7192 miles

Eiffel im in love

Kalimat pertama yang ku ucapkan begitu menatap dirinya. Akhirnya aku bisa menjejakkan kaki di Paris. Berkat kerja keras yang mereka biasa sebut dengan menabung. Ini kali pertama aku pergi antar benua. Bukan lagi penyesalan harus menguras habis seluruh simpanan untuk sampai ke Paris. Untuk berjumpa dengan dia yang ku cinta. Untuk sekedar menatap dirinya.

Sungguh, kepakan sayap kupu-kupu menyeruak di rongga dada. Jantungku mendobrak-dobrak silabu rindu. Teriakan kebahagiaan teramat sangat justru menghadirkan buliran air mata bahagia. Dia yang ku cinta akhirnya ku temui di Paris.

Eiffel im in love…, 7.192 miles ku tempuh hanya untuk berjumpa dengan dia, cinta yang tak pernah ku ragukan.

Entah kegilaan macam apa yang merasuki diriku untuk pergi ke Paris menemukan dia. Walaupun tak susah menemukan dirinya. Tapi bukankah kadang cinta memerlukan kegilaan yang tidak semua orang perlu memahaminya. Cinta adalah ikatan dua hati. Setidaknya begitulah egoku berkata, dan untuk dia aku berjuang.
Dia yang ku kenal sejak di bangku kuliah. Setelah mendedikasikan diri bekerja di salah satu model agensi Jakarta. Kecintaan ku padanya tak pernah padam. Walaupun tak jarang banyak lelaki berusaha mendekatiku. Tapi yang ku mau hanya dia.

Aku tau ini hal tak biasa. Namun bukankah suatu kesetiaan yang tak harus dipertanyakan jika selama ini aku tetap setia hanya kepadanya dan bukan lelaki lain.

Ku tatap wajahnya yang masih saja membisu, dan aku tau akan lebih indah bagi seorang objektum seksual sepertiku hanya mencintainya dalam diam. Dalam duniaku sendiri. Bukan kegilaan jika aku menyimpan cinta untuk eiffel tower kan?

End

250 kata tidak termasuk judul.

Kesadaran terakhir

Sebelumnya aku tidak begitu menyadari jika ternyata langit begitu indah dalam balutan awan putih. Terlebih ketika memandangnya dari bawah sini.

Rainsya.

Akhir-akhir ini aku sering memainkan memori untuk mengulang rekam adegan pada silabu pusat ingatan. Katamu kamu adalah hujan dan aku Langit Gusti Bumi sebagai pelindung hati pada balutan semesta. Bagaimana bisa aku tidak mencintai seorang senior kampus yang selalu mencuri pandang ketika masa orientasi mahasiswa lima tahun silam. Cinta pada pandangan pertama untuk senior secantik kamu.

Pecinta alam adalah organisasiku tapi aku juga seorang pecinta Rainsya tidak hanya sebagai alam tapi juga sebagai semesta yang menjadi pusat rotasi gerakan hati. Ruang kosong, berdebu, lusuh dan dipenuhi segala sampah, itu gambaran kehidupan juga nafas hatiku sebelum kamu hadir dan merapikannya satu persatu.

Satu tiga bahkan hingga empat tahun tak pernah sedetikpun kau berhenti memberi perhatian. Kataku tidak mudah menjalani kehidupan sebagai anak dari keluarga broken home, katamu jangan takut karena akan ada selalu seorang Rainsya mendampingi Langit melewati segala keruwetan hidup.

Menjadi tempatku berkeluh kesah, menemani ketika menyelesaikan skripsi hingga mencari bahan penelitian juga. Oiya tak lupa kamu jugalah yang membelikan perlengkapan panjat dinding ketika aku mulai menepaki dunia rock climbing. walaupun sebenarnya kamu tidak menyukai jika aku memilih bergabung dalam divisi itu.

Tak jarang kita berdebat hanya karena kamu selalu tidak memberi izin jika aku melakukan real adventure menaklukan tebing demi tebing cadas bersama club pecinta alam. Katamu ” Aku takut kamu kenapa-kenapa, aku sangat mencintaimu Langit, jika ada hal buruk tentang mu maka aku merasakan dua kali lipat dari pada itu ” lagi-lagi aku hanya tersenyum dan memeluk sebagai jawaban jika aku bisa menjaga diriku sendiri. Memang tidak munafik kadang aku berpikir jika sikapmu itu terlalu kekanakan.

