Om, kita tidak jodoh

Om, seharusnya sudah sejak lama saya kirimkan surat ini. Namun keinginan untuk kembali menapakan kaki di Garut masih belum juga terwujud. Maaf bukan karena melupakan, ah perihal melupakan sesungguhnya saya sangat tidak bersahabat dengan itu.

Hari itu, tiga tahun lalu untuk pertama kali dan (semoga bukan) terakhir kali kita saling bertatap muka. Saya tidak menyangka om begitu ramah dan tak ada sorot risih bertemu dengan saya yang selama ini hanya om kenal melalui jejaring sosial.

Ada kebahagiaan tak terhingga keluar dari dasar hati saya ketika om mengucapkan ‘kita percepat saja pernikahannya’. Bagaimana tidak jika jal itu adalah mimpi yang pernah saya gantungkan.

Anehnya saat itu juga om sudah berani memperlenalkan saya kepada tetangga sekitar dan juga kepada keluarga besar Garut. Saya sanggat menyukai kehangatan Garut kala itu.
Sayangnya, tak lama setelah pulang dari Garut ada luka tergores sangat dalam. Apakah om tau jika hati yang terluka tak mudah untuk disembuhkan walaupun kata maaf selalu terucap.

Jaring mimpi yang tersulam luruh ketika khianat bernyanyi. Pesakitan yang tak mampu dimaklumi. Saya menyerah dan mengalah untuk si jabang bayi atas perempuan lain. Jabang bayi yang memiliki ikatan darah dengan keluarga Garut, dengan om.

Bukan perkara siapa yang pertama dan siapa yang sudah mendapatkan restu dari Garut namun ini sebuah kenyataan tentang kehadiran kehidupan baru yang tak berasal dari rahim saya.

Tidak sedikit air mata yang sudah tumpah, hingga luka berkerat. Maaf, tidak ada maksud untuk meninggalkan benci. Namun untuk kembali ke Garut seperti tak ada hati.

Seharusnya tanpa surat inipun om akan mengerti. Ada kebaikan dan kehangatan yang tak mati oleh sakit hati. Ada gelak tawa dan keramaian yang tetap hidup sebagai sebuah kenangan.

Semoga setelah ini, perkawinan saya akan tetap terlaksana dan tentunya bukan dengan anak sulung om yang pernah menguntai jaring mimpi bersama dengan saya.

Kisah cinta yang sudah habis oleh kecewa tak berarti juga harus meninggalkan ampas pahit seperti secangkir kopi tua. Biarlah kenangan ini tetap indah seperti kedatangan saya untuk pertama kali ke Garut di hari itu.

Terimakasih untuk garut, terimakasih untuk kehangatan keluarga besar om. walaupun kita tak berjodoh untuk menjadi satu keluarga, walaupun saya tidak menjadi menantu untuk om.

PS: sampaikan salam saya untuk cucu cantik om yang seharusnya saat ini sudah berusia tiga.

Aufa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *