[cacer] Menikah dengannya

“Mengapa kau baru datang saat aku sudah ada yang memiliki?”

“Andaikan aku mengenalmu ketika kau tanpa seorang kekasih”

“Pergilah, kau pantas bahagia dengan yang lain”

“Aku akan pergi setelah kau mengatakan kau tak mencintaiku. Aku takkan akan pernah mengusikmu dengan cintaku”

“Aku tak mampu memberimu harapan”

“Aku tak meminta harapan”

“Aku tak ingin kau terluka”

“Justru aku akan terluka jika memendam rasa cinta ini tanpa pernah kau ketahui”

“Dari mana aku bisa yakin jika benar kau mencintaiku, kau hanya ingin mempermainkanku”

“Untuk apa aku mempermainkan kau yang bahkan tak ku ketahui sebelumnya, andaikan aku mampu akan ku bunuh rasa cinta ini agar kau tak meragukan kehadirannya. Aku tidak memohon apapun, aku hanya ingin kau tau jika aku memiliki rasa ini”

“Sekali lagi ku ingatkan aku memiliki kekasih”

“Dan sekali lagi aku ingatkan, aku tak berniat merusak hubungan itu”

“Kau melukai dirimu sendiri”

“Sudah ku katakan aku akan lebih terluka jika tak sempat menyampaikan ini padamu”

Aku tersenyum dan memilih mengakhiri pembicaraan kami. Suatu kebodohan memang untuk memberikan cinta pada waktu dan tempat yang salah, tapi cinta tak pernah bodoh untuk memilih harus jatuh pada hati yang mana.

Aku melihatnya bahagia bersama kekasihnya, aku melihat dia nyaman berada dalam pelukan yang tercinta. Benar, cinta butuh perjuangan tapi bagaimana aku bisa berjuang jika dia tak berada dalam orbitku.

Aku ingin menghabiskan masa tua dengannya, bukan suatu kalimat klise yang sering diucapkan ujung pena pujangga tapi sebenar-benarnya keinginan yang hadir dengan tulus.

Aku jatuh cinta, teramat dalam pada waktu yang salah. Aku mencintai segala hal tentangnya, tawanya, perhatiannya juga saat tak henti-hentinya ia menyebutku sebagai seseorang yang menyebalkan.

Aku mendengarkan ketika ia menyebut namaku di ujung lelap, aku berusaha memberi jawaban “iya” sebagai jawaban “iya sayang“.

Aku ingin memanggilnya sayang, bukan sebuah gombalan yang selalu ia sematkan kepadaku, namun karena benar aku sangat menyayanginya. Aku ingin dia tau jika setiap saat setiap waktu aku hanya menunggunya menyapaku, bahkan ketika malam rela terjaga hanya untuk menyuruhku memejamkan mata.

Dia, yang mampu membuatku meruntuhkan ego.

Aku tak mampu perjuangkan cintaku sendiri, bukan karena pengecut tapu justru karena cintaku tak untuk melukai.

Aku yang akan selalu merindukannya, aku untuk pertama kali benar-benar ingin menikah dengannya, iya, walaupun aku tau aku tak mampu untuk itu. Tapi aku hanya ingin, maksudku benar-benar ingin.

[HatiUntukAmmar] Yogol temanku

Sehari sebelum kedatanganku ke kampung, lagi-lagi kisah tentang Yogol masih menjadi topik utama bahasan desas desus warga. Kali ini bukan sekedar kabar tanpa kejelasan namun jelas terbukti jika pada malam kemarin Yogol menjadi bulan-bulanan warga. Entah setan apa yang memasuki diri Yogol hingga selepas tengah malam seorang warga mendapati Yogol berusaha membobol lumbung beras milik juragan Kosim.

Tak terbantahkan segala emosi yang terkumpul menjadi satu dengan kepentingan yang sama justru lebih mengkhawatirkan dari pada pengadilan meja hijau. Penghakiman warga seolah memiliki aturan sendiri dan lebih berjalan timpang. Setelah menerima umpatan dan beberapa kali bogem mentah yang mendarat disekujur tubuh akhirnya Yogol digiring ke pos polisi terdekat. Untungnya ayah berhasil mendinginkan emosi warga hingga Yogol masih bisa bernapas tanpa kehilangan nyawa akibat amukan massa.

Sejak kuliah dan bekerja di kota aku sudah sangat jarang bertahan dalam waktu yang lama di kampung. Selain terikat dalam jam kerja juga karena untuk mendapatkan cuti tidak gampang bagi seorang pegawai baru sepertiku. Berbeda dengan biasanya, kali ini ayah menjemputku tidak menggunakan sepeda motor bebeknya. Hingga kami harus berjejal di dalam angkot selama satu jam lebih untuk sampai di rumah.