Rainsya.

Kau tak pernah lelah memberi segala hal yang ku butuhkan, namun aku melupakan jika seharusnya sepasang kekasih tidak hanya menerima tapi juga memberi. Betapa bodohnya kelelakianku hingga tak pernah mengetahui jika selama ini kau mengidap penyakit jantung. Bahkan hingga napas terakhirmu pun aku berada di alam bebas, tidak berada di sampingmu.

Maafkan aku, jika saja pada waktu itu aku tidak memilih pergi mendaki mungkin aku tidak akan memendam rasa bersalah yang tak kunjung padam. Maafkan aku, yang tak banyak mencari tau tentang kehidupanmu karena selama ini waktu yang ada hanya aku habiskan menumpahkan segala kerumitan hidupku saja.

Kala itu sedikitpun tak ada buliran air mata yang menetes pada pipi tapi justru itulah caraku menyembunyikan rasa kehilangan yang menghujam tepat pada motorik pertahanan diri.
Tiga bulan sudah kepergianmu, aku berusaha untuk mengalihkan perhatian atas segala sesak pada rongga kehilangan. Hatiku bukan seperti ruang kosong yang berantakan sebelum mengenalmu, tapi hatiku berkeping berserakan dan aku enggan mengambil atau menyusunnya menjadi potongan utuh. Sebenarnya, aku sangat ingin kaulah yang menyusunnya, sendainya bisa.

Satu demi satu lereng bukit ku taklukan seorang diri, bukan sekedar ‘mencari keringat’ karena tak ada lagi bedanya antara keringat yang mengalir dari pelipis jatuh ke pipi ataukah air mata yang menerobos pelan pada bendungan pelupuk, bagiku sama saja karena ketika menyentuh bibir tetap terasa asin.

Mereka bilang aku Langit penakluk tebing cadas. Aku tidak lagi menemukan gejolak adrenaline ketika berada pada ketinggian atau terlepasnya pegangan jemari tanganku pada ujung batu. Aku hanya ingin menaklukannya seperti aku menaklukan rasa bersalahku atas ketidakpedulian terhadapmu kekasihku.

Rainsya.

Hari ini aku menepakan kaki pada Green Canyon. Ternyata benar di sini ada hujan abadi, hujan yang berasal dari aliran air menyusup tepian tebing dan tak pernah mengering. Kau tau Rainsya, hari ini tetes-tetesan hujan abadi itu menjatuhi wajahku menyatu terasa sejuk pada posisi tubuhku terlentang di teras tebing.

Aku merasakan begitu dekat saat ini dengan mu. Aku memandang langit yang begitu kecil tak seangkuh ketika berada pada jarak pandang tanpa batas. Pendakianku kali ini gagal, peganganku pada slap tak mampu menahan berat badan ketika tebing terlalu licin dan pijakan kaki meleset, Webing yang aku kenakan terlepas dari Carabiner hingga menghempaskan tubuhku dalam teras tebing. Aku hanya ingin bertemu sejenak denganmu agar kau tau begitu menyesalnya aku tidak ada di sisimu saat itu.

Entah berapa jam sudah aku berada dalam jurang ini, seluruh syarafku terasa tak berfungsi, hanya jemari yang mampu aku gerakan perlahan, mengedipkan bola mata dan juga terdengar lebih kencang detak jantungku. Apakah seperti ini juga saat kau menghadapi malaikat maut, tanpa seorang kekasih.

Bulir hangat dari sudut mata masih bisa ku rasakan. Dimana kau sayang, aku mencari suaramu di bawah sini. Pandanganku menjadi gelap, oksigen berhenti kupompa, tunggu aku kekasihku.

Rainsya, maafkan aku.

— end —

Catatan: 730 kata tanpa catatan ini, diikut sertakan dalam tantangan menulis Diorama kematian membangun nuansa sedih tanpa menulis kata sedih atau sinonimnya.

Ada yang salah?

Tiara Adinda Dharmadiani, ada yang salah dengan namaku?

