[HatiUntukAmmar] Yogol temanku

Sehari sebelum kedatanganku ke kampung, lagi-lagi kisah tentang Yogol masih menjadi topik utama bahasan desas desus warga. Kali ini bukan sekedar kabar tanpa kejelasan namun jelas terbukti jika pada malam kemarin Yogol menjadi bulan-bulanan warga. Entah setan apa yang memasuki diri Yogol hingga selepas tengah malam seorang warga mendapati Yogol berusaha membobol lumbung beras milik juragan Kosim.

Tak terbantahkan segala emosi yang terkumpul menjadi satu dengan kepentingan yang sama justru lebih mengkhawatirkan dari pada pengadilan meja hijau. Penghakiman warga seolah memiliki aturan sendiri dan lebih berjalan timpang. Setelah menerima umpatan dan beberapa kali bogem mentah yang mendarat disekujur tubuh akhirnya Yogol digiring ke pos polisi terdekat. Untungnya ayah berhasil mendinginkan emosi warga hingga Yogol masih bisa bernapas tanpa kehilangan nyawa akibat amukan massa.

Sejak kuliah dan bekerja di kota aku sudah sangat jarang bertahan dalam waktu yang lama di kampung. Selain terikat dalam jam kerja juga karena untuk mendapatkan cuti tidak gampang bagi seorang pegawai baru sepertiku. Berbeda dengan biasanya, kali ini ayah menjemputku tidak menggunakan sepeda motor bebeknya. Hingga kami harus berjejal di dalam angkot selama satu jam lebih untuk sampai di rumah.

Walaupun aku tidak sering pulang ke kampung namun rumah ini tidak pernah sepi. Ayah dan ibu sangat menyukai anak kecil, tak heran jika di rumah kami selalu kedatangan anak-anak tetangga untuk sekedar bermain. Bahkan mereka menganggap rumah kami layaknya rumah mereka sendiri. Banyak mainan anak-anak berserakan di lantai ataupun meja. Kali ini ayah disibukan dengan merakit meubel kayu menjadi bentuk persegi seperti tempat tidur bayi.

Setelah meletakkan segelas teh panas untukku di atas meja, ibu kembali ke dapur menyelesaikan proses pembikinan bubur merah. Seingatku bubur merah menjadi hidangan pelengkap adat di kampung kami untuk memperingati acara-acara perayaan yang bersifat kebahagiaan.

Sangat tidak mungkin jika ibu menghidangkan bubur merah untuk menyambut kedatanganku, karena kedatangan sebelumnyapun ibu tidak pernah menyajikannya. Jangan bilang jika bubur merah itu sebagai perayaan tertangkapnya maling tadi malam. Semoga ibu memintaku pulang kali ini tidak untuk sekedar menceritakan kabar terbaru Yogol.

Sejenak ku lambungkan rekam memori lima belas tahun silam ketika untuk pertama kali keluarga Yogol bermukim di kampung kami. Ayah Yogol yang kala itu bertugas sebagai Sinder hutan jati mendapat kepercayaan dari perhutani untuk mengelola hutan jati yang berbatasan langsung dengan kampung kami. Hari pertama sekolah, Yogol sudah menjadi teman sebangku ku selama beberapa tahun di sekolah dasar.

Sinder Rombok seolah semakin memupuk kekayaannya selama masa jabatan kepala perhutani yang baru. Namun Sinder Rombok begitu dermawan di kampung. Segala fasilitas kampung hampir seluruhnya dibantu oleh Sinder. Tentunya bangunan sekolah dasar pun dibantu oleh kantong pribadi Sinder Rombok. Sejak saat itu untuk bersekolah kami tidak perlu menempuh jarak puluhan kilometer ke kampung sebelah. Ayah ditunjuk oleh warga kampung untuk menjadi guru pertama disekolahan tersebut sebelum kami mendapatkan guru bantu yang didatangkan dari Kelurahan.

Tak peduli siang atau malam, tua atau muda Sinder Rombok akan selalu membuka pintu rumahnya dengan lebar bagi siapapun yang memerlukan bantuan. Istilah ‘pinjam uang’ namun tak pernah dikembalikan juga tidak pernah menjadi sebuah masalah untuk Sinder Rombok. Apa lagi jika hal tersebut berkaitan dengan hajat hidup urusan perut.

Aku tidak membenci Yogol, namun ketika masih begitu muda aku hanya tidak menyukai Yogol yang menjadi primadona baru di kampung. Segala hal yang berbau teknologi atau mainan yang dimiliki Yogol dari kota seakan menjadi pusat rotasi ketertarikan teman-teman sepermainanku.