Walaupun aku tidak sering pulang ke kampung namun rumah ini tidak pernah sepi. Ayah dan ibu sangat menyukai anak kecil, tak heran jika di rumah kami selalu kedatangan anak-anak tetangga untuk sekedar bermain. Bahkan mereka menganggap rumah kami layaknya rumah mereka sendiri. Banyak mainan anak-anak berserakan di lantai ataupun meja. Kali ini ayah disibukan dengan merakit meubel kayu menjadi bentuk persegi seperti tempat tidur bayi.

Setelah meletakkan segelas teh panas untukku di atas meja, ibu kembali ke dapur menyelesaikan proses pembikinan bubur merah. Seingatku bubur merah menjadi hidangan pelengkap adat di kampung kami untuk memperingati acara-acara perayaan yang bersifat kebahagiaan.

Sangat tidak mungkin jika ibu menghidangkan bubur merah untuk menyambut kedatanganku, karena kedatangan sebelumnyapun ibu tidak pernah menyajikannya. Jangan bilang jika bubur merah itu sebagai perayaan tertangkapnya maling tadi malam. Semoga ibu memintaku pulang kali ini tidak untuk sekedar menceritakan kabar terbaru Yogol.

Sejenak ku lambungkan rekam memori lima belas tahun silam ketika untuk pertama kali keluarga Yogol bermukim di kampung kami. Ayah Yogol yang kala itu bertugas sebagai Sinder hutan jati mendapat kepercayaan dari perhutani untuk mengelola hutan jati yang berbatasan langsung dengan kampung kami. Hari pertama sekolah, Yogol sudah menjadi teman sebangku ku selama beberapa tahun di sekolah dasar.

Sinder Rombok seolah semakin memupuk kekayaannya selama masa jabatan kepala perhutani yang baru. Namun Sinder Rombok begitu dermawan di kampung. Segala fasilitas kampung hampir seluruhnya dibantu oleh Sinder. Tentunya bangunan sekolah dasar pun dibantu oleh kantong pribadi Sinder Rombok. Sejak saat itu untuk bersekolah kami tidak perlu menempuh jarak puluhan kilometer ke kampung sebelah. Ayah ditunjuk oleh warga kampung untuk menjadi guru pertama disekolahan tersebut sebelum kami mendapatkan guru bantu yang didatangkan dari Kelurahan.

Tak peduli siang atau malam, tua atau muda Sinder Rombok akan selalu membuka pintu rumahnya dengan lebar bagi siapapun yang memerlukan bantuan. Istilah ‘pinjam uang’ namun tak pernah dikembalikan juga tidak pernah menjadi sebuah masalah untuk Sinder Rombok. Apa lagi jika hal tersebut berkaitan dengan hajat hidup urusan perut.

Aku tidak membenci Yogol, namun ketika masih begitu muda aku hanya tidak menyukai Yogol yang menjadi primadona baru di kampung. Segala hal yang berbau teknologi atau mainan yang dimiliki Yogol dari kota seakan menjadi pusat rotasi ketertarikan teman-teman sepermainanku.

Kehidupan Yogol bisa dibilang jauh melebihi anak kampung pada umumnya, jelas saja sebagai anak seorang Sinder tentu dia memiliki semua yang diinginkan anak kecil. Tanpa harus menangis meraung hanya untuk mendapatkan mainan. Yogol juga pastinya tidak pernah menerima janji palsu dari orang tua perihal akan dibelikan mainan apabila ladang mereka panen. Kenyataannya, setelah panenpun mainan yang diinginkan tak kunjung didapat.

Semenjak kedatangan Yogol, tidak ada lagi anak-anak kampung yang mengikutiku bermain di sawah menangkap belut ataupun melempar gundu di halaman surau. Permainan kecil yang selalu kami lakukan selepas sholat dzuhur berjamaah. Anak kampung saat itu lebih tertarik bermain karambol atau menonton satria baja hitam super hero yang selalu ditayangkan ditelevisi. Sudah pasti karambol dan televisi hanya dimiliki oleh Yogol.

Tak mengapa jika barang bernama karambol menjadi dongkrak kepopuleran Yogol, namun aku sangat tidak menyukai ketika Yogol berhasil menjadi juara pertama lomba adzan di surau. Semua orang pastinya mengetahui jika kemampuanku mengumandangkan adzan jauh lebih fasih tinimbang Yogol. Lafaz adzan Yogol tidak sesuai hukum bacaan Quran. Tapi ternyata para juri seperti tetua kampung dan kepala sekolah lebih memilih Yogol untuk menduduki posisi pertama dan aku satu peringkat dibawahnya.

Aku marah dan memilih meninggalkan acara peringatan hari pendidikan yang diselenggarakan di sekolahan saat itu. Namun ayah menyusul dan mengajakku menangkap belut di sawah seraya berkata “Kalo Yogol tidak dimenangkan, tetua kampung takut kalo nanti Sinder Rombok batal kasih dana buat perbaikan surau kita, tau sendirikan atap surau sudah banyak yang bocor”. Tetap saja penjelasan ayah tidak membuatku merasa lebih lega.