Tentunya ada, jika nama itu aku sandang. Hanya saja aku berpikir harusnya seorang perempuan secantik ka Hanna yang memiliki nama itu. Sungguh paduan yang tepat jika ‘Tiara’ adalah perempuan yang cengeng dan menyukai warna merah jambu. Bukan seperti aku yang penuh dengan lompatan-lompatan seperti hentakan bola basket di arena pertandingan.

Jangan lagi ada kata-kata apalah artinya sebuah nama, jika tidak berarti apa mungkin aku boleh setiap hari mengganti nama sesuai dengan keinginan hati. Tanpa ritual seribet pemberian nama pada anak bayi tentunya. Hal itupun baru aku tahu dibuku pelajaran seni budaya.

Ka Hanna pernah berjanji akan mengajakku bermain di salah satu percetakan majalah tempatnya bekerja. Sepupuku yang satu itu tidak pernah absen memberi perhatian kepada ku setiap kali papah dan mamah mulai saling lempar umpatan dalam pertengakran mereka.

Tiara Adinda Dharmadiani, ada yang salah dengan namaku?

Tentunya ada, jika nama itu adalah seorang adik dari pria bernama Fathan. Dimana salahnya untuk seorang mahasiswa aktif di dunia seni dan menjadi pujaan banyak perempuan? Aku akan memberi tahu kesalahannya pada romansa cinta kakak lelaki ku itu pada pacar seseorang.

Jatuh cinta memang tidak dapat kita hindari, dan jatuh cinta pada pacar orang walaupun sebagai kesalahan tapi sepertinya bukan hal aneh lagi. Tapi bagaimana jika kakakku itu jatuh cinta pada Barry yang sudah memiliki kekasih. Tidak cuma satu kali aku melihat mereka bertukar kecupan di balkon belakang. dan sayangnya lagi Barry adalah kekasih Hanna.

Menurutku hanya alasan saja Barry membelikan makanan cepat saji dengan rela mengantar ke rumah tanpa aku minta. Tujuan utama agar Hanna tidak curiga atas pertemuannya dengan Ka Fathan lagi lagi dan lagi.

Tiara Adinda Dharmadiani, ada yang salah dengan namaku?

Tentunya ada, jika aku selalu berusaha untuk menjodohkan Retno dengan Ka Fathan. Aku membenci Barry yang telah melukai Hanna dan aku membenci papah satu level lebih tinggi dari yang aku beri ke Barry. Sungguh mudah para pria mempermainkan hati perempuan.

Sebelum aku membenci Ka Fathan, barang kali Retno adik tingkat Ka Fathan bisa melunturkan niat kecilku atas kebencian sebelum terkarang. Apa kurangnya seorang Retno yang selalu mendapat peran protagonis ketika pertunjukan teater kampus Ka Fathan, dia anggun sungguh terlihat dari tutur bahasanya.

Sesungguhnya aku tidak menyukai seni drama, namun demi mendekatkan diri dengan calon pacar Ka Fathan aku selalu bersemangat menonton pementasan mereka. Oiya, pernah juga kali itu Retno mengajakku mencicipi semangkok mie ayam di dekat kampus mereka. Bukan karena rasa, tapi karena kelembutan Retno membersihkan noda saos di sudut bibirku dengan tisu.

Tiara Adinda Dharmadiani, ada yang salah dengan nama ku?

Tentunya ada, jika benar adanya aku menyukai Retno dan benar juga adanya aku berusaha menjodohkan Retno dengan Ka Fathan tak lain agar aku selalu dapat bertemu dengannya. Untukku bukan untuk ka Fathan. Ada yang salah?

—- end —-

* FF sebagai partisipasi #KuisUltah menggabungkan beberapa tokoh dengan karakter yang sudah ditentukan *

[ FF Cinta Pertama ] Cintanya stiletto

Bukankah cinta pertama mampu hadir kapan saja bahkan dalam situasi tak terduga sekalipun. Pencuri terhebat yang mampu menghilangkan hati tanpa jejak, tanpa suara bahkan tanpa disadari sebut saja itu cinta. Tak mengenal usia, jabatan bahkan juga kadang kala cinta mampu jatuh pada tempat yang tidak kita harapkan sekalipun.

Selayaknya kaum kapitalis lainnya, berangkat tanpa melihat mentari terbangun dan pulang tak jarang setelah senja menguasai cakrawala. Lelah berkutat dengan tumpukan pekerjaan, akhirnya duduk pada kursi angkutan kota -angkot- menuju rumah adalah surga kecil bagi sepasang kakiku yang telah tertopang stiletto merah selama sepuluh jam terakhir.

