Dua tahun merayakan 14 Mei bersamamu.
Selamat ulangtahun, semoga kebahagiaan terlimpah untukmu. Semoga Tuhan menjauhkan apa-apa yang tidak bahagia untukmu.
Aku masih ingat tahun pertama mengirimkan 1 set buku bumi manusia sebagai hadiah ulangtahun.
Mengunjungi mu dari Kalimantan ke Sumatra bukan perjuangan sederhana. Harus melewati transit Jakarta menunggu beberapa jam. Hal paling aku tidak suka berada dalam pesawat yang membosankan. Itu semua bukan hal yang membuatku berhenti untuk berjuang.
Bersama denganmu menghabiskan banyak waktu adalah hal yang sangat membahagiakan untukku. Berkali-kali kau pernah mengatakan tidak pernah merasakan cinta seperti yang kau rasakan padaku.
Masih ku ingat jelas kita hanya bertemu saat sarapan bersama kemudian kamu harus segera kerja pagi sekali.
Aku tak kehabisan ide, setiap pagi selalu olahraga melintasi tempatmu bekerja, rumah sakit swasta terbesar di sumbar.
Aku tak pernah mengeluh setiap hari keberadaanku di Sumbar hanya memiliki sedikit waktu bertemu denganmu. Menunggumu pulang di cafe rumah sakit, melihatmu tersenyum dengan pakaian dinas. Mendengarmu berbincang ramah dengan para pasien.
Aku pernah secinta itu denganmu. Aku pernah sebahagia itu bersamamu.
Tahun berikutnya sengaja ku lewatkan bersamamu bahkan sebelum 14 Mei sudah ku langkahkan kaki di Sumbar. Menyiapkan kejutan sederhana. Mencari birthday cake yang aku benar-benar tidak pernah tau arah kotamu.
Birthday cake yang baru bisa kau tiup lilin ketika malam hari, sebab harimu tersita untuk pekerjaan. Tahun itu, justru aku yang mendapat kejutan, perihal pernikahanmu.
Ada sesak, ada sakit ada nyeri yang tak tertahankan. Ada tangis, ada luka ada kata yang sudah tak bisa dinegosiasi. Rencana pernikahanmu dengan orang yang sudah dipilihkan keluarga besarmu.
Seolah aku menyerahkan hati untuk terluka jauh lebih dalam tahun itu, hari ulangtahunmu.
Seolah aku sengaja ingin melihat kau tusukkan belati itu secara langsung tepat di hatiku.
Aku membawa hatiku yang terluka beberapa hari menjauh darimu, di hari lamaranmu, hari dimana kakiku berada di kotamu.
Patah hati tersakit yang pernah aku rasakan. Perihku menjerit tanpa ampun. Aku seorang kekasih yang tiba di Sumatra kotamu dan ternyata hari itu adalah hari istimewa (lamaran)mu.
Aku tak hanya menangis, sayang. Aku melihat hatiku berkeping perih. Aku pulang dengan airmata meninggalkan kotamu. Aku pulang dengan luka yang sulit untuk pulih.
Kau tak ada ketika aku terpuruk menjerit perih, kau ada hanya untuk “kamu bisa dapat yang lebih baik dari aku.”
Atas nama hatiku yang terluka aku berjanji saat itu akan segera bangkit dan mendapatkan yang lebih baik darimu, dengan tertatih.
Aku berjanji untuk bahagia seperti kebahagiaan-kebahagiaan mu.
Aku berjanji untuk tidak membiarkan hatiku sedikitpun mengingat luka perihal pernikahanmu.
Aku berjanji untuk ikhlas.
Dan, aku capai semua itu.
Hari ini, hari dimana aku pernah menangis. Hari ini hari kebahagiaanmu dan saat menulis ini aku tersenyum mengingat sebegitu besarnya aku pernah mencintai juga pernah patah sepatah-patahnya.
Tahun ini kau kembali hadir dengan cerita jika perjodohan tak selalu bisa berjalan seperti harapan keluargamu.
Tetaplah berjuang untuk masa depanmu. Tetaplah berdiri dengan kakimu.
Dengarlah, jika aku pernah bangkit dan berdiri sendiri ketika terpuruk dengan pernikahanmu. Maka kaupun bisa bangkit dari keterpurukan itu.
Kau seorang anak yang patuh terhadap aturan adat keluarga. Kau yang tak pernah ingin melihat keluargamu merasa tak nyaman. Kau yang mengajari ku tentang lebih dalam mengerti agama. Kau dengan isi kepalamu kerap menjelaskan perihal penyakit-penyakit yang ingin ku mengerti. Kau dengan bibir lembutmu.
Terimaksih sudah pernah ada, terimakasih kita pernah bahagia bersama. Saling menjaga dan menertawakan hal-hal bodoh bersama. Terimakasih untuk cintamu yang juga sebegitu besarnya.
Selamat ulangtahun. Semoga Allah selalu menjagamu.