Ini yang baru saja saya baca sebelum menulis blog.
Hanya dari ulasan tersebut tiba-tiba saya merindukan gaya menulis saya yang konvensional.
Walaupun sudah banyak menulis cerpen saya masih terus belajar untuk menjadi benar-benar seorang cerpenis.
Bermula dari kecintaan saya terhadap seni drama. Bisa dianggap saya belajar sudah tertinggal jauh, tepatnya saat SLTA. Saya begitu tertarik dengan dunia teater. Bahkan setelah lulus saya masih mengasah kemampuan seni pertunjukan itu di kampus. Dan saya juga menjadi salah satu penulis naskah juga pelatih (sekaligus penggarap di SLTA favorit kota Banjarbaru.
Lumayan bertahan lama, bahkan sampai saya masuk dunia kerja juga masih menjadi pelatih di sana.
Sembari itu saya menggeluti puisi, hanya sebagai konsumsi pribadi juga teman-teman dekat. Beberapa buku tebal berisi banyak tulisan saya dan teman-teman. Juga fase tersebut masih saya jalani ketika awal mula membikin twitter.
Sampai akhirnya saya mengenal tulisan bernama cerita pendek (cerpen). Fase yang sama saya menulis cerpen hanya untuk lingkup pribadi dan isinya masih berisi curcol.
Akhirnya ada seorang (mantan) pacar yang selalu minta saya untuk memasukan cerpen saya dalam lomba karna dia pikir karya saya pantas untuk diikut sertakan. Tidak hanya sekali, tapi dia selalu membujuk dan saya selalu menolak dengan alasan kurang percaya diri.
Saya sempat memasuki fase menggilai novel dan membeli beberapa novel (yang sudah saya hibahkan), tapi memang saya kurang menyukai tulisan panjang.
Saya mudah bosan, itu sebabnya saya bukan penggemar novel.
Demikian alasan utama saya. Walaupun saya memang membaca novel karya Haruki Murakami, Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, Sapardi Djoko Damono juga beberapa penulis pemula saat itu.
Untuk urusan cerpen saya juga melahap kumcer dari berbagai tipe penulis. Dari pemula, senior hingga maestro. Saya mencoba menemukan mana yang sangat saya gemari. Sebab cerpen memili banyak sekali ragam warna.
Jatulah pilihan saya pada cerpen-cerpen konvensional. Gaya menulis saya juga cenderung ke arah konvensional. Hanya saja ilmu saya masih minim untuk belajar menggabungkan unsur-unsur lain. Saya menulis selugasnya cerpen konvensional.
Untuk cerpen nuansa metropop, tentu lahir anak saya berjudul RENJANA. Saat menciptakannya sayapun tidak ingin ia terlahir dalam bentuk hanya kisah-kisah cinta biasa. Saya memasukan berbagai pengetahuan kecil dengan gaya penulisan unik setiap bagian cerpennya.
Jujur, saat itu memang saya tertantang untuk menulis cerpen metro yang manis. Penerimaan pembaca yang sangat saya tidak duga, di atas prediksi awal. Bahkan Renjana terpilih dalam kumcer terbaik dan mendapat penerbitan gratis dari indi, Alhamdulillah.
Saat inipun saya sedang menyiapkan satu kumcer metro (lagi) yang masih belum juga rampung. Mohon doanya agar saya bisa mengerjakan dengan maksimal.
Baik, kembali ke topik awal. Membaca epilog Maman S Mahayana Potret Indonesia dalam Cerpen, membuat saya merindukan kekonvensionalan saya,
Barangkali, setelah satu buku yang saya kerjakan ini usai maka saya akan menulis lagi cerpen-cerpen konvensional. Saat ini saya akan memperdalam ilmu dengan belajar dan terus mencari tau perihal cerpen-cerpen konvensional.
Lain kali akan saya bahas personal tips yang saya gunakan dalam menulis cerpen. Hanya saya gunakan pada diri saya tentunya. Salah satunya kenapa karya saya tidak banyak kata-kata yang nyastra. Dan teknik-teknik ‘jangan bolong logika’.
Tolong ingatkan untuk menuliskannya 🙂
Bagilah ilmumu maka semesta akan memudahkan kamu untuk mendapat ilmu-ilmu baru.
Kata-kata tersebut adalah hasil chit chat saya bersama salah satu selebtweet yang akan meluncurkan kumcer di bulan ini. Bahkan secara tidak sengaja kumcernya pun berjudul kata renjana, namun ia revisi karena banyak pertimbangan salah satunya karena buku saya sudah terbit terlebih dahulu dengan kata tersebut.
Saya ataupun dia, kami sama-sama memulai dari bawah. Bedanya dia memiliki banyak support keistimewaan lain.
Terimakasih banyak.
Aufa.