “hati ini pernah hancur, sakit. Tapi aku jatuh cinta denganmu adalah penyembuhan. Mau kah kau menjaga dan ku serahkan seluruhnya”

“Kesetiaanku jaminannya, menjauhkan dari segala hal yang bisa merusak kita adalah caraku”

Kemudian pintu itu terbuka.
Dia datang dengan permisi dan masuk dengan kebahagiaan. Dengan segala hal yang ia bawa menciptakan kenyamanan.
Bahkan kerap ia tak peduli dengan dirinya sendiri hanya untuk memberi kebahagiaan kepada cinta baru.

Ia datang seperti kebun bunga, wangi penuh warna dan tak pernah kosong.
Ketulusannya, kesabarannya juga keinginannya untuk tidak menyakiti adalah caranya memberi kasih sayang. Sebab ia tau bagaimana rasanya luka.
Ia dipenuhi dengan kesederhanaan juga pelukan yang tak ragu.

Ia bernegosiasi dengan semesta ketika kekasihnya menginginkan hujan, sebab tangannya terbatas untuk menciptakan hujan.

Ia memuja langit yang memberi senja hanya karena menyuguhkan jingga yang menyunggingkan senyum di bibir kekasihnya.

Ia tak menyukai kopi namun selalu ingin menjadi kopi yang menghadirkan ketenangan bagi kekasihnya. Kopi yang tak pernah munafik menutupi rasa pahit, kopi yang tak malu dengan hitamnya. Kopi yang seperti apa adanya.

Ia tak pandai bicara, ia tak mampu mengucapkan alibi ataupun logika. Ia hanya bisa meluapkan keresahan dan mampu lesap begitu saja, semudah oase menyirami dahaga.

Ia selalu belajar menanamkan rasa percaya untuk memberikan hatinya penuh. Sebab ia tak ingin meragu barang sedikit. Caranya menepis dengan mengutarakan dan tak menyimpannya hingga membusuk lama.

“Aku tak pernah memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dalam jangka waktu yang singkat. Sebab itu aku kerap menghindari hal yang melahirkan masalah.” Ucap kekasihnya.

Ia tersenyum, mendapat garansi hatinya terjaga untuk kesekian kali dari orang yang ia puja.

Ia selalu merawat dan memberikan yang terbaik untuk menjaga hati yang ada padanya. Hati kekasihnya.

Ia bukan seorang perindu yang baik, sebab rindu membuatnya menarik sang kekasih kedalam bunga tidur tanpa permisi.

Ia juga memiliki kepekaan yang jauh lebih sadis. Hal yang membuatnya untuk selalu bertanya dan mengisi kebenaran sebagai penetral paling ampuh.

Ia yang penuh harapan untuk memperbaiki bagian rusak, penuh ketulusan dan kepercayaan yang tak terkikis sedikitpun berusaha untuk mempertebal cinta mengobati rindu.

Seketika terjatuh, seketika dadanya begitu sesak. Sesuatu yang nyeri menghujam logikanya untuk bersenandung rintih. Jauh lebih dari sebelumnya.

Ada hujan deras, di sudut matanya.

“Demi kekasihku yang menyukai hujan dan kopi. Sebab aku tak ingin kisahku sepahit kopi serta hujan yang tak pernah berhenti di sudut mataku. Bahkan, ketika aku terbangun dari tidur malam menghadirkan pekat seperti kopi. Masih saja perih menyesakkan, menurunkan hujan lagi, sampai pagi ini”. Ucapnya penuh sesak.