Kepada senja,
Aku tuliskan surat ini agar kau tau dialog yang tersembunyi antara jingga dan sendu. Antara pengorbanan dan ketersia-siaan. Antara aku dan saya.
“Sepotong roti untuk kekasihku”
Lantas untukmu?.
“Tak ada, aku hanya memiliki sepotong itu dan sudah ku persembahkan seluruhnya.”
Apa kau tidak tau jika dia memiliki lima potong roti dan dua diantaranya ia berikan kepada kekasihmu.
“Aku tau dengan pasti. Mengapa kekasihku, maksudku mantan kekasihku tak cukup hanya dengan sepotong roti sewajarnya.”
Ia cukup, namun ia tak mau cukup.
“Aku percaya ketulusan itu masih hidup dalam kesederhanaan perilakunya.”
Jangan naïf, nyatanya tak sedikitpun ia melihat pengorbanan dibalik roti. Yang ia tau hanya jumlah roti yang lebih banyak. Tentu saja dua jauh lebih baik dari pada satu.
“Jika mampu bertahan dengan satu roti mengapa ia harus memilih dua.”
Masih harus ku jawab yang itu?.
“Ada perhatian dan cinta.”
Kedua hal yang baru saja kau sebut tak nampak seperti roti. Kehidupan itu jauh lebih sadis dari fiksi romance depresi. Bangun dari lamunanmu. Apa-apa yang kau anggap baik belum tentu menjadi baik pula. Terkadang malaikat cinta yang kau puja mampu berevolusi menjadi malaikat pencabut nyawa. Sejauh apa kau mengenalnya. Bahkan saling jatuh cinta bukan berarti terbuka dalam segala hal. Tidak ada yang salah dengan sepotong roti.
“Ia memberiku cinta, ku kembalikan cinta pada sepotong roti.”
Dan kau lupa menyisakan sedikit cintamu untuk dirimu sendiri.
“Dan aku lupa menyisakan sedikit cinta untuk diriku sendiri.”
Seharusnya sedari semula kau sadari itu.
“Aku dan keterbatasanku. Aku yang tak mampu memberinya lebih dari sepotong roti. Aku yang membuatnya pergi dari sisiku. Aku yang begitu mengagumi kepolosan dan keindahannya. Aku pula yang tak mengerti jika kesederhanaan pun ingin menjadi mewah untuk bertahan.”
Sampai kapan kau terus menyalahkan dirimu sendiri ?.
“Bukankah dengan begitu aku tidak memiliki kesempatan untuk menyalahkannya. Tiada kekecewaan yang begitu dalam selain kehilangan cintanya. Tak menjadi soal kehilangan dirinya, tinimbang kehilangan cintanya. Namun aku, kehilangan keduanya. Aku sudah mempertahankan sekuat mungkin. Sepotong roti yang terabaikan.”
Sedihkah?
“Kekasih mana yang tak terluka ketika pasangannya memilih roti yang jauh lebih banyak dari orang lain. Tak apa, setidaknya aku kehilangan untuk melihatnya bahagia. Dari pada aku melihatnya bertahan denganku hanya dengan sepotong roti saja. Tapi aku tidak menangis.”
Berapa lama kau tahan air matamu sudah?. JIka dengan menangis membuatnya lega lakukanlah. Jika air mata mampu membasuh luka, luapkkanlah. Dan jika harus jatuh, jatuhlah. Asal kau ingat untuk berdiri lagi.
“Boleh menangis?”
Menangislah jika perlu, tak usah menutupi jika yang baik-baik saja adalah tak baik. Ceritamu telah usai. Berteriaklah jika sudah tak sanggup. Terkadang resonansi menyamarkan getir. Cintamu telah selesai.
“Cintaku telah usai.”
Terimakasih senja,
Sebab karenamu tulisan surat ini tercipta. Barang kali mampu menjadi obat dari luka hatiku untuk saya.
kamu itu siapa? menulismu kok bagus begini?
-Ikavuje
Seseorang yang sedang belajar menulis. Terimakasih sudah membaca surat-surat saya.