Menyukai caraku jatuh cinta

Aku menikmati waktuku saat ada di dekatmu,

Aku menikmati segala cara yang ku gunakan untuk membuatmu semakin dekat denganku.

Aku menyukai caramu menerima segala hal yang ku bentuk dan akupun menyukai caraku mencintaimu.

Dalam ruang riuh, hanya detak jantungku yang berderak kencang. Aku malu jika kau tau sebegitu aku menyimpan rasa kagum padamu. Aku terus berusaha tenang saat kau menggoda polah tingkahku.

Aku pernah kehilangan aksara pada pena yang terpatah sebab cintaku tak lagi berpihak. Menumbuhkan hati serta menyelami kembali kata demi kata adalah ketika cintaku jatuh padamu.

Aku tak pernah mencurahkan semua sebab ku simpan sepotong kecil. Agar nanti ketika kepedulianmu tak lagi terarah padaku, aku masih memiliki potongan kecil itu. Menambal lubang di hati dengan remahannya.

Aku bukan peramal yang handal. Menebak bahasa pada bola matamu pun tak mampu ku artikan secara gamblang.

Tidak ada sepatah kata yang keluar dari bibirmu. Menduga dan bermain imajinasi adalah keahlianku untuk mengartikan bahasa tawamu.

Aku hanya mengikuti apa yang ingin ku wujudkan. Sebab bisa jadi ketika kau mulai menyadari ketika itu pula aku sudah terlanjur berkemas.

Dan tiada satupun yang akan ku sesali sebab terbaik sudah ku sembahkan.

Menyudahi, lebih tepatnya.

Mencintai dengan tulus.
Terlihat begitu klise dan kerap digaungkan dengan pasangan dilanda asmara. Bagaimana dengan patah hati yang tulus?

Mereka yang mencintai dengan tulus pun belum tentu ketika patah hati juga bisa menerima dengan lapang dada. Rasa kecewa, rasa ketidakberdayaan serta luka juga bisa menyebabkan orang bertindak di luar batas logika.

Saya duduk dan mendengar seseorang bercerita dengan kepayahannya perihal luka.
Seseorang yang hampir selama ini tidak pernah gagal memiliki hati yang ia inginkan. Ia bercerita diantara lelahnya, ia bagai menarikan kuas di kanvas hidup yang sebelumnya tak pernah menjadi harapan baginya.

Bagaimana bisa kau katakan patah hatimu sebagai patah hati yang tulus?


Sebab aku menerima tanpa memberi perlawanan sedikitpun.




Mengapa tak kau perjuangkan?


Sudah, dan tak lagi. Perjuanganku sudah kalah bahkan sejak sebelum aku memulainya.




Lantas untuk apa kau mulai jika begitu hanya akan membiarkan dirimu terluka sendiri.


Jika suatu peperangan jelas akan membuatmu terbunuh, apakah kau akan mundur dan menyamatkan hidupmu?. Jelas rasa penasaran serta kepengecutan akan tetap tertanam. Itu justru lebih menyengsarakan.


Memilih berjuang, sebab ada nilai lain yang jauh lebih penting dari luka.




Apa itu?


Mengenalnya dan melihat ke dalam hatinya.




Ia memberimu jalan untuk itu?


Jelas tidak untuk perkara hati, namun ia tidak membunuh aku yang mengendap dan berusaha mencuri hatinya. Ia justru membuka diri dan menampakkan keindahannya. Ia tak memberi rasa tidak nyaman. Justru akulah yang semakin mengutuk kebodohanku sendiri untuk memilikinya.




Kau merasa gagal?


Lebih tepatnya aku merasa bersalah untuk menyajikan perasaan sebagai hidangan pengalihan yang kapan saja bisa ia nikmati.




Tapi, mengapa? Maksudku bukankah seharusnya begitu


Ada keindahan yang sebaiknya jauh lebih baik jika tidak diusik. Biarkan ia tetap indah. Cukup saja ku pandang dari kejauhan.




Apa dia tau tentang ketulusan?


Tentu, tapi ada saatnya ketulusan bukan yang utama. Sebab masih ada banyak hal lain sebagai penyerta untuk kepemilikan.




Kau tidak sedihkah?


Menyembunyikannya lebih tepat ku sebut seperti itu.




Menyerah?


Menyudahi lebih tepatnya.




Kau begitu naif untuk menyerah sebelum menggunakan senjata terakhir.


Aku tak suka mengatakan menyerah. Sebab aku tak menjadikannya sebagai arena kompetisi. Cukuplah menjaganya dan memberikan senyaman-nyaman zona. Ketika hati yang baik akan lebih pantas untuk dimiliki oleh kekasih yang baik. Aku tak pernah meninggalkannya sebab doa adalah cara terbaik untuk selalu mengingatnya.




Lantas?