Setelah kami tumbuh menjadi remaja, Yogol masih tetap saja menjadi primadona yang selalu memberikan pengetahuan baru untuk remaja kampung. Kali ini justru kaset-kaset berisi film dewasa yang sering mereka tonton. Beberapa kali mereka mengajakku untuk menonton film porno tersebut namun ketika aku menolak, mereka akan mulai mengejekku dengan sebutan ‘banci’ karena dianggap tidak suka film dewasa. Bukan perkara suka atau tidak suka, hanya saja aku selalu ingat ucapan ayah jika film yang tidak seharusnya ditonton dapat merusak moral remaja.

Sinder Rombok masih selalu menjadi tumpuan utama sumber dana kemanusiaan warga. Sampai pada peristiwa terbongkarnya penyelundupan kayu jati oleh kepala Perhutani yang ternyata juga melibatkan Sinder Rombok. Sudah aku sebutkan diawal bukan, jika penghakiman warga jauh lebih tidak bertoleransi dari pada penghakiman meja hijau. Sinder Rombok yang semula dielu-elukan justru menjadi bahan cemoohan warga. Beban mental yang dipanggul Sinder Rombok membuatnya tumbang oleh penyakit jantung. Sinder Rombok menghembuskan napas terakhir sebelum proses pengadilan selesai diputuskan.

Tak lama setelah kejadian tersebut aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di kota. Aku pernah bertemu dengan Yogol di jajaran pertokoan salah satu pasar induk. Yogol menyapaku layaknya teman masa kecil yang tidak pernah saling bertemu dalam waktu yang cukup lama. Dengan jumawa Yogol menceritakan jika saat ini ia menjadi satu-satunya penjual kaset film bajakan dengan penghasilan yang cukup menggiurkan. Tanpa rasa malu ia juga menceritakan jika banyak remaja kampung yang memesan secara khusus film dewasa kepadanya. Bukannya merasa bangga mendengar keberhasilan usaha seorang teman namun aku justru merasa tidak nyaman atas segala cerita Yogol.

Terasa ada yang janggal, aku berharap ini hanya sekedar perasaanku saja.
Beberapa bulan yang lalu bersamaan aku diterima bekerja menjadi karyawan di salah satu perusahaan. Ayah memintaku pulang dengan maksud untuk menjadi saksi pernikahan Yogol. Kabarnya Yogol menikahi anak gadis dibawah umur dengan usia kehamilan memasuki bulan ke tiga. Pernikahannya hanya dihadiri oleh beberapa orang warga, termasuk ayah. Yogol menikahi gadis yang dia kenal dari kota, yang entah dari mana asalnya. Alasan kesibukan sebagai karyawan baru akhirnya aku memutuskan untuk tidak pulang ke kampung menghadiri pernikahan Yogol.

Setelah memiliki istri kehidupan Yogol justru semakin memprihatinkan. Istri Yogol selalu menuntut untuk dipenuhi segala kebutuhan hidup yang mewah. Yogol terbelit utang cukup besar hingga merelakan rumah satu-satunya harta warisan terjual dengan harga yang begitu rendah dari pasaran untuk membayar utang. Semenjak menyewa kios kecil sebagai tempat tinggal, istri Yogol jarang terlihat ada di rumah.

Awalnya aku tidak pernah memahami kenapa ayah selalu menolong Yogol yang tidak pernah berhenti membuat kesulitan untuk dirinya sendiri. Setelah dewasa, ayah baru menceritakan mengenai ketulusan menolong sesama, sama halnya seperti Sinder Rombok yang ingin menolong kemajuan kampung. Tidak ada yang salah dengan tindakan baik dari Sinder untuk membantu warga kampung, yang salah hanyalah cara mendapatkan uang. serta tidak ada yang salah dengan memberikan bantuan kepada Yogol karena saat ini memang dia yang perlu mendapatkan uluran tangan.

Perihal Yogol menjual kaset bajakan, mungkin ia tidak akan melakukan jika warga tidak melarang ayah untuk menjadikan Yogol sebagai tukang kebun sekolah. Menurut ayah andaikan Yogol masih berada dalam pengawasannya tentu tidak akan melakukan hal yang melanggar hukum. Sebelumnya, ayah pernah mengajukan untuk mengumpulkan dana bantuan untuk membantu biaya persalinan istri Yogol ketika rapat bulanan kampung. Maksud baik ayah ditolak oleh sebagian besar warga dengan dalih sebagai anak koruptor Yogol tidak berhak mendapatkan bantuan warga.

Sudah lima hari bayi Yogol tidak diizinkan meninggalkan rumah sakit karena biaya operasi persalinan dibayar lunas. Jumlah tunggakan di rumah sakit akan semakin membengkak setiap harinya. Mengingat kehidupan bayi Yogol di rumah sakit tidak mereka terima secara cuma-cuma.

