Yang membuat tersadar adalah bukan ketakutan untuk kehilangan, tapi rasa takut jika tak cukup mampu membahagiakan.
Bahkan jika ia lebih bahagia tanpa kehadiranmu, tanpa banyak pertimbangan sebaiknya bersiap untuk pergi dengan kesadaran tanpa satu alasan untuk bertahan.
Percayalah, melihat seseorang yang kita cintai tidak bahagia dengan orang lain itu sangat menyakitkan tapi akan lebih menyakitkan jika mendapati kenyataan ia tidak bahagia bersama kita.
Jika benar cinta itu perihal memberi tanpa menuntut untuk menerima, lantas bagaimana seorang Romeo memilih menenggak racun ketika Juliet sudah tak bernyawa. Lantas bagaimana pula seorang Rahwana menunggu hingga 12 purnama demi mendapatkan sebuah jawaban balasan cinta dari Shinta.
Bukankah Romeo ataupun Rahwana telah memberikan segala yang ia punya, tetap saja untuk sebagian orang (atau bahkan raksasa) memerlukan balasan cinta dan keberadaan orang yang ia cintai.
Sebuah kesabaran untuk meluluhkan hati seseorang dengan ketulusan cinta, dengan apa yang disebut sebagai perjuangan kadang menjadi rancu dengan anggapan hanya sebatas obsesi.
Mengapa harus takut dikatakan sebuah obsesi jika yang kamu perjuangkan adalah perihal ketulusan cintamu, perihal keinginanmu untuk memiliki orang yang kamu cintai.
Selama caramu tidak mengusik, selama yang kau berikan tidak untuk memaksakan dan selama tidak membuatnya terluka. Dan tidak menggunakan arogansi.
Jika memulai dengan cara yang baik dan tanpa sedikitpun niat untuk melulai maka pencipta semesta akan memberikan banyak kebaikan. Begitu juga sebaliknya, jika menyimpan niat ataupun hal yang tak baik maka pencipta semesta akan mengutus karma untuk menamparmu lebih keras. Jangan menantang karma, sebab ia mampu menjelma sebagai hal yang jauh lebih menyakitkan.
Jika ia tak mampu merasakan getaran cinta, jika ia tak selalu mencarimu, jika ia tak sebahagia itu, jika ia kerap merasa jenuh, jika ia masih tak pernah merindukanmu. Jika hubungan yang kalian miliki lebih pantas hanya sebagai pertemanan biasa. Cinta itu berupa letupan-letupan kecil, kegemasan-kegemasan yang alami, greget-greget yang hanya bisa didefinisikan dalam kedekatan hubungan.
Bukan ia, tapi kamulah yang salah. Kamu yang harus kembali menyadari jika keberadaanmu tak bisa mampu membuatnya merasa nyaman.
Menyerah sebab kecewa, itu wajar. Menjadi tidak wajar jika kamu terus memaksanya untuk tetap bersama denganmu.
Cinta bukan sekedar “memberi tanpa menuntut menerima” tapi cinta juga memiliki esensi perjuangan untuk memiliki dan membahagiakan orang yang kita cintai.
Sedangkan perjuangan memiliki batasan waktu. Bukan untuk membatasi sebuah pembuktian namun untuk menyadarkan jika mungkin bukan kamu orangnya.
Sampai kamu sendiri yang merasa lelah, sampai kamu sendiri yang berjanji pada hatimu untuk tidak lagi mencoba pada lintasan yang sama. Sampai habis dayamu. Sampai tak peduli lagi semua tentang dia, perjuangan yang sudah ataupun tentang kekalahan.
Ketika aku bersedia melakukan apapun untuk membuatnya bahagia. Ketika itu pula tetaplah berdiri di sana selama ia tak memintamu untuk pergi. Selama ia masih ingin kau berada di dekatnya. Barangkali ia hanya butuh waktu, selain butuh kamu.
Selebihnya kenali hatimu jauh lebih dalam. Jika bukan dirimu siapa lagi yang mampu mengerti hatimu sendiri.