Kehidupan Yogol bisa dibilang jauh melebihi anak kampung pada umumnya, jelas saja sebagai anak seorang Sinder tentu dia memiliki semua yang diinginkan anak kecil. Tanpa harus menangis meraung hanya untuk mendapatkan mainan. Yogol juga pastinya tidak pernah menerima janji palsu dari orang tua perihal akan dibelikan mainan apabila ladang mereka panen. Kenyataannya, setelah panenpun mainan yang diinginkan tak kunjung didapat.

Semenjak kedatangan Yogol, tidak ada lagi anak-anak kampung yang mengikutiku bermain di sawah menangkap belut ataupun melempar gundu di halaman surau. Permainan kecil yang selalu kami lakukan selepas sholat dzuhur berjamaah. Anak kampung saat itu lebih tertarik bermain karambol atau menonton satria baja hitam super hero yang selalu ditayangkan ditelevisi. Sudah pasti karambol dan televisi hanya dimiliki oleh Yogol.

Tak mengapa jika barang bernama karambol menjadi dongkrak kepopuleran Yogol, namun aku sangat tidak menyukai ketika Yogol berhasil menjadi juara pertama lomba adzan di surau. Semua orang pastinya mengetahui jika kemampuanku mengumandangkan adzan jauh lebih fasih tinimbang Yogol. Lafaz adzan Yogol tidak sesuai hukum bacaan Quran. Tapi ternyata para juri seperti tetua kampung dan kepala sekolah lebih memilih Yogol untuk menduduki posisi pertama dan aku satu peringkat dibawahnya.

Aku marah dan memilih meninggalkan acara peringatan hari pendidikan yang diselenggarakan di sekolahan saat itu. Namun ayah menyusul dan mengajakku menangkap belut di sawah seraya berkata “Kalo Yogol tidak dimenangkan, tetua kampung takut kalo nanti Sinder Rombok batal kasih dana buat perbaikan surau kita, tau sendirikan atap surau sudah banyak yang bocor”. Tetap saja penjelasan ayah tidak membuatku merasa lebih lega.

Setelah kami tumbuh menjadi remaja, Yogol masih tetap saja menjadi primadona yang selalu memberikan pengetahuan baru untuk remaja kampung. Kali ini justru kaset-kaset berisi film dewasa yang sering mereka tonton. Beberapa kali mereka mengajakku untuk menonton film porno tersebut namun ketika aku menolak, mereka akan mulai mengejekku dengan sebutan ‘banci’ karena dianggap tidak suka film dewasa. Bukan perkara suka atau tidak suka, hanya saja aku selalu ingat ucapan ayah jika film yang tidak seharusnya ditonton dapat merusak moral remaja.

Sinder Rombok masih selalu menjadi tumpuan utama sumber dana kemanusiaan warga. Sampai pada peristiwa terbongkarnya penyelundupan kayu jati oleh kepala Perhutani yang ternyata juga melibatkan Sinder Rombok. Sudah aku sebutkan diawal bukan, jika penghakiman warga jauh lebih tidak bertoleransi dari pada penghakiman meja hijau. Sinder Rombok yang semula dielu-elukan justru menjadi bahan cemoohan warga. Beban mental yang dipanggul Sinder Rombok membuatnya tumbang oleh penyakit jantung. Sinder Rombok menghembuskan napas terakhir sebelum proses pengadilan selesai diputuskan.

Tak lama setelah kejadian tersebut aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di kota. Aku pernah bertemu dengan Yogol di jajaran pertokoan salah satu pasar induk. Yogol menyapaku layaknya teman masa kecil yang tidak pernah saling bertemu dalam waktu yang cukup lama. Dengan jumawa Yogol menceritakan jika saat ini ia menjadi satu-satunya penjual kaset film bajakan dengan penghasilan yang cukup menggiurkan. Tanpa rasa malu ia juga menceritakan jika banyak remaja kampung yang memesan secara khusus film dewasa kepadanya. Bukannya merasa bangga mendengar keberhasilan usaha seorang teman namun aku justru merasa tidak nyaman atas segala cerita Yogol.

Terasa ada yang janggal, aku berharap ini hanya sekedar perasaanku saja.
Beberapa bulan yang lalu bersamaan aku diterima bekerja menjadi karyawan di salah satu perusahaan. Ayah memintaku pulang dengan maksud untuk menjadi saksi pernikahan Yogol. Kabarnya Yogol menikahi anak gadis dibawah umur dengan usia kehamilan memasuki bulan ke tiga. Pernikahannya hanya dihadiri oleh beberapa orang warga, termasuk ayah. Yogol menikahi gadis yang dia kenal dari kota, yang entah dari mana asalnya. Alasan kesibukan sebagai karyawan baru akhirnya aku memutuskan untuk tidak pulang ke kampung menghadiri pernikahan Yogol.