Angkot ini hanya memuat delapan orang penumpang, lima pada bangku dengan ukuran lebih panjang dan tiga lainnya termaksud aku pada bangku berukuran pendek. Jok hitam pudar nampak beberapa bagian terkoyak hingga busa tipis menyembul keluar. Sebenarnya untuk sebuah alas duduk bisa dibilang kurang nyaman. Gelegar suara knalpotnya lebih bising dari pengamen lampu merah.

Aku tidak hidup di zaman dongeng peri yang mudah mengayunkan tongkat untuk mewujudkan impiannya, tapi sore ini bak mimpi karena aku bersama dia cinta pertamaku. Aroma bvlgari aqua pada kemeja biru langit yang digulung hingga siku memanjakan indera penciumanku. Dia, lelaki berleher jenjang menopang rahang yang kokoh duduk tepat di hadapanku. Sesekali ku lepaskan senyum ke arahnya.

Baru kali ini ada lelaki yang mampu menggetarkan rongga dada. Layaknya kuntum sakura, pelangi dan keteduhan seorang lelaki terkemas menjadi satu. Sungguh tak kuasa menepis pesonanya. Dengan penuh kekaguman terus ku perhatikan setiap lekuk bibir sexynya dan dibalas dengan tatapan matanya yang berhasil menembus pertahanan hati. Bilik-bilik asmara mendobrak kencang pada jantungku.

” Ryan aku gugup ”

” Tenanglah, ibu pasti akan menyetujui pertunangan kita ”

” Wajarkan seorang wanita pasti akan gugup bertemu dengan calon mertua ”

” Ada aku sayang ” dia tersenyum ” Kiri depan pak ” lanjutnya memberi komando supir angkot.

Bagai ditampar dan dihujani halilintar. Supir angkot menghentikan kemudinya dan mereka berdua keluar dari angkot seraya bergandengan tangan. Cinta pertamakubjatuh pada seorang lelaki yang baru saja aku trmui di angkot ternyata bernama Ryan. Cinta pertamaku ternyata calon tunangan dari seorang wanita yang sedari tadi duduk di sisi ku.

Yah, mau bagaimana lagi cinta pertama tak semuanya berhasil seperti cinderella. Sang pangeran jatuh cinta pada pandangan pertama dan akan mencarinya hingga penjuru negeri. Andaikan saja saat itu aku turun terlebih dahulu dari angkot (bukan arena dansa) dan meninggalkan stiletto merah ini, mungkin tetap saja Ryan tidak akan mencariku hingga ujung bantar gebang, karena aku bukan cinderella. Tapi lebih tepatnya mungkin karena pangeran cinta pertamaku sudah ada yang memiliki.

Pejuang senja

Parmin tidak pernah menyangka sebelumnya, jika Sunarti yang dia nikahi beberapa bulan terakhir memiliki kedekatan dengan komandan pasukan jepang Kitoko Miyusha. Parmin hanya seorang petani yang tekun mengurus surau kecil di desa. Kondisi desa menjadi tidak menentu semenjak saudara tua asia yaitu bangsa Jepang menaklukan pasukan Belanda. Jepang bukan menjadi penyelamat pribumi tapi justru segala macam bentuk penindasan masih terjadi.

Sebagai seorang pribumi Sunarti memiliki bibir mungil dengan lengkung yang mempesona, rambutnya hitam kelam dipadu dengan sorot mata bening teduh menjadikannya seorang primadona desa. Para tetangga mengetahui bahwa istrinya menjadi gundik pemuas nafsu komandan Jepang. Jelas saja gunjingan mereka meresahkan Parmin.

Setiap kali senja tiba Parmin menyiapkan diri untuk pergi ke surau, sedangkan Sunarti juga menyibukan diri dengan memasang kimono merah jambu lengkap beserta hiasan kepalanya.

” Sungguh aku sangat mencintai mu Sunarti, andaikan saja kau bersedia meninggalkan pekerjaan mu ini dan menikmati hidup damai sederhana dengan ku ” Parmin menatap istrinya dengan rasa kecewa.