Sebab cinta yang tulus adalah cinta yang memberikan ketenangan, cinta yang menjaga. Bukan mengusik ataupun memaksa.




Semoga kaupun mendapatkan hati yang baik.      

Hati menyembuhkan luka

Rasa itu bisa hadir hanya dengan menatap matanya. Bukan mulut yang berbicara untuk mengenal. Namun, hati yang justru lebih arogan mencari celah menelusup bak air pada pori-pori.
Hati bergerilya untuk menemukan kenyaman serta memberikan ruang yang begitu nyaman. Untuk dihuni dan jelas untuk dimiliki.
Hati mampu menyembuhkan luka jauh lebih cepat dari sekedar “waktu yang akan menyembuhkan”.

Sebab hati akan menutup lubang-lubang pesakitan dengan cinta. Rasa emosional yang tak menentu. Ketakutan untuk kehilangan, keinginan untuk terus bersama juga kemampuan untuk membuktikan bahwa yang lain tak lebih baik.

Hati tak mampu sekedar memilih kepada siapa ia merasa nyaman. Sebab, caranya bekerja di luar logika yang dapat dipahami. Tak dapat dipilih kepada siapa, namun masih bisa ditentukan untuk melanjutkan atau tidak.

Debaran jantung yang mengeja namanya. Kehangatan dari suara, perhatian dan caranya memberi segala kenyamanan. Seolah kesempurnaan tiada dua. Walaupun berusaha untuk tetap bersama logika jika segala hal tiada yang sempurna.

Kembali hati akan menguji pada siapa segala resah tersudahi. Sebab bahagia saja tak mampu dikata sebagai cinta sejati. Masih ada gejolak, masih banyak kerikil. Menyelesaikan bersama dan tetap bertahan untuk saling menyembuhkan dan menutup lubang-lubang hati.

Namun jangan pernah lupa kapan harus memulai dan kapan harus berhenti.

Andai aku bisa

Bukankah jauh lebih mudah jika kita jatuh cinta dengan melepas topeng, menjadi diri sendiri. Menjadi baik dan buruk yang gamblang

Bukankah jauh lebih melegakan jika apa-apa yang tak baik diselesaikan sudah, sedari awal. Agar jalan semakin ringan, agar hati gamblang

Bukankah lebih baik jika tak membiarkan hati untuk pura2 tak cinta. Sebab barang kali cinta yang kau tuju adalah yang juga menantimu.

Bukankah akan menjadi indah, menyulam kerusakan dan menutupnya dengan kejujuran adalah cara agar kita tak saling mengungkit luka

030616

Masih banyak yang lebih baik dari aku

“Masih banyak yang lebih baik dari aku”

Kerap mendengar kalimat itu untuk sebuah senjata akhir dari hubungan. Sementara tidakkah menyadari jika di awal hubungan ingin mencari orang yang bisa menerima kekurangan dan kelebihan.

Bukankah cinta itu tulus ketika ia bisa menerima dengan segala kekurangan dan bertahan semampunya dalam kondisi tak baik sekalipun. Walaupun, masih banyak yang lebih baik daripada aku.

Cinta tak semata mencari yang sempurna, jika itu menjadi takaran tentunya sedari semula ia akan berkelana ketika menemukan kesempurnaan lain. Tentunya memang benar akan ada selalu orang lain yang jauh lebih baik daripada dia.

Tapi, cinta perkara cukup dan nyaman. Ketika hatinya merasa cukup serta memiliki tempat yang nyaman itulah rumah terbaik untuk ia miliki. Untuk pulang dan melepas penat.

Cinta mengisi sekat-sekat yang kosong. Cinta adalah perihal melengkapi hal yang kurang tepat.

Jika begitu, masihkah kau melepas orang yang mencintaimu apa adanya?

Hanya saja, seseorang yang lebih bisa mengisi kekurangan-kekurangan darimu adalah seseorang yang juga menjadi idaman mereka.
Berpikirlah ulang sebelum menyebut masih banyak yang lebih baik dari aku.

Janji tetaplah janji

Bagaimana bisa hati yang merona merah jambu berubah menjadi lebam luka penuh sayatan tak terperi. Bagaimana bisa ketulusan yang tak berkesudahan terbalas dengan sedu sedan.

Jangan pernah meminta hati jika hanya untuk membuatnya terluka. Jikapun sebagai suatu hal yang tidak bisa dihindari, setidaknya masih mampu memilih untuk melakukannya dengan cara yang lebih pelan.

Membuatnya jatuh cinta jauh lebih mudah dari caranya mengobati luka. Tiada dendam tak juga menyampaikan gemuruh pertikaian batin. Senyumnya, ia masih bisa tersenyum dibalik rona mata yang remuk redam.

