Di antara pekat malam, di bawah kerlip kecil bintang yang retak. Di antara jutaan cinta. Ku dekap erat laraku.
Seorang pecinta menjerit lewat lembaran naskah beraksara buta. Penanya telah patah. Hatinya terhempas perih.
Jika lara dalam perih mampu menghasilkan gemintang karya. Tak ku pilih satupun.
Bukankah aku pun memiliki hak untuk menengadahkan kedua telapak tangan. Berbisik pada bumi dan menjerit di bawah kolong langit. Memohon dalam isak untuk mengembalikan yang hilang.
Mereka berceloteh, patahkan saja hati seorang penulis maka terciptalah banyak karya. Jika aku boleh memilih, patahkan saja hati ku setelah itu kembalikan lagi cintanya padaku.
Tak semua luka bisa mudah disembuhkan. Kebahagiaan di puncak dan terhempas dalam palung lautan dengan begitu keras. Tanpa isyarat sebelumnya.
Nadiku bukan detakan bahagia lagi. Rinduku tak bertuan. Cemburuku tiada hak. Aku tersenyum dalam bias binar lentera hati.
Kemari, kemarilah sejanak. Masih ada kehangatan yang tertinggal walaupun begitu rapuh.
Adalah luka teramat dalam yang tak meneteskan darah namun terus menggoyahkan nyalanya.
“Aku tak pernah tau gimana rasanya”
“Karna kamu tak pernah patah hati”
“Iya”
“Jika begitu jangan pernah merasakan sekalipun” jawabku dengan penuh luka, kehilangan mu.
Aku akan menangis hingga ku lelah. Aku akan menulis walaupun penaku patah. Aku akan berjuang hingga batas akhir kemampuanku.
Agar tak ada sebuah penyesalan dikemudian hari.
Bagaimana bisa semudah itu aku melepasmu. Jika sebelumnya kau menemukan hatiku yang sendiri. Maka biarkan aku kali ini mengingatkan mu pada apa-apa yang telah terlewati.
Bukan sebuah keterpaksaan. Karna kekurangku menjadi penyebab. Kekurangan yang sudah menjadi kodrat.
Setelahnya, biarkan lentera itu padam. Aku akan kembali menari melewati hari baru.
Ingatkan aku untuk kembali memulai dari “Asli Padang ya?”