Huufff….. dengan perasaan jengkel aku membuka pintu kamar mess yang terletak di dekat pabrik tempat ku bekerja, mess ini terdiri dari beberapa kamar yang memang disiapkan oleh perusahaan untuk menunjang fasilitas tempat tinggal bagi beberapa karyawan, ini kali pertama aku memutuskan untuk meninggalkan rumah setelah berkali-kali pertengkaran dengan adik lelaki yang berakhir dengan pembelaan ibu jatuh di namanya. Lelah aku dengan suasana ketika tidak ada keadilan lagi, apakah mungkin hukum tak jelas jika seorang kakak harus selalu mengalah kepada adiknya juga berlaku, bagaimna dengan dikumpulan keluarga lain?, entah lah yang pasti hari ini kejengkelan ku di batas puncaknya.
Kasih sayang ibu sedari kecil tak pernah sepenuhnya aku rasakan, dulu ibu tidak pernah menanyakan kabar aku sepulang sekolah ataupun sekarang ibu juga tidak pernah memeluk disaat penatnya mengurus pekerjaan kantor. Iya, masalah di pabrik yang sering kali ada ancaman tindak kriminal seperti halnya ancaman yang bersentuhan dengan hukum atas sikap kecewa para karyawan menerima peraturan baru perihal penambahan jam kerja, yang tidak bisa menempatkan otak lebih dahulu dari pada otot. Walaupun hanya sekedar ancaman namun cukup membuat karyawan seperti aku untuk lebih waspada lagi. Tapi justru neraka dunia dan ancaman keselamatan justru aku temukan di rumah, yang kata mereka tidak ada tempat ternyaman selain rumah, tapi tidak berlaku untukku.
Semenjak kecil aku selalu membantu ibu memenuhi kebutuhan hidup seharu-hari, bangun kala mentari belum menyentuhkan raga pada bumi, yang bahkan sebagian besar anak seusiaku mungkin masih meringguk di dalam selimut tapi aku sudah membantu ibu menyiapkan dagangan. Hingga dewasa kinipun aku masih membantu ibu demi menjaga kepulan asap di dapur agar tetap hangat, oh bukan itu saja tentunya demi batangan rokok dan pulsa yang harus selalu terisi milik adik ku.
“ Berantem lagi dengan Wahyu? “ tiba-tiba Rosi temen satu kantor penghuni kamar sebelah yang sudah terbiasa mendengarkan keluhanku masuk ke dalam kamar sambil mengunyah keripik singkok dengan bungkus berwarna kuning yang masih ada di tanggannya. Rosi dan aku memiliki jabatan sama selevel supervisor beda shift kerja, dan memiliki keuntungan bisa menggunakan mess kapan saja.
“ iya, dan kali ini lebih parah dia mengambil jam tangan ku dari kamar dan menjualnya dengan menukar sebotol minuman keras, dia saat aku tanya dengan nada tinggi dia malah melemparkan asbak ke arahku, tapi yang sangat aku sesalkan lagi-lagi ibu membelanya “ jawab ku kesal.
“ kan semua masih bisa dibicarakan, pulanglah… kasian ibu mu tanpa kamu bagaimana beliau ke pasar membeli dagangan atau siapa lagi yang akan membantu setiap pagi ? “ nasehat rosi
“ ada saja anak ibu yang gagah dan tidak mau bekerja itu, ibu tidak pernah menyayangiku dan justru menyalahkanku dengan alasan aku tidak berhati-hati menaruhnya, lagian untuk apa terlalu ngoyo berjulan sedangkan kebutuhan harian ibu juga sudah aku penuhi, ibu bekerja banting tulang cuman untuk dikasih ke Wahyu saja “
“ Mira, tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya dan… “
“ udah ros, aku mau mandi dulu, aku masuk pagi kan hari ini “ belum juga Rosi menyelesaikan kalimatnya aku sudah memotong dan menenteng handuk putih masuk ke kamar mandi ujung kiri kamar berukuran 10 x 15 meter itu.
***
Dua hari sudah aku tak pulang ke rumah dan ironisnya ibu tidak juga mencari dengan cara menelpon atau mengirimkan pesan singkat, mungkin dengan kepergianku adalah cara terbaik menyudahi pertengkaran dan dengan begitu juga ibu tidak perlu memarahi atas kesalahan yang seharusnya bukan menjadi bagianku. Ku samarkan kepedihan pertengkaran terakhir kami dengan cara melarutkan dalam tumpukan pekerjaan kantor. Sambil meraih nasi bungkus yang selalu Rosi tinggalkan di gagang pintu kamar aku membuka pintu kamar dan menyantap sebungkus nasi dengan lauk sambel goreng hati, tumis kacang serta ayam crispy dengan sedikit sambal mentah. Rosi memang sahabat yang mengerti kondisi serta selera lidahku, selama beberapa hari ini selalu dia menyiapkan sebungkus makan malam ku.
Kenikmatan sambel goring hati kesukaan ku terasa begitu perih di tenggorokan saat sepintas kerbayang kembali kejadian pertengkarang dengan ibu kemarin, mungkin saja aku bukan anak ibu hingga setelah kepergian ayah semua kasih sayang ibu hanya diberikan kepada adikku saja. Untuk anak lulusan Sekolah Menengah Atas menurut ku sudah tak sewajarnya dia menggantungkan hidup hanya kepada ibu. Seberapa banyakpun uang yang dia terima selalu habis hanya untuk makan di café bersama pacar ataupun berfoya-foya di kawasan perbelanjaan bersama temannya. Mungkin sepotong steak yang dia gigit terasa sangat asin karna di dalamnya ada keringat seorang ibu, tapi sayangnya ibu tidak merasakan sedih melihat kondisi anak lelakinya itu, justru aku yang tak pernah berhenti selalu mencoba membicarakannya dengan ibu agar member teguran kepada Wahyu untuk mulai bersikap dewasa setidaknya mencari pekerjaan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
“ mir… miraaaa….. “ tergopoh-gopoh Rosi berlari membuka tanpa izin pintu kamarku.
“ duh Ros wei weeiii calm down girl… kek dikejar hantu aja deh, apaan sih… “ jawabku sambil membereskan sisa bungkusan nasi
“ kamu harus pulang! Ibu mu masuk rumah sakit ! “ dengan nafas masih tidak beraturan
“ ga ah, kan ada dokter di sana. Lagian buat apa kalau mereka perlu aku pasti akan menghubungi aku bukannya kamu Ros “
“ Mir, mana hp kamu, coba cek dulu aktif ga “ seraya mengambil hp ku di atas meja dan menunjukkan layar lebih dekat dengan mataku.
“ oh iya mati habis baterei, nanti deh Mir, aku tau pasti ibu pun tidak memerlukan aku “
“ jaga bicara mu Mir, ibu mu sangat menyayangi mu bahkan dengan cara yang tak pernah kau tau, kau fikir selama ini dari mana asal nasi bungkus yang kamu makan setiap malam ? itu ibu mu yang jauh-jauh sengaja datang ke mess untuk menggantungkan makan kesukaan mu “
“ kamu bercanda kan Ros ? “ nafasku terasa sesak mendengar ucapan Rosi
“ tidak ada yang harus dibercandain saat ini, dan asal kau tau saja ibu mu sakit karna terjatuh dari sepeda saat pulang dari mess sore tadi “
Rosi menepuk bahuku pelan dan tanpa berfikir panjang akupun memutuskan untuk pulang ke rumah, aku tidak mengerti tentang kemasan kasih sayang yang ibu berikan pada ku, tapi kejadian hari ini cukup membuatku tersadar jika saat ini tubuhku sangat ketakutan dan yang aku harapkan hanyalah sampai dengan cepat di rumah. Aku mengutuk diriku sendiri atas semua sikap ketidak pedulianku terhadap ibu.
Sesampai di rumah, aku menuju kamar ibu dan aku dapati ibu terbaring lemah dengan beberapa anggota keluarga yang kemudian mereka meninggalkan ku berada dalam kamar ibu, ku pandangi lekat rambut ibu yang mulai memutih, kerutan di sudut mata, aku sentuh perlahan kening ibu yang tertidur, dan tangan ibu bergerak pelan memegang jemari tanganku erat.
“ nak, maafkan ibu.. ibu bukan tidak menghubungi mu, tapi itu semua karna ibu tidak berani mengganggu sendiri mu. Dan pula hp ibu jual untuk menebus jam tangan yang dijual adik mu. Selama ini ibu bekerja hasil dari dagangan ibu tabung nak, untuk tambahan beli sepeda motor agar kau tidak lelah setiap hari naik angkot ke kantor. Ibu tidak pernah membedakan kasih sayang hanya saja ibu memiliki cara yang berbeda untuk menjaga kalian. Kamu adalah kebanggaan ibu, kekuatan ibu, sedangkan adik mu memang perlu perhatian lebih dari ibu “
Bibirku terkunci, bening air mata yang menetes tanpa henti, aku tak pernah menyangka sebegitu besar pengorbanan ibuku, malaikat pelindungku yang dalam diamnya selalu menjagaku. Aku yang selama ini buta dan tidak pernah tau sebegitu besarnya perhatian ibu.
“ nak, ibu tidak ingin kalian selalu bertengkar, maafkan ibu jika masih belum cukup bisa menunjukkan kasih sayang ibu, hanya kalian yang kini ibu punya. Ibu selalu ingat makanan kesukaan mu, ibu selalu kirim nasi buat makan malam barang kali kau rindu masakan ibu, setiap malam ibu selalu menangis merindukan mu nak “
Tubuhku dingin, tangisku semakin membasahi rasa bersalah, yang aku pikirkan kini hanya ingin membahagiakan dan menjaga ibu, yang ku inginkan kini selalu berada di dekat ibu. Ternyata Tuhan mengirimkan aku seorang malaikat tanpa sayap yang selalu mengajari aku tentang kesederhanaan, tentang menjadi orang yang kuat di atas tempaan hidup, dan ibu pula yang mengajarkan aku tentang ketulusan.
“ ibu, aku sekarang sudah pulang “ jawabku.