” Kang, apa bisa kau sebut sebagai kedamaian selama masih ada Jepang menjajah desa kita “.

” Berapa banyak senja kau habiskan hanya untuk menjadi gundik ” Parmin semakin kuat meremas peci yang berada di genggaman tangan kanannya.

” Kang! Aku tak serendah itu, apa yang aku lakukan memiliki alasan kuat untuk kita semua ”

” Alasan apa untuk seorang gundik yang menjual tubuh kepada mereka ”

” Cukup kang… Cukup!! Aku tidak ingin membahas ini lagi, senja kali ini adalah bagian ku. Tak usah menungguku pulang, mungkin aku akan lama. Bukalah laci meja riasku kang jika kau membutuhkan sesuatu ”

Parmin hanya termangu memandang istrinya yang tersenyum sebelum pergi searah senja, menuju kedai sake ujung jalan yang sering disambangi Kitoko Miyusha. Ada perasaan perih dan sesak berkecambuk di dada tapi ada rasa cinta teramat dalam kepada istrinya.

***

Parmin sudah merencanakan dengan matang bahwa hari ini juga dia akan menjatuhkan talak kepada Sunarti. Biasanya Sunarti tiba di rumah setelah adzan subuh dalam kondisi mabuk dengan posisi kimono tidak beraturan lagi atau bahkan juga pulang membawa lembaran kertas yang bahkan Parmin tak pernah diberi izin untuk melihat sedikitpun. Parmin tidak pergi ke surau mengumandangkan adzan subuh, ia memilih menunggu kedatangan istrinya.

Rasa penasaran terhadap Sunarti semakin menggelayut pada benak Parmin, terlebih ketika matahari sudah hendak beranjak dari peraduan masih juga tak tampak keberadaan istrinya. Parmin menyimpan amarah hingga nafasnya lebih berat. Parmin bergegas menuju kamar membuka laci meja rias. Satu demi satu ia keluarkan lembaran kertas yang penuh dengan tulisan dan bahkan ada juga yang bergambar seperti peta lokasi istana Kitoko Miyusha.

Senja hari ini tak seperti biasanya, rona jingga keemasan lebih pekat. Parmin memperhatikan dengan jelas beberapa lembar foto di dalam amplop putih, nampak salah satu yang terekam dalam foto itu adalah istrinya dengan usia lebih muda beberapa tahun. Sunarti mengenakan seragam warna coklat layaknya seragam tentara rakyat dan memegang senapan laras panjang. Parmin membuka lipatan surat dengan tulisan tangan Sunarti.

Untuk kang Parmin.

Kang, mohon maaf jika aku hanya bisa menyampaikan melalui surat ini. Ingin ku utarakan secara langsung akan tetapi waktuku tidak banyak. Kang parmin pasti sudah melihat beberapa fotoku, istrimu ini adalah anggota pejuang bawah tanah pribumi yang memiliki misi menghimpun informasi guna melumpuhkan Jepang.

Sudah beberapa tahun kami mencoba menembus istana Kitoko Miyusha tapi tak pernah berhasil. Ada harga yang dibayar cukup mahal untuk pencapaian besar dan akhirnya aku memilih menjadi gundik agar mendapatkan informasi dari Miyusha. Kang, aku mengorbankan tubuhku untuk negara bukan semata kesenangan pribadi seperti yang orang lain gunjingkan.

Jika sampai kau berhasil membaca surat ini dan aku belum juga pulang ketika senja berganti maka tak usah kau tunggu kedatanganku lagi karena bisa ku pastikan misiku gagal. Jepang tidak akan membiarkan seorang mata-mata tanpa menyiksanya hingga tewas.

Maafkan semua kesalahanku kang, semoga segala pengorbananku tidak akan sia-sia dan semoga kang Parmin bisa menerima penjelasanku ini. Dari istri yang selalu mencintaimu.

Sunarti.

Tak disangka senja kemaren adalah senja terakhir Parmin melepas kepergian istrinya. Air mata Parmin jatuh tak terbendung lagi. Foto Sunarti dia letakkan di dada kanan dan meremasnya dengan sangat kuat. Ternyata begitu dekatnya hubungan mereka baru kali ini Parmin mengenal lebih jauh sosok Sunarti.

” Istriku pejuang senja, maafkan aku sayang ” ucap Parmin lirih.