
Satu helaan nafas panjang,
Setelah beberapa hari disibukan dengan kerjaan, projek nulis yang bahkan belum 50% juga perkara riuh-riuh lainnya.
Terkadang aku ingin menuliskan semua di sini, agar karyaku tak rancu dengan sekedar isi curahan hati.
Begitu riuh, isi kepalaku.
Entah benar atau tidak cara yang ku gunakan selama ini tapi yang jelas aku sudah berlari cukup jauh dan sangat jauh.
Dia datang menyapa dengan luka dan lebam yang akupun tak tau jauh lebih buruk atau tidak daripada aku yang kala itu terluka olehnya.
Aku sudah berlari jauh dan sangat jauh. Bahkan untuk sekedar mendengar perihnyapun seolah enggan melakukan.
Bukan, bukan berhenti untuk peduli. Bukan juga bersikap terlalu membentengi diri.
Hanya saja aku merasa semua tak adil, dia tak pernah ada ketika aku menangis terisak untuk caranya meninggalkanku. Hanya untuk masa lalu. Itu yang pertama.
Dan bahkan iapun tak pernah ada ketika aku menjerit perih atas pernikahannya yang begitu sempurna menusuk tepat pada hati juga jiwaku.
Aku melepas dan bangkit tertatih tanpa dia, tanpa dia yang pernah ku cintai dengan begitu hebatnya.
Aku terluka dan sangat amat terluka tanpa pernah lagi sedikitpun ia peduli.
Kini, ia datang bersimbah luka.
Maaf, aku hanya akan ada untuk semua kerumitan yang tak berbicara tentang hati.
Aku sudah pernah ada dua kali di hatimu. Dan takkan pernah ku biarkan hatiku kembali memasuki luka untuk ketiga kalinya.
Maaf, peduliku hanyalah sebatas teman, biasa. Tak lebih, dan takkan pernah lebih.
Walaupun dulu pernah sebegitu dalamnya rasaku.
Semua sudah ku hapus. Pun dengan amarah serta tiada penyesalan atas apa yang sudah terjadi.
“Aku tak punya siapa-siapa lagi selain kamu”
“Aku ada untuk mendengarkanmu, tapi tidak untuk perkara hati.”