Kepandaiannya menyimpan luka justru memenjarakan penat yang tak tersampaikan. Sebab janjinya untuk membuatmu bahagia sama seperti janjimu untuk tetap menjaga hatinya. Dan kau tak pernah tau itu. janji tetaplah janji, terlepas perihal terpatahkan atau tidak.

Apa yang kamu tau tentang obrolannya bersama sang Pencipta. Apa yang kamu tau sepertiga malam bibirnya terjaga hanya untuk memanjatkan sebuah doa. Bukan untuk mengutuk dengan menyebut karma. Melainkan mendoakanmu agar selalu bahagia.

Tidakkah kamu tau bagaimana ia mengobati luka?
Tidak, pasti kamu tak akan pernah mau tau.

Setidaknya

Setidaknya ia tidak berdusta

Setidaknya ia tidak menjerat

Setidaknya ia tak bermaksud buruk

Setidaknya ia mengakui apa-apa yang tidak benar.
Barangkali ia tidak mempunyai pilihan lain selain harus membuatmu terluka, tapi setidaknya ia memiliki pilihan untuk melakukan itu dengan cara keras atau perlahan.
Ketika dua orang hanya memiliki kemampuan untuk saling cinta tapi tak untuk saling memiliki.
Tidak mudah.
Sama halnya ketika harus saling melepas bukan karena sudah tak cinta lagi. Barangkali itu semua yang menjadikan kita sebagai manusia. Memiliki segala keterbatasan.
Sebab sekedar cinta saja tidak cukup.
Jatuh cinta dan kemudian terluka, bukan hal yang langka. Setiap orang pernah mengalami bahkan lebih dari satu kali tapi tetap saja rasa sakitnya seolah belum pernah terkecap.
Tidak mudah, tapi harus.
Proses yang pelan tidak apa setidaknya tidak diam. Keterbiasaan yang terisi dengan rindu akan berubah menjadi membiasakan yang terisi dengan sepi.
Setidaknya masih ada dia di dunia ini

Setidaknya melihatnya bahagia

Setidaknya sudah memiliki kenangan manis.

Melankoli bersenandung pilu

Berbeda dengan kemarin

Hari ini ketika memandang satu persatu fotomu yang tersimpan di galeri bukan desiran di dada atau getaran silabu jantung. Justru melankolis bermain pada pelupuk air mata. Aku yakinkan ini bukan tangis, hanya cara mataku ingin membersihkan debu agar jauh lebih kelas memandang memori dalam sebuah foto.

Berbeda dengan kemarin

Hari ini ketika terbangun, tidak ku raih langsung ponsel dan hanya meringkuk di dalam selimut. Ku pandangi kamarku yang penuh dengan buku-buku. Baju-baju laundry yang sejak tadi malam menyebarkan aroma pewangi. Katamu kau menyukai aroma berwarna merah pekat itu, akupun membelinya. Semata agar aku selalu merasa kau selalu ada di dekatku. Matahari begitu terik, aku tak berusaha membuka jendela. Aku enggan bergerak. Aku terasa kosong. Tak penuh seperti kamarku.

Berbeda dengan kemarin

Mataku jauh lebih sembab. Sudah ku bilang aku tidak menangis. Karna bukan air mata yang ku rasakan namun segala hal yang ada kemudian menjadi tak ada. Sungguh bukan perkara mudah untuk sebuah rasa. Aku enggan menerima hari ini.

Berbeda dengan kemarin

Ada luka jauh lebih dalam dan aku mengutuk kebodohanku untuk tak mampu bertahan. Ada cinta yang masih utuh ku tinggalkan begitu saja, cintaku. Tiada pilihan selain menancapkan pesakitan pada hati dipuncak cinta dengan tanganku sendiri. Tiada lara selain melepasmu untuk sebuah keinginan yang kau sebut sebagai kebebasan. Sampailah kita pada persimpangan, inginmu tak lagi seiring denganku. Aku tak ingin kita jatuh cinta berpayung semu. Aku tak ingin ada luka yang akan berdejavu untuk hal yang sama di hari yang berbeda. Aku tak ingin kembali hanya untuk mendengarmu luka.

Berbeda dengan kemarin

Pintamu sebuah kisah kebebasan, tiada aku di dalamnya. Semua masih tetap sama.

Semalampun aku masih mampu memejamkan mata tapi tak senyenyak kemarin.

Pagi inipun aku masih membuka maya tapi tak setenang kemarin. 

Udara yang ku hirup pun masih cuma-cuma tapi tak begitu melegakan seperti kemarin.

Berbeda dengan kemarin

Hatiku terluka, sakit yang teramat nyeri. Begitu lincahnya aku menulis perihal move on tapi percayalah itu saja tak cukup menyembuhkan. Tidak ada yang perlu dipersalahkan pun dengan air mata yang tak berhenti menetes. Ruangku kosong, penghuninya sudah pergi menagih kebebasan. Aku tak ingin beranjak sedikitpun, barang kali dia kembali sebelum aku berlari.

Berbeda dengan kemarin

Melankoli bersenandung pilu, begitu banyak seandainya-seandainya yang lain. Aku tak ingin sepenuhnya menghilangkan logika karena hati jatuh cinta begitu egois. Tak ingin dibagi.

Barang kali ada yang terlupakan mengenai esensi mencintai adalah menjaga hati, menghadirkan kebahagiaan serta berjuang bersama.

Barang kali masih ada hal kecil yang baru saja kita lewatkan, besarnya cinta. Ataupun keinginan berbagi bersama bukan hanya untuk pengharum pakaian berwarna merah tua ataupun sekotak wafer yang katamu jauh lebih enak.

Barang kali masih bisa seperti kemarin. Sebelum habis hari terenggut malam.

Tujukan untukku

Aku tau apa-apa saja yang tidak boleh untuk ku lakukan. Aku pun sudah cukup dewasa untuk mengerti semua resikonya. Jikapun aku melakukannya, bukan karena aku ingin. Asal kau tau, aku melakukannya karna ku ingin banyak kata keluar dari bibir manismu.

Aku menyukai saat kau sedikit kesal karena harus mengingatkan berulang kali. Sesungguhnya aku mencandu pada sikap pedulimu itu.

Aku ingin kau selalu menanyakan apa yang ku lakukan dan apa yang sudah aku alami. Seolah itu selalu membuatku merasa dekat denganmu. Adalah cara untuk menyertakanmu dalam kehidupanku. Walau dalam jarak.

Aku menceritakan tentang teman, yang bahkan kau tidak mengenalnya sama sekali. Aku hanya ingin kaupun merasakan apa yang ada di sekitarku. Walau jauh.

Aku menunggu setiap kata rindu dan cinta darimu. Lakukanlah berulang kali dan tak pernah ada kata bosan untuk ku dengar. Karna aku tau atas cinta dan sayang itu saat ini kita bersama. Walau tak dekat.

Aku selalu nyaman saat kita berbagi, segala hal. Seolah tak ada yang menjadi ‘aku’ ataupun ‘kamu’. 

Aku jatuh cinta padamu, pada perhatianmu pada semua yang kau tujukan untukku.

Bulan mendengkur

Semalam aku terjaga, bulan mendengkur. Mencari sumber suara namun aku gagal. Setiap langkah tidak mengurangi nyaringnya sedikitpun.

Ternyata aku salah, bukan bulan namun hatiku yang mendengkur. Seolah kesunyian memanjakannya hingga terlelap. Kesunyian yang nampak lembut namun mematikan. Semoga ia tak menikam cintaku. Karna cinta tak memerlukan darah untuk terluka bahkan mati. Jika sudah begitu aku akan sulit mengenalnya.

Kesunyiam meraja atas lemahnya sebuah perhatian. Sebut saja perhatian adalah candu namun juga racun. Rasa ingin mendapatkan sangat melebihi keinginan biasa. Begitu kental namun mampu melumpuhkan seperti racun.

Aku tak menambah kecepatan, aku tak menyalip waktu. Enggan pula meraih mentari di ujung jalan. Malam nampak menceritakan banyak logika untukku.

Ku biarkan cinta tetap terlelap. Sembari aku bergulat dengan logika pada bidak catur. Ia seperti pion tetap ingin melangkah, namun sesekali ia pun sebagai benteng pertahanan. Entahlah, logika terlalu rumit. Tapi aku tetap mendengarkan ceracaunya.

Gemintang menertawakanku, pikirku cakrawala pekat musababnya hingga mereka begitu angkuh dalam nyinyiran. Ku diamkan saja, tak ingin pula serapah membangunkan cinta, yang masih tertidur. Pun mendengkur.

Lepaskan pandangan menyergap bulan. Ia masih megah walaupun sepotong. Tetap terpatri dengan cantik. Aneh, bulan tersenyum. Seharusnya tidak. Sebab aku tak memerlukan itu.

Malam akan habis termakan waktu. Kesunyian kian mesra, seharunya enyah saja bersama subuh. Kelopak mata terlalu renta, jemari ingin membisu. Inginku mendengkur bersama hati setelah berjelaga semalam suntuk.

Seandainya saja cinta mampu diyakinkan secara instan seperti sebungkus mie goreng terlumat air panas.

Sssstt.. Jangan berisik! Akupun ingin menikmati dengkurannya.

Setalah pagi menyambut ingin ku abadikan dengkuran cinta yang kuduga sebagai dengkuran bulan. Agar aku tetap bisa mengenang aksara-aksara yang tertulis atas rindu.

Aku melihat senyummu dalam dengkuran cinta, Bey.