Pengakuan yang keluar dari mulut Yogol di kantor polisi jika dia melakukan tindakan pencurian ini adalah untuk yang pertama kalinya. Keinginan untuk segera mendapatkan uang agar dapat berkumpul dengan anak istrinya menjadi alasan yang melatarbelakangi Yogol. Walaupun pengakuan tersebut tidak melebarkan dada warga barang kali akan menjadi pertimbangan para hakim untuk meringankan hukuman Yogol kelak.
Tak lama setelah berita tertangkapnya Yogol, disusul dengan berita yang tak kalah menggemparkan yaitu perihal istri Yogol yang tidak lagi berada di kontrakan mereka. Menurut pengakuan beberapa orang, istri Yogol terlihat meninggalkan kampung bersama seorang pria. Sungguh kenyataan yang harus dihadapi Yogol, ketika dalam kondisi tidak memiliki kekayaan justru banyak orang yang pergi meninggalkannya.

“Habiskan tehnya nak, setelah itu antar ayah kerumah sakit” Ucap ayah.

“Untuk apa kerumah sakit?”.

“Kita jemput bayi Yogol, keburu dingin nanti bubur merah ibu mu.”

“Mau dibawa kemana?”

“Mau kemana lagi selain ke sini, ayah sudah mempersiapkan tempat tidur bayi untuknya”

“Kita naik motor ayah saja ya?”

Ayah hanya menjawab pertanyaanku dengan senyuman dan menggelengkan kepala. Aku memerlukan waktu beberapa menit untuk memahami keadaan. Ibu memasak bubur merah untuk menyambut kedatangan bayi Yogol di rumah kami. Tentu saja aku sudah dapat menyimpulkan jika ayah menjual sepeda motor bebeknya guna menebus bayi Yogol di rumah sakit. Aku tidak mengerti hati macam apa yang diciptakan Tuhan kepada kedua orang tua ku, tapi yang aku mengerti betapa beruntungnya aku memiliki kedua orang tua yang selalu ingin membantu sesama.

Akupun baru ingat jika Yogol tidak memiliki sanak keluarga di kampung ini, kalau bukan kami maka siapa lagi yang akan membantu Yogol. Barang kali dengan memberikannya bantuan dengan cara yang baik maka diapun kelak akan belajar mengenai menyebarkan kebaikan dengan jalan yang tidak melanggar hukum ataupun norma manapun. Seperti yang aku pelajari dari kedua orang tuaku.

–end–

Diikutsertakan dalam event menulis Hati untuk Ammar. Semoga ade Ammar segera diberi kesembuhan,amiinn. ^^

Naga

“Pasti berhasil, tidak ada satupun yang ku lewatkan” Gumam Juhdi seraya mendekat agar terlihat lebih lekat objek tunggal yang menjadi focus utamanya. Kejumawaan Juhdi sebagai juragan tanah sudah menjadi perbincangan umum warga desa. Ketamakannya akan harta tak berkesudahan. Belum lagi usahanya menjadi kepala desa tahun depan, adalah jalan tol untuknya agar lebih mudah mendapatkan kedudukan. Hal apapun yang bisa menambah pundi-pundi kekayaan, selalu ingin dia miliki. Termaksud menguasai perkebunan buah naga yang sedang menggeliat.

Siang itu Juhdi mengenakan sepatu boatberwarna kuning, tangan kananya memegang gunting buah seraya mendekati rumpun pohon buah naga yang menggelayut pada tiang beton berukuran diameter 20 sentimeter sebagai penyangga. Jarak antar rumpun hanya berkisar dua meter, dimana satu rumpun tumbuh empat batang buah naga yang perakarannya melekat pada tiang beton. satu batang naga memiliki cabang sulur dipertahankan empat atau lima tangkai saja yang selalu berbuah sepanjang tahun.

Desa yang memiliki struktur tanah batuan memang sukar untuk dijadikan lahan perkebunan bagi warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Pemanfaatan lahan hanya dapat digunakan sebagai media tanam tumbuhan terutama untuk jenis tidak banyak memerlukan air ataupun unsur hara, buah naga salah satunya. Tanaman berbatang kaktus ini sudah menjadi komoditi utama yang dihasilkan dari desa tersebut.

Buah naga milik Rombok memang tidak ada yang menandingi kemanisannya. Sayangnya Rombok hanya memiliki lahan pertanian kecil di pinggir desa hingga dia tak mampu memperluas areal kebunnya. Juhdi sebelumnya pernah menawarkan Rombok untuk bekerja dikebun miliknya. Permintaan tersebut ditolak oleh Rombok dan juragan Juhdi merasa direndahkan atas sikap Rombok. Penolakan secara halus karena alasan ingin merawat kebun miliknya sendiri. Juhdi berupaya menjatuhkan kebun milik Rombok atas penolakan tersebut.