Setelah memiliki istri kehidupan Yogol justru semakin memprihatinkan. Istri Yogol selalu menuntut untuk dipenuhi segala kebutuhan hidup yang mewah. Yogol terbelit utang cukup besar hingga merelakan rumah satu-satunya harta warisan terjual dengan harga yang begitu rendah dari pasaran untuk membayar utang. Semenjak menyewa kios kecil sebagai tempat tinggal, istri Yogol jarang terlihat ada di rumah.

Awalnya aku tidak pernah memahami kenapa ayah selalu menolong Yogol yang tidak pernah berhenti membuat kesulitan untuk dirinya sendiri. Setelah dewasa, ayah baru menceritakan mengenai ketulusan menolong sesama, sama halnya seperti Sinder Rombok yang ingin menolong kemajuan kampung. Tidak ada yang salah dengan tindakan baik dari Sinder untuk membantu warga kampung, yang salah hanyalah cara mendapatkan uang. serta tidak ada yang salah dengan memberikan bantuan kepada Yogol karena saat ini memang dia yang perlu mendapatkan uluran tangan.

Perihal Yogol menjual kaset bajakan, mungkin ia tidak akan melakukan jika warga tidak melarang ayah untuk menjadikan Yogol sebagai tukang kebun sekolah. Menurut ayah andaikan Yogol masih berada dalam pengawasannya tentu tidak akan melakukan hal yang melanggar hukum. Sebelumnya, ayah pernah mengajukan untuk mengumpulkan dana bantuan untuk membantu biaya persalinan istri Yogol ketika rapat bulanan kampung. Maksud baik ayah ditolak oleh sebagian besar warga dengan dalih sebagai anak koruptor Yogol tidak berhak mendapatkan bantuan warga.

Sudah lima hari bayi Yogol tidak diizinkan meninggalkan rumah sakit karena biaya operasi persalinan dibayar lunas. Jumlah tunggakan di rumah sakit akan semakin membengkak setiap harinya. Mengingat kehidupan bayi Yogol di rumah sakit tidak mereka terima secara cuma-cuma.

Pengakuan yang keluar dari mulut Yogol di kantor polisi jika dia melakukan tindakan pencurian ini adalah untuk yang pertama kalinya. Keinginan untuk segera mendapatkan uang agar dapat berkumpul dengan anak istrinya menjadi alasan yang melatarbelakangi Yogol. Walaupun pengakuan tersebut tidak melebarkan dada warga barang kali akan menjadi pertimbangan para hakim untuk meringankan hukuman Yogol kelak.
Tak lama setelah berita tertangkapnya Yogol, disusul dengan berita yang tak kalah menggemparkan yaitu perihal istri Yogol yang tidak lagi berada di kontrakan mereka. Menurut pengakuan beberapa orang, istri Yogol terlihat meninggalkan kampung bersama seorang pria. Sungguh kenyataan yang harus dihadapi Yogol, ketika dalam kondisi tidak memiliki kekayaan justru banyak orang yang pergi meninggalkannya.

“Habiskan tehnya nak, setelah itu antar ayah kerumah sakit” Ucap ayah.

“Untuk apa kerumah sakit?”.

“Kita jemput bayi Yogol, keburu dingin nanti bubur merah ibu mu.”

“Mau dibawa kemana?”

“Mau kemana lagi selain ke sini, ayah sudah mempersiapkan tempat tidur bayi untuknya”

“Kita naik motor ayah saja ya?”

Ayah hanya menjawab pertanyaanku dengan senyuman dan menggelengkan kepala. Aku memerlukan waktu beberapa menit untuk memahami keadaan. Ibu memasak bubur merah untuk menyambut kedatangan bayi Yogol di rumah kami. Tentu saja aku sudah dapat menyimpulkan jika ayah menjual sepeda motor bebeknya guna menebus bayi Yogol di rumah sakit. Aku tidak mengerti hati macam apa yang diciptakan Tuhan kepada kedua orang tua ku, tapi yang aku mengerti betapa beruntungnya aku memiliki kedua orang tua yang selalu ingin membantu sesama.

Akupun baru ingat jika Yogol tidak memiliki sanak keluarga di kampung ini, kalau bukan kami maka siapa lagi yang akan membantu Yogol. Barang kali dengan memberikannya bantuan dengan cara yang baik maka diapun kelak akan belajar mengenai menyebarkan kebaikan dengan jalan yang tidak melanggar hukum ataupun norma manapun. Seperti yang aku pelajari dari kedua orang tuaku.

–end–

Diikutsertakan dalam event menulis Hati untuk Ammar. Semoga ade Ammar segera diberi kesembuhan,amiinn. ^^

This entry was posted in Cerpen.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *