Mestakung adalah sebaik-baiknya doa.
Maka hadirlah aku di hadapan dirinya malam itu di Gubeng. Tidak sia-sia setelah menempuh 5 jam perjalanan dari kota Solo.
Kami bersama-sama berusaha untuk saling menemukan ketika berada di Gubeng. Permainan kecil yang sengaja kami bikin untuk pertemuan pertama ini. Jelas, ia lebih mudah menemukanku daripada aku yang sedikit tersesat di antara kerumunan penumpang lain.
Aku tak menyangka begitu mudah ia menghangatkan suasana. Caranya memulai pembicaraan kami yang aku terpaku dalam kegugupan. Perhatiannya yang membawakan barang bawaanku hingga ia memilihkan tempat makan dengan berkali-kali menanyakan apa yang ku pilih. Walaupun, sesampainya di tempat makan ia harus repot mencarikan kecap sebagai penawar dari rasa pedas kapulaga dalam kuah sup yang ku makan.
Bagaimana bisa aku tidak bertekuk lutut pada dirinya ketika ia memperlihatkan caranya memperlakukan seseorang yang ia cintai. Tidak terlihat jarak kedekatan kami, tidak ada batasan antara komunikasi kami.
Aku tau kita pernah sama-sama jatuh pada pengalaman masa lalu, kami pernah terluka begitu perih hingga dengan cara sederhana saling menemukan.
Jangan pernah berpikir hal-hal buruk yang belum tentu terjadi, pikirkan saja hal-hal baik, supaya kita juga dikasih yang baik-baik — ucapnya.
Ia memberikan apapun yang ku butuhkan bahkan hal-hal yang tak sempat ku pikirkn detail. Ia bahkan membelikan keperluan-keperluan untuk menunjang penampilanku. “Marketing harus benar-benar dijaga ya, alerginya diobatin nanti, jerawatnya juga jangan lupa cuci muka terus.” Ya, seperti itu adanya. Sebab katanya “Duniamu itu seperti di pekerjaan kamu, bahkan aku tergeser dari itu. Caramu menceritakan masalah kerjaan selalu semangat.” Ia memberikan support dari segala hal.
Ia yang selalu bawel mengingatkan mengingatkan membeli vitamin. Krim bibir bahkan juga keperluan-keperluan pekerjaan.
Katanya “Bersama denganmu aku merasa nyaman, belum pernah seperti ini dengan sebelum-sebelumnya, itu sebabnya aku bisa menjadi diriku sendiri di depan kamu tanpa merasa jaim.”
Akupun merasakan hal yang sama, hanya kepadanya aku bisa semudah itu bercerita masalah pekerjaan (dan di dengar), bercerita hal-hal yang tak penting, juga berbicara tentang mimpi-mimpi.
Ia tak pernah membirkanku membawa barang belanjaan seorang diri, bagian terberat pasti ia yang mengambil alih. Sedangkan dompet dan ponsel miliknya selalu berada di tanganku. Aku memiliki paswot ponselnya, tapi dengan itu bukan berarti aku berani membongkar isi ponsel dan dompetnya.
Begitulah caraku menjaga privasinya hanya membuka waze, dan begitulah caraku memberi kepercayaan kepadanya. Tidak semua hal harus terus diawasi, percayalah jika ia memang cinta maka bersetia adalah salah satu wujud.
“Kiss me baby” katanya ketika kami menembus kemacetan kota.
“Kamu lembut banget sih sayang” katanya ketika aku berada dalam pelukannya.
“Kamu ko liatin aku kek mau bunuh gitu sih hahaha…” katanya ketika dia salah tingkah sebab pandanganku hanya tertuju padanya.
“Manja banget sih, sayang” katanya ketika aku merengek meminta sesuatu padanya.
“Bien tangannya berbulu kek gorila” katanya yang spontan membuatku tertawa.
Ia selalu menjaga apapun yang ku berikan padanya. Ia menjaga Snow boneka putih yang bahkan lebih baik dariku. Ia selalu menjaga Snow agar tetap bersih dan wangi.
Aku tak memberinya izin untuk memelihara kucing.
Aku melarang ia untuk mengenakan lagi sweater yang pernah ia kenakan ketika menjemputku di Gubeng.
Aku yang sangat melarangnya untuk memaki ketika dalam kemacetan jalanan.
Aku tak pernah mengizinkannya untuk membeli barang-barang sebelum benar-bener ia perlukan.
Aku yang begitu banyak larangan dan ia yang hanya dengan 1 larangan jangan selingkuh. Namun, ia tetap menggandeng tanganku penuh cinta. Ia tetap ada bersamaku, untukku.
Untuknya ku tulis ini, untuknya ku curahkan segala hatiku. Untuknya yang ku temukan dengan mestakung.
Kami pernah berada pada masa kritis dan kami sekarang saling memiliki dengan Mestakung (semesta mendukung).