Rupanya penolakan Rombok menumbuhkan sulur dendam yang berakar kuat di raga Juhdi.

Juhdi mendatangkan insinyur-insinyur perkebunan untuk membantu menumbuhkan naga yang berkualitas bagus, dengan bayaran yang tak murah tentunya. Bagaikan kawanan bala prajurit tanpa mengenal lelah mereka terus melakukan penelitian dan memilih bibit dari indukan terbaik. Segala teknik persilangan bunga dengan ilmu pertanian moderen mereka gunakan.

Nagapun berbuah untuk pertama kalinya. Namun kekecewaan mengembang seiring kerutan pada kening Juhdi ketika mencicipi potongan pertama yang dihasilkan dari kebun. Naga Juhdi kecil dan terasa asam, Juhdi gagal. Sebagai imbas dari rasa kesalnya Juhdi mengembalikan kawanan insinyur ke daerah asal mereka. Tidak becus bekerja katanya.

***

Juhdi memutar otak, menurutnya mungkin tidak ada yang salah dengan bibit. Unsur hara yang kurang dari remahan tanah mendorong Juhdi untuk mendatangkan jenis pupuk terbaik dari kota. Salah satu pupuk hasil dari olahan pabrik besar yang dikabarkan mampu melebatkan hasil panen dengan keunggulan buah berukuran lebih besar dan manispun ia gunakan. Tentu saja untuk mendapatkan pupuk kimia dari kota sangat memerlukan biaya yang tidak sedikit.

“Pasti berhasil, tidak ada satupun yang ku lewatkan” Gumam Juhdi seraya membaca ulang takaran dosis pemakaian seperti yang tercantum pada bagian belakang kemasan pupuk. Penggunaan aturan pakai tersebut sudah ia terapkan hingga siklus panen berikutnya.
Malang tak dapat dihindari, naga Juhdi tetap terasa masam. Belum lagi perihal pencemaran dari pupuk kimia menyebabkan seluruh batang sulur naga menjadi kuning dan keriput. Kebun warga di sekitarnya pun mengalami hal serupa. Ternyata wabah racun pupuk kimia justru membuat banyak warga yang dirugikan karena tanaman pertanian mereka menjadi kuning dan layu. Juhdi menghentikan penggunaan pupuk kimia. Demi kelangsungan kedudukan sebagai calon ketua rukun tetangga diperiode yang akan datang maka Juhdi berusaha mengembalikan pamornya dengan cara membayar ganti rugi kepada warga, atas kerusakan perkebunan mereka.

Tak berhenti sampai di situ saja, lahan baru untuk kebun nagapun siap dibuka walaupun sebelumnya dua lahan gagal dan tidak terurus lagi. Juhdi mengirimkan orang kepercayaannya untuk mencuri lihat ilmu yang digunakan Rombok dalam bertanam naga. Juhdi merasa pasti Rombok menggunakan cara bertani rahasia yang hanya dia simpan sendiri. Sungguh manusia licik, demikian umpatan Juhdi untuk Rombok.

Hasil pantauan yang didapat, ternyata selama ini Rombok memupuk tanaman naganya menggunakan kotoran kambing jantan hitam miliknya. Tiba-tiba saja terdengar pengumuman di pengeras suara langgar desa jika Juhdi berani membayar mahal untuk kotoran kambing jantan hitam. Persis seperti kambing milik Rombok. Kambing hitam di desa tidak ada lagi yang bertubuh gemuk, pemiliknya selalu berupaya mengeluarkan kotoran kambing dengan berbagai cara. Sungguh menderita jika menjadi kambing hitam hitam saat itu.

Hasil pantauan lain menyebutkan jika Rombok menyiram tanaman naga dengan menggunakan air bekas cucian beras. Tanpa berfikir panjang, Juhdi menjual beberapa bidang tanahnya untuk membangun pipa-pipa saluran dari rumah warga yang dialirkan ke kebun naga miliknya. Lagi-lagi warga mendapatkan bayaran dengan harga yang menggiurkan atas air bekas tersebut.

“Pasti berhasil, tidak ada satupun yang ku lewatkan” ucap Juhdi dengan keyakinan seteguh karang. Kali ini ia mengundang warga desa untuk hadir pada acara panen perdana buah naga di kebun baru miliknya. Segala upaya yang Rombok gunakan sudah persis ia terapkan, juga dalam hal menggunakan pupuk kotoran kambing jantan hitam serta penyiraman dengan air bekas cucian beras. Ketamakannya mulai liar dalam alam khayal jika nanti Juhdi akan menjadi seorang juragan yang tersohor karena memiliki buah naga termanis, tentu saja hal tersebut akan mendatangkan banyak keuntungan baginya.

