Dialah Renjanaku

Pic from google


“Cinta bukan hadiah, cinta bukan pula barang yang ditemukan. Namun, cinta adalah rasa yang lahir dari hati”
Begitu! Wacana yang pernah saya tulis dalam linimasa.

Terkadang memang lebih gampang menulisnya daripada menjalani. Namun, terkadang kita tidak akan pernah tau jika tidak membaca dari tulisan seseorang.
Ada yang mudah jatuh cinta, bagai membalik telapak tangan.

Ada yang mudah mengucap cinta, bagai gombalan basi yang kerap diberikan kepada dia, dia dan dia yang lain.
Sayangnya, untuk satu ini saya tidak mudah melakukannya.

Bagaimana bisa saya berusaha untuk tidak jatuh cinta sebab ketakutan atas luka lama kerap membayangi, lagi dan lagi.

Untuk yang satu itu, saya sudah pernah berada di sana. Caranya adalah kebodohan saya untuk mengenalkannya dengan orang lain yang memang “pantas” untuknya.

Bahagia? Eeemm…. ntahlah. Sebab satu bagian dari saya merasa begitu sesak akan tetapi sisi lain saya tersenyum melihanya begitu antusias untuk mencoba.

Kedua kalinya saya meragu. Sebab saya tak ingin membiarkan cinta terjatuh pada hati yang tak utuh. Saya hanya menginginkan ia tersenyum, ia bahagia dengan orang yang lagi-lagi memang “pantas”.

Dan, saat itu dia hadir dengan satu pertanyaan “Kenapa aku harus dengan orang lain jika aku maunya sama kamu”, saya hanya tersenyum.

Masih seperti hal yang terdengar sebagai suatu kalimat saja. Tidak ada isi sama sekali.

Saya hanya mengutarakan bagaimana luka pernah menghancurkan rasa percaya diri saya, bagaimana luka pernah mencabik saya hingga buas. Luka hadir tidak hany dengan pengkhianatan namun juga dusta serta kemasan janji manis seolah ia memang diciptakan untuk mempermainkan tulusnya cinta.

Lagi, dia hadir tidak hanya dengan kalimat kosong, tapi dia “Aku tuh sayangnya sama kamu, aku tau bahkan kamu gak pernah bilang sayang jika tidak aku yang mulai. Aku tidak memaksa jika harus dengan cara yang pelan ya kita jalani dan aku akan tunjukan itu”.


Runtuh, tembok tinggi yang selama ini saya bangun.

Hangat, caranya mendekap untuk  gigil nyeriku.

Lembut, menutup lubang-lubang hati.

Riuh, tawanya mengisi kekosongan yang selama ini hanya terbelenggu ego untuk tidak mengakui sebuah rasa.

Ia hadir tepat di tengah keraguan saya. Ia berdiri di sana merentangkan tangan dan menyebut nama Tuhan untuk mensyukuri pertemuan.


Untuk pertanyaan “kenapa dia?”
Karena

Dia menunjukkan, tidak hanya mengatakan.
Dia berjuang, dia meyakinkan, dia penuh kesabaran dan semoga dia 

Dialah Renjanaku

2 thoughts on “Dialah Renjanaku

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *