” Apa kabar daffa ? “
Kata itu yang pertama ku dengar ketika sore ini menjumpaimu di salah satu coffee shop favorit kita yang terletak di lantai dua sebuah mall, nampaknya coffee shop ini mulai marak bagaikan cendawan di musim hujan. Hanya terdapat beberapa pengunjung sore ini, selain pasangan remaja menggenakan jaket couple yang sedang berbincang di sisi kanan dan juga kawanan pemuda yang sibuk dengan gadget mereka di sisi pintu masuk, sungguh teknologi yang membatasi komunikasi dengan dunia nyata, saling kenal namun tampak asing satu dengab yabg lain. Serta tak luput para eksekutif muda di beberapa meja lain. Hujan sedari tadi mengguyur tanah kering, meja bundar kecil di balik dinding kaca yang bersentuhan langsung dengan udara luar menciptakan embun basah. Ku alihkan tatapan mata pada jemari kecil tangan mu, bergerak menggabungkan aksara DAFFA. Bening bola matamu menatap kosong aksara yang kau toreh, rambut hitam panjang yang selalu kau ikat layaknya ekor kuda, dengan balutan jaket hitam yang pas di badan, jam tangan gucci silver selalu kau kenakan di pergelangan tangan. Merah jambu bibir mu sungguh karya Tuhan paling indah senada dengan putih bersih kulit tubuh mu.
Kepulan asap belum habis di cangkir keramik putih yang bahkan coklat panas di dalamnya pun tak kau sentuhkan juga dengan indera pengecap, iya kamu adalah yang mengganti segelas kopi dengan coklat panas setelah berulang kali mendengar larangan ku jika kopi hanya menimbulkan efek kurang bagus untuk kesehatan asam lambung mu. Entah karena rasa sayang terhadap kesehatan mu atau karena kepatuhan mu kepada ku, aku tak tau, yang aku tau jika aku senang kala kamu mulai mendengarkan ku. seperti halnya cinta yang mengharamkan kata ‘tidak’ ketika permintaan terucap. Walapun bukan kopi dan hanya coklat panas untuk mu tetap saja kau selalu menggandeng tangan ku untuk mengajak “ngopi” setibanya aku dari bandara untuk menjumpai mu. Tidak terlalu sering memang tetapi beberapa barista pun hampir mengenali kita karna mungkin aku dan kamu selalu menjadi pusat perhatian dengan obrolan konyol dan tawa mu hingga meneteskan air mata setiap kali mendengarkan cerita konyol ku.
Cincin perak masih melingkar di jari kanan mu, cincin yang mirip seperti kepunyaan ku. Saat aku berjanji tidak akan pernah meninggalkan mu kau pun mengatakan jika tidak pernah kau rasakan cinta yang begitu besar selain bersama ku. Berbagai macam batu sandungan tak pernah kita lalui dengan mudah memang tetapi selalu ada kita yang akan saling melengkapi dan mengisi. Kota yang berbeda selalu takluk dengan rutinitas telpon dua kali sehari ataupun debar di dada setiap kali melihat mu menjemput ku di pintu kedatangan bandara, dua bulan sekali setidaknya. Saat inipun tatapan ku masih sama, aku melihat mu sebagai seorang revi khaif yang sedang jatuh cinta. Kata pujian bahkan tak pernah cukup melukiskan keindahan mu.
“ Revi khaif, awalnya aku ragu mengenai hubungan kita karna berbeda keyakinan tapi tak pernah bisa ku pungkiri jika kamulah perempuan yang selama ini aku inginkan, yang selalu ingin aku jaga. Walapun aku tau takkan pernah mudah jalannya dengan segala rintangan jarak dan harus back street dari orang tua kita, tapi terimakasih sayang sampai saat inipun kamu masih bersama ku “ ku genggam erat jemari tangannya. Kamu yang sedari tadi menerawang ke arah rintik hujan memalingkan wajah ke arah ku dan tersenyum melihat lebih jauh, ku palingkan tatapan mataku mengikuti garis pandang mu, ternyata terlihat pasangan berjaket couple sedang bercanda hingga menumpahkan gelas kopi di atas meja mereka. iya, kitapun pernah melakukan hal yang sama bukan?
Hujan masih juga belum berhenti, semakin derasnya hingga pertemuan ion negative dan positifnya menggelegarkan bunyi nyaring, aku menutup ke dua telingaku dengan telapak tangan ku, ketenanganmu masih seperti biasa, sambil mengaduk coklat yang sudah tidak panas lagi dengan sendok plastic kecil searah jarum jam yang bahkan lebih lamban dari jalan santai kawanan siput, kau hanya memejamkan mata sedetik ketika petir berikutnya tak kalah arogan, nampaknya zeus sedang murka.
“ apa kamu sekarang masih takut petir daffa ? “ Tanya mu, yang hanya ku jawab dengan anggukan pelan mengiyakan pertanyaannya. Aku tidak takut, ini hanya phobia ku terhadap petir, tapi kenapa petir kali ini berasa lebih menakutkan karna tak ada pelukanmu seperti biasanya ketika dia mulai menyapa. Alunan music di coffe shop, terdengar samar. Revi ku sayang, apa itu, kenapa hujan juga membasahi pelupuk mata mu, sejak kapan kau merasa sedih ketika mendengar petir, apakah petir juga melukai mu? Tidak mungkin itu air mata bahagia sedangkan aku tidak sedang bercanda ataupun mengeluarkan expresi konyol sedari tadi.
Kamu segalanya tak terpisah oleh waktu
Biarkan bumi menolak ku tetap cinta kamu
Biar mama mu tak suka, papa mu juga melarang
Walau dunia menolak, ku tak takut
Tetap ku katakan ku cinta diri mu
(Judika – mama papa larang )
“ daffa pulanglah, aku akan menjaga diriku dengan baik, kisah kita sudah usai, biarkan sekarang ak jalani semua, terimakasih sudah menjagaku selama ini. tunggu aku di sana “ mata beningmu menghamburkan air mata, mata mu memerah namun tubuh ku hanya terpaku, terasa dingin hingga jantungku, lidah ku kaku tak bersuara. Dengan kode dari mu datang seorang barista membawakan bill, dan kau mengeluarkan lembaran rupiah, walaupun tanpa melihat tagihannya kau sudah ingat berapa harga secangkir cokelat panas yang hingga dingin tak berkurang isinya sedikitpun.
“ mana masnya yang biasa menemani mbak ? “ Tanya barista itu sambil menerima beberapa lembar uang dari mu
“ meninggal tepat sebulan yang lalu, kecelakan waktu mau ke bandara nyamperin saya ke kota ini “ jawab mu
” maaf mba ” si barista itu menjawab perlahan
” tidak apa mas, saya ikhlaskan dia hari ini ” dengan senyuman singkat sebelum melangkahkan kaki meninggalkan barista, bukan itu saja, tapi juga meninggalkan aku melenyap di sini, perlahan sosok ku memudar dan melayang. Revi ku sayang, aku menunggu mu, aku akan selalu menunggu mu di rumah ku.