Menggunakan pisau berpita merah Juhdi mempertontonkan kemerahan buah naga dan menyuap potongan pertama ke mulutnya. Alhasil, pesta syukuran mendadak menjadi situasi yang menegangkan ketika Juhdi mengehempaskan buah naga ke lantai hingga pecah berserakan. Sebagian warga terkejut dan ketakutan, sebagian lagi merasa heran, ada juga warga yang berbisik-bisik saling bertanya. Tetap sama, buah naga Juhdi masih asam.

“Ada yang masih kau lewatkan” salah satu warga menepuk pundak juragan Juhdi yang tampak kepayahan.

“Sok tau kau pak tua, tak perlu mengguruiku”

“Lihatlah berapa banyak yang kau keluarkan untuk menumbuhkan naga, tapi kau lupa jika yang kau lakukan hanya sekedar menanam dengan tujuan mendapatkan hasil yang bagus, kau lupa jika proses untuk mencapai hasil adalah bagian terpenting dari hasil itu sendiri”

“Maksud mu?”

“Kau melupakan akan kehadiran tanah sebagai peran utama, dan kau tak ingat atas keseimbangan alam”

“Sebegitu pentingkah? kau hanya lelaki tua tak berpendidikan tetapi berani menasehati seorang juragan sepertiku”

“Percayalah, kotoran kambing dan air cucian beras hanyalah pemanfaatan dari limbah belaka”

“Diamlah, peduli setan. Tau apa kau!”

“Doa, karena Rombok menyelipkan doa setiap kali menanam naga. Dia berdoa kepada tanah dan alam dengan hatinya, agar tanaman itu dapat tumbuh subur dan mampu menjadi sumber kehidupan utama untuk membiayai kebutuhan hidup keluarganya. Bukan hanya sebagai media semata”

“Lalu?”

“Alam tidak memerlukan kemewahan ataupun ilmu tercanggih sekalipun jika nantinya justru merusak. Gunakan air lain atau kotoran hewan lain tak menjadi masalah, tapi jangan melupakan doa dan tetap menjaga alam tempat hidup para naga, maka hasil terbaik dari alam akan kau miliki”

“Pak tua, siapa kau sebenarnya? Mengapa kau seolah mengetahui semua itu”

Rombok hanya tersenyum dan meninggalkan juragan Juhdi.

Bermain arus

Datanglah hujan membawa bencana meluapkan derai air mata serta kehilangan tak sedikit harta benda serta korban jiwa. Tapi hujan juga membawa berkah bagi segelintir orang dibalik tirai kemanusiaan para pejabat mencari nama untuk pencalonan diri kabinet dasi biru. Ada cerita lain tentang hujan bagi seorang gadis desa.

Alih-alih kepedulian terhadap sesama tuan pejabat menarik simpati para korban untuk pencalonan dirinya agar mampu tetap eksis di gedung bundar ibu kota Negara tahun depan. Tak luput pribahasa sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, tuan pejabat berusia kepala empat terpikat sosok gadis desa terpaut beda usia dua belas tahun lebih muda.

Tuan pejabat yang terhormat, hari ini bukan lagi memberikan santunan kepada penduduk desa yang terkena bencana banjir rob, tapi untuk memberikan mahar perkawinan gadis desa anak kepala desa yang baru saja tiga pertemuan secara tidak langsung dalam kurun waktu dua bulan dijumpai.

Tanpa berfikir panjang tuan pejabat memboyong gadis desa menuju ibu kota sebagai istri sah.  Pelbagai fasilitas layaknya istri pejabat tinggi ia dihadiahi apartemen dan mobil mewah keluaran terbaru lengkap dengan supir pribadi yang selalu bersiaga 24 jam melebihi kesetiaan prajurit perang kepada negaranya.

Kepala desa memberi bekal petuah kepada gadis desa sebagai tulang rusuk agar selalu mendengarkan dan mematuhi semua perihal penentuan arah biduk rumah tangga karena tuan pejabat selaku tulang punggung keluarga.

Tuan pejabat juga tak ketinggalan mengajari banyak hal kepada gadis desa serta mendatangkan guru kepribadian untuk memoles kecantikan bersosialisasi gadis desa sebagai point plus dari perilaku gadis desa yang memang kategori tercantik di desa. Gadis desa yang bahkan kini sudah tidak gadis pun tidak di desa lagi, tetap saja masih menjunjung tinggi kepolosannya.

“ Sore ini aku ada meeting, nanti ke salon saja biar diantar supir dan setelah itu siang kita ketemu di mall makan siang bareng”. ucap tuan pejabat menyuap potongan roti kecil roti bakar sebagai sarapan pagi agar menyatu dalam perutnya yang buncit.

“ Setelah itu, boleh aku membeli beberapa bunga mawar hidup untuk menghiasi balkon apartemen bersama ibu-ibu muda paguyupan istri pejabat sore nanti? “ jawabnya menuangkan jus jeruk pada gelas bening dan meletakkan di sisi kanan piring tuan pejabat.

