Suatu ketika, hiduplah seorang penulis yang sebenernya bukan bener-bener penulis.
Ia hanya pengembara dari aksara ke aksara. Pemulung dari kata ke kata. Pemimpi dari angan ke angan.
Kemudian ia jatuh cinta kepada seseorang. Untuk mempercepat konten tulisan hingga cerita ini dibuat juga dengan alur yang cepat.
Penulis tersebut kemudian membuat buku, untuk merayakan kebahagiaan memiliki pacar baru. Buku yang digadang sebagai pondasi masa depannya. Tak lain adalah buku tabungan.
Mereka menjalin hubungan kasih dengan cara yang sedikit baik dan sedikit benar. Sebab sisanya diisi dengan sedikit memberi motifasi kepada penulis itu untuk benar-benar menerbitkan buku.
Sebab buku pertama tersebut tak kunjung ada. Mengingat modal pacaran yang cukup menguras gaji yang hanya nongol sementara kemudian lenyap. Ia tak sedih, justru ia bahagia.
Untuk kelangsungan hidupnya, untuk mempererat tali kasih kemudian penulis itu memiliki gagasan, ide brilian untuk menerbitkan buku yang jauh lebih hebat. Bahkan penulis besarpun belum semua bisa menerbitkan buku ini.
Nantinya buku ini akan ia dedikasikan untuk kekasihnya tercinta. Tak lain, ia akan menerbitkan buku nikah.
Kebahagiaan meletup-letup bak kuali gudeg yang masih panas. Seolah dunia milik mereka berdua, yang lain pindah ke mars nanam kentang.
Seolah ia lah penulis termasyur di gang sempit rumahnya. Ia bahagia, sangat. Ia pun tertawa selalu.
Beberapa hari kemudian, ia mendapati petir di siang bolong. Terkuaklah kekasihnya yang mendua. Hatinya sangat hancur remuk bak ciki taro. Krenyes-krenyes terinjak-injak.
Harapan buku kedua kandas begitu saja sama halnya dengan buku pertama. Ia ingin sekali keluar dari rasa sakit dan menyudahi semua. Dan akhirnya untuk menutup luka, ia menerbitkan buku yasin.
Rencana hanya tinggal rencana, ia tak mampu menerbitian buku ketiga karena jangankan menulis, membaca yasinpun ia tak kuasa.
-tamat-