“ Biar nanti supir yang mengantarmu, kota besar terlalu bringas untuk perempuan secantik kamu sayang. Tidak usah bersama mereka. “

Gadis desa hanya tersenyum mendengar jawaban suaminya, tak jarang rasa sepi menggelayut kehidupan barunya. Dia merindukan bersenda gurau dengan teman sepermainan menikmati mandi di pancuran kali dan sesekali berlarian di pematang sawah seraya menyantap makan siang olahan mereka sendiri di gubuk kecil pinggiran kolam ikan.

Gadis desa meninggikan derajat kehidupan keluarganya di desa, bahkan desa tetanggapun turut mencuri dengar kabar burung mengenai pinangan tuan pejabat. Kepala desa menjadi tokoh masyarakat yang lebih disegani hingga desa tetangga. Pemilu sudah dekat, pembagian kalender serta sarung gratis disambut gembira para warga desa yang mengelu-elukan foto menantu kepala desa dengan nomer urut satu itu.

***

Dinding-dinding apartemen terhiasi oleh bingkai foto mereka berdua dengan berbagai pose, serta ornamen-ornamen sebagai cindera mata yang dibawa tuan pejabat untuk istrinya ketika bertandang ke negara tetangga tersusun rapi pada lemari yang menempel di tembok. Hampir seluruh isi apartemen adalah hasil keringat dari tuan pejabat yang memang dihadiahkan untuk gadis desa.

Perhatian tuan pejabat tidak kalah hebat karena dimanapun gadis desa akan berada harus terlebih dahului memberi kabar kepada suaminya dan selalu bersama pengawalan supir. Bergelimang harta tak juga membuat kebahagiaan gadis desa semakin bertambah, karena tuan pejabat seolah merantai kebebasannya.

Kamis malam setelah melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri, gadis desa masih meringkuk dalam selimut tebal bercorak garis peach, tuan pejabat mengeluarkan sekotak coklat dari tas kerja yang terletak di atas meja dan membuka bungkus aluminium foil kemudian mendekatkan pada bibir istrinya. Gadis desa menggigit ujung coklat dan mengunyahnya, menyecap rasa gula-gula manis seperti manisnya ranjang malam jumat mereka.

Tuan pejabat melihatkan beberapa proposal kegiatan kampanye terselubung yang menjadi agenda tunggu dengan modus bantuan kemanusiaan di beberapa daerah. Tak banyak yang dimengerti oleh gadis desa mengenai permainan politik suaminya. Baginya tuan pejabat dengan totalitas mengejar kursi kabinet, hingga kadang kala melupakan kehadirannya.

“ Jadwal kunjunganku sangat panjang mulai besok, berjanjilah kau takkan pergi keluar tanpa seizinku “

“ Kalaupun aku keluar juga tak melakukan hal terlarang “ Jawab gadis desa menghela nafas

“ Istriku, apa kau tak tau jika banyak mata suka memperhatikan keanggunanmu. Aku tak mau mereka menikmati itu, karena kau milikku dan hanya aku yang bisa memiliki semua darimu “ nada bicara tuan pejabat meninggi satu level.

“ Aku hanya ingin mengenal kota ini “

“ Boleh tapi hanya ketika bersamaku dan dengan seizinku saja, nanti jika aku tidak ada biarlah supir mengantarmu. Sungguh, engkaulah yang terindah yang pernah aku miliki, tak ingin aku melihatmu rusak oleh kejamnya mata liar kota ini, terlebih kalah istri seorang pejabat, betapa risihnya aku membayangkan para lelaki menatap seolah menelanjangi mu, beginilah caraku menjaga mu, caraku memberikan cinta yang begitu besar “

“ Percayalah suamiku, mereka takkan pernah bisa memiliki ku “ gadis desa tersenyum

“ Begitu semua pekerjaanku selesai kemanapun kau mau akan selalu ku temani “ kecupan pada kening gadis desa ia bubuhkan.

Adegan mesra kembali terulang, sangat jarang mereka bisa menikmati momen seperti pasangan normal karena kesibukan tuan pejabat mengejar simpati hingga harus pulang larut malam ataau bahkan tidak pulang karena kondisi jalan pedesaan tertutup banjir, menyebabkan armada mereka tidak mampu keluar dari desa.

Gadis desa beranggapan doktrin tuan pejabat mengenai keharmonisan adalah seperti sesekali mereka pergi ke jamuan makan bersama mengenakan batik senada dan lempar senyum kebeberapa tamu lain adalah hal penting untuk menaikan pamor. Gadis desa memang beranggapan jika pekerjaan suaminya nanti akan menuai banyak pro dan kontra. Serta akan menimbulkan tudingan miring jika sampai terkuak selama ini kehidupan rumah tangga mereka tidak sebahagia seperti yang dikabarkan beberapa media massa lokal.

***

Selama tuan pejabat tak berada di ibu kota, setiap harinya gadis desa mencari kesibukan sambil menikmati beberapa aktifitas renang sebagai hobi barunya, hobi yang menyetarai wanita kota tentunya. Siapa tahu sebutan gadis desa akan berubah menjadi wanita kota setelah dia mampu menanggalkan keluguan dan membaur dengan sosialita para istri teman suaminya.

Selesai berenang lima putaran di kolam renang apartemen yang terletak di lantai lima, gadis desa meraih dan menutupi tubuhnya dengan menggunakan kimono putih yang tergantung pada kursi rotan di bawah jakuzi tengah. Gadis desa memainkan sunglasess di atas meja kecil dengan jemari lentiknya sambil sesekali melihat ke arah mentari pagi. Pagi itu hanya ada tiga orang pengunjung di kolam dan dua orang karyawan apartemen mengenakan kemeja lengan pendek kuning membersihkan lantai.

Seorang karyawan laki-laki memegang gagang pel dan membersihkan lantai disekitaran jakuzi tempat gadis desa merebahkan diri. Karyawan itu tersenyum tipis menunjukkan deretan gigi

“ Mbaknya.. istrinya bapak pejabat di lantai 22 itu kan? “ tanya salah satu dari mereka dengan logat kental suku jawa

“ Iyaaa… “ Gadis desa tersenyum

“ Mbaknya ko ndak marah sih suaminya suka pacaran lagi “ entah sesuatu pertanyaan yang memang lugu atau suatu sikap tidak sopannya karyawan itu. Jelas saja apa yang keluar dari mulutnya mengagetkan gadis desa.

“ Mas yang bener, kalo ngomong jangan sembarang loh mas “

“ lah masa iya saya boong mbak, bukan cuma saya tapi tukang parkir juga lihat ko, waktu bapak pejabat pulang dianterin cewe seksi pake baju merah rambutnya dicet gitu, ambung-ambungan gitu di mobil keliatan ko, saya cuma kasian sama mbaknya kok mau digituin “

Gadis desa merasa risih dengan obrolan mereka, kemudian ia beranjak dengan langkah cepat meninggalkan jakuzi. Hal mengejutkan memang jika karyawan apartemen berani menceritakan perihal tuan pejabat dengan sosok wanita lain. Gadis desa meresah namun meredamnya dalam bisu sebisu dinding lift menuju unitnya di lantai 22.

Gadis desa menelaah satu persatu tentang kekawatiran suaminya jika ia bersentuhan dengan dunia luar. Tentang alibi dan sejuta alasan atas nama menjaga ataupun takut kehilangan. Tentang kepedulian hingga dimanapun keberadaannya harus terlacak oleh radar tuan pejabat dan juga mengenai perselingkuhannya dengan wanita berambut pendek pirang yang baru saja disampaikan karyawan apartemen. Gadis desa mengenali cirri perempuan yang dimaksud adalah sekretaris tuan pejabat.

Perihal perselingkuhan itu, sebenarnya gadis desa sudah bisa menebak sebelumnya dari pada mereka peliput berita ataupun pasangan mata yang menyaksikan secara tidak sengaja perselingkuhan suaminya. Gadis desa menyembunyikan itu semua dalam diam karena bukankah seperti pesan kepala desa agar dia selalu mematuhi suaminya. Kecurigaan mengenai baju yang bau parfum lain taupun setiap kali keluar kota tidak luput dari keberadaan sekretaris di sisi tuan pejabat.

Dia menyadari betul jika bertanya ataupun menentang arus hanya akan menghadirkan banjir derita bagi seluruh keluarganya yang ada di desa, kehidupan mereka sudah menjadi tanggungan tuan pejabat. Gadis desapun sebenarnya bermain dengan arus yang sama agar tidak tenggelam, gadis desa menyerap lebih cepat ilmu sosialita kota besar.

“ Aku menunggu sangat lama sekali, ternyata berenang ya? “ sapa pria muda sebaya gadis desa.

“ Maaf, aku meninggalkan semua gadget di kamar. Tumben sepagi ini sudah di sini “ jawab gadis desa

“ Sungguh aku menyukai melihat tubuhmu basah setelah berenang “ tatapan mata pria muda  tepat di bagian dada gadis desa.

“ Heii.. tidak kau jawab pertanyaan ku “ Gadis desa mencubit pinggangnya

“ Bukankah jika tidak ada tuan pejabat aku tidak perlu takut untuk menemui mu kapan saja, tanpa ada yang curiga, rasa rinduku sudah tak mampu terbendung lagi kali ini “

“ Masuklah, semakin lama kita disini akan banyak yang curiga “ Gadis desa tersenyum dan memberikan kunci pintu kepada pria muda yang tak lain adalah supir tuan pejabat untuk membuka pintunya.

———– end ———-

ambung-ambungan (jawa